Minggu, 02 April 2023

Memperluas Faham Agama

 


Oleh: Azaki Khoirudin


Anggota Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah/ CEO IBTimes.ID


Ada yang menarik dan fresh pada tema milad 108 Muhammadiyah. Apalagi kalau bukan tawaran wawasan keagamaan baru dengan penekanan pada “perluasan paham agama” dan manifesto berbakti menyelesaikan “masalah negeri.” Saat ini, kita tahu, bahwa dunia kita tengah dihantam krisis kesehatan. Keselamatan nyawa manusia menjadi taruhan. Satu per satu orang yang kita kenal, turut menjadi korban. Tenaga kesehatan di seluruh dunia bekerja keras mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran demi menyelamatkan kehidupan. Begitu pula tenaga kesehatan dan sukarelawan Muhammadiyah, sejak awal penyebaran pandemi tanpa kenal gentar, membaktikan diri. Semua semata-mata karena Muhammadiyah mengajarkan arti penting etos “menolong kesengsaraan umum.” Tidak pelak lagi, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam ditantang untuk merumuskan atau memikir-ulang akar wawasan dan praktik beragama. Maka tatkala saya membaca wawancara Prof. Haedar Nashir di harian Republika (18/11/2020) terkait tema milad 108 Muhammadiyah, saya teringat rumusan 12 Langkah Muhammadiyah. khususnya poin ke-2 tentang “Memperluas Faham Agama” yang berbunyi:


“Hendaklah faham agama yang sesungguhnya itu dibentangkan dengan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita warga Muhammadiyah mengerti perluasan agama Islam, itulah yang paling benar, ringan dan berguna, maka dahulukanlah pekerjaan agama itu” (Manhaj Gerakan Muhammadiyah, h. 394).


Tajdid: Pesan Utama Haedar Nashir


Saya ingin merefleksikan konteks penting tema milad 108 Muhammadiyah. Sebagaimana disampaikan Prof. Haedar, ada dua aspek penting pada tema tersebut, yakni (1) aspek eksistensi atau keberadaan Muhammadiyah, dan (2) aspek keharusan memberi solusi bagi problem kontemporer yang semakin kompleks. Kunci dari dua aspek tersebut adalah “memperluas pemahaman agama.” Kunci daya tahan Muhammadiyah adalah kemampuan mengadaptasi, mengapropriasi dan mengelola pengetahuan, pengalaman serta perkembangan dunia menjadi visi praksis. Nyaris tidak mungkin Muhammadiyah mampu bertahan melewati satu abad tanpa kreatifitas memaknai terus menerus pesan inti ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Maka frasa “Meneguhkan Gerakan Keagamaan” berdasarkan penjelasan Prof. Haedar menunjukkan dua rupa eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan gerakan tajdid. Berkaitan dengan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, pada dasarnya organisasi ini adalah gerakan keagamaan yang berupaya mewujudkan Islam sebagai dasar solusi kehidupan manusia.  Sedangkan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid merupakan pengintegrasian dua arah antara nilai-nilai keislaman dan tantangan kontemporer melalui interpretasi, kontekstualisasi dan apresiasi.


Prof. Haedar menambahkan, karakter “dakwah” dan “tajdid” menuntun Muhammadiyah menyebarluaskan pesan inspiratif Islam sekaligus mengambil tanggungjawab tertentu untuk selalu maju dan membawa perubahan. Itulah hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan. Memadukan karakter “dakwah” sekaligus “tajdid” tidak mudah. Sebab pada satu sisi, gerakan keagamaan kemapanan pengetahuan keagamaan yang diterima turun temurun. Pada sisi lain, jika tidak mampu merespon perubahan konteks makna dan zaman, pengetahuan keagamaan cenderung mengeras, beku dan linier. Bahkan dalam tataran tertentu, paham keagamaan berubah menjadi sekedar peraturan tentang hitam putih suatu perkara. Oleh karena itu, bagi Muhammadiyah “dakwah” haruslah selalu juga menyertakan spirit pembaruan, sehingga nilai dan pengetahuan keagamaan memberi inspirasi bagi manusia untuk bergerak mengatasi kendala dan problem kehidupan yang senantiasa berubah. Bagi Muhammadiyah, spirit pembaruan berkaitan dengan upaya mencerahkan paham keagaman bagi umat manusia. “Jadi, gerakan keagamaan yang kita usung tidak semata dalam makna sempit, atau urusan-urusan pakaian, cara hidup, itu penting, tapi Islam yang membawa misi dakwah luas dan membawa pembaharuan kehidupan. Konteks sejarahnya, memang itu, Kiai Dahlan menghadirkan Islam yang serba eklusif, menjadi Islam yang meluas. Islam yang hanya mengurus ritual ibadah dan diniyah dalam arti terbatas, menjadi urusan muamalah duniawiyah yang juga menjadi tonggak kehidupan Islami”, tegas Prof. Haedar dalam wawancara tersebut.


Catatan Prof. Haedar bahwa “tajdid” adalah kata kunci pada tema milad 108 Muhammadiyah merupakan respon atas tren keberagamaan yang berkembang saat ini. Kita memang tengah menyaksikan penyempitan makna agama. Misalnya penguatan pemujaan atas simbol. Seolah-olah menunaikan pemenuhan atas simbol agama, telah menyelesaikan seluruh tanggungjawab keagamaan. Muhammadiyah hendak hadir sebagai gerakan keagamaan yang memberikan solusi bagi kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan global. Ketika tren beragama dan berislam cenderung fokus pada persoalan-persoalan simbolik dan ritual, Muhammadiyah hendak hadir sebagai gerakan dakwah moderat dan tajdid yang solutif. Prof. Haedar Nashir menjelaskan, “Saat ada fenomena di mana agama menyempit, kita atau Muhammadiyah harus hadir membawa pemahaman kembali tentang Islamyang luas, yang membangun peradaban. Tapi,ada juga orang atau pandangan yang terpengaruh menegasikan agama, lakukan sekularisasi kehidupan, meniru proses sekularisasibarat, ini juga masalah.”


Ijtihad: Upaya Memperluas Pemahaman Agama


Saya menangkap nada cemas dan gelisah Prof. Haedar Nashir. Kita semua tahu bahwa problem utama tren beragama yang fokus pada simbol dan ritual juga dapat bermakna pelarian dari persoalan hidup. Meski cara beragama seperti itu terkesan semarak dan penuh sukacita, sebetulnya ada nuansa reduksi, apatis dan pesimis bahwa Islam dapat diubah menjadi gagasan pencerahan yang lebih besar dan luas. Cara beragama yang memuja simbol dan ritual juga pada akhirnya menampilkan kehendak untuk mempersulit suatu persoalan agama yang sangat sederhana. Saya merenungi tafsir 12 Langkah Muhammadiyah khususnya point ke-2 sebagaimana saya sebut di awal tulisan ini. Ketika menjelaskan pasal “memperluas faham agama” ada prinsip penting dalam beragama, yakni bahwa agama itu ringan. Maksudnya, bahwa agama adalah solusi “ringan” dan rasional, disebabkan oleh dua hal: (1) hukum itu dapat berubah-ubah dengan mengingat keadaan orang; dan 2) agama Islam tidak mengikat paham.


Pertama, dalam menjelaskan pasal tentang perubahan hukum agama dijelaskan dengan mengulas beberapa contoh-contoh antara lain: 1) agama Islam mewajibkan shalat dengan berdiri, tetapi bagi yang tidak bisa berdiri, diperbolehkan dengan duduk, bahkan jika duduk saja tidak bisa, maka diperkenankan shalat sambal berbaring; 2) agama mewajibkan berwudlu bagi orang yang akan shalat, tetapi jika tidak mendapatkan air atau karena sakit, maka diijinkan dengan tayammum; 3) agama mewajibkan shalat Jum’at, tetapi pada saat ada halangan, sepertis sakit atau sedang turun hujan sangat lebat, maka dibolehkan tidak pergi shalat jumat; 4) agama mewajibkan puasa, tetapi bagi orang yang sakit atau bepergian, maka diperbolehkan tidak berpuasa, dengan menggantinya; dan 5) agama mewajibkan pergi haji, tetapi bagi orang yang tidak kuasa atau tidak aman perjalanannya, maka diperbolehkan tidak berhaji (h. 412-13).


Demikianlah beberapa contoh betapa ringannya dalam beragama Islam. Dalam kasus pandemi Covid-19, Muhammadiyah juga banyak melahirkan fatwa-fatwa keagamaan yang meringankan dan solutif, seperti: (1) Shalat lima waktu sebaiknya dikerjakan di rumah; (2) Salat Jumat diganti dengan salat Zuhur empat rakaat di rumah; (3) Seluruh rangkaian Ramadan seperti salat tarawih, ceramah-ceramah, tadarus berjamaah, iktikaf di masjid, tidak perlu dilakukan; (4)  shalat Id di lapangan dan masjid sebaiknya tidak dilaksanakan dan dapat dilakukan di rumah masing-masing; dan seterusnya. Semua dilakukan atas dasar kemaslahatan dan kemanusiaan serta tetap berbasis pada nash (dalil yang otentik) dan perkembangan sains mutakhir.


Kedua, agama tidak mengikat paham. Dalam tafsir 12 langkag Muhammadiyah, dijelaskan bahwa perluasan paham di dalam agama itu, harus dengan syarat-syarat dan bahan-bahan yang telah ditetapkan di dalam agama. Sekali-kali tidak boleh orang memahami agama menurut hawa nafsu, kehendak hati sendiri (h. 413).  Secara tegas dinyatakan: “Hendaknya sama ingat, bahwa yang harus kita perluaskan itu “paham agama”, bukan agama, karena agama itu sudah sempurna, tidak boleh diperluas dan tidak boleh pula dipersempit” (h.414). Jika ada orang yang menjalankan agama dengan kesusahan dan kesempitan, sebenarnya bukan agamanya yang sempit, melainkan pemahaman agama tersebut yang sempit. Problemnya kebanyakan masyarakat awam, sering kali tak bisa membedakan antara agama dan pemahaman agama. Masyarakat tidak membedakan antara wahyu (absolut) dan ra’yu (relatif dan terbatas). Akibatnya tak jarang seseorang atau kelompok yang kurang wawasan agama, gemar menyalah-nyalahkan pemahaman orang lain, bahkan tak segan-segan mengkafirkan.


Di sinilah pentingnya membedakan agama dan pamahaman (ilmu) Agama. Pemahaman keagamaan tidak dapat dijadikan sebagai kebenaran absolut. Karena semua itu hanya merupakan hasil pemikiran manusia. Wahyu yang tidak akan berubah, sedangkan pemahaman dan penafsiran atas wahyu serta ilmu agama akan berubah sesuai dengan waktu. Agama tidak membutuhkan perbaikan dan penyempurnaan. Akan tetapi ilmu agama akan terus-menerus diperbaiki dan dikembangkan. Jika prinsip ini dipegang dan dipahami oleh seluruh umat Islam, maka akan terbangun toleransi yang kokoh antara berbagai kelompok Islam. Jika hal ini dihayati betul, maka pemahaman agama akan terus berkembang dan diperluas dengan berbagai pendekatan ilmu sosial, ilmu alam dan ilmu-ilmu lainnya dalam rangka menjadi solusi bagi kehidupan umat manusia. Dengan ini agama dari Allah Swt dapat berperan sebagai petunjuk kabaikan hidup manusia.


Editor: Fauzan AS

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More