Jarak Venezuela dan Palestina memang membentang sangat jauh. Di atas peta dunia, keduanya terpisahkan oleh Benua Afrika dan Samudera Atlantik Utara. Namun, siapa sangka, jarak yang jauh itu tidak membuat Venezuela tidak mendengar jerit-tangis rakyat Palestina.
Mendiang Presiden Venezuela, Hugo Chavez, yang membuat Venezuela sangat dekat dengan rakyat Palestina. Setiap pesawat tempur dan roket-roket Israel menggempur Palestina, Chavez yang paling pertama tampil menentang.
Seperti penghujung 2008 dan awal 2009, Israel melancarkan agresi militer ke wilayah Jalur Gaza, Palestina. Serangan yang berlangsung 22 hari itu menyebabkan 1400 orang rakyat Palestina tewas. Tidak sedikit diantaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Chavez naik pitam. Ia menyebut agresi Israel itu sebagai sebuah “holokaus”. “Holokaus, itulah yang terjadi di Gaza sekarang,” kata Chavez melalui siaran Televisi. Kecaman Chavez itu muncul hanya sesaat setelah Israel memborbardir sebuah sekolah PBB di jalur Gaza dan menewaskan 40 orang Palestina.
Tak hanya ngamuk-ngamuk di media, Chavez kembali duta besar (Dubes) Israel dari negerinya. Ini kali kedua Chavez mengusir Dubes dari negerinya. Pertama kali tahun 2006, saat Israel menyerang Lebanon.
Kemudian, pada November 2012, Israel kembali menggempur Jalur Gaza. Chavez menyebut serangan israel itu sebagai tindakan ‘biadab’. “Agresi baru terhadap jalur Gaza kembali dimulai. Biadab. Biadab. Israel memborbardir jalur gaza lagi,” kata Chavez.
Menurut Chavez, serangan Israel itu dilakukan karena Presiden Palestina Mahmoud Abbas sedang memperjuangkan agar Palestina diterima sebagai anggota penuh PBB.
Tindakan Chavez itu menuai pujian dari rakyat Palestina dan sekitarnya. Poster bergambar Chavez hadir di tengah-tengah aksi massa rakyat Palestina.
Di Ramallah dan Gaza, selain poster bergambar Yasser Arafat dan Che Guevara, poster Chavez juga mulai banyak menempel di tembok dan dinding toko.
Di kota Al-Bireh, dekat Ramallah di Tepi Barat, Palestina, nama Chavez menjadi nama jalan utama di kota itu. Walikota El-Bireh, Fawzi Abed, mengatakan, keputusan mereka itu merupakan bentuk penghargaan terhadap Chavez atas kontribusinya dalam memperjuangkan rakyat tertindas, termasuk Palestina.
Mohammed al-Lahham, anggota parlemen Palestina dari partai Fatah, mengatakan, “Dia (Chavez) adalah simbol perjuangan untuk kemerdekaan seperti Che Guevara.” Hal itulah, kata dia, yang membedakan Chavez dengan pemimpin dunia lainnya.
Mahmoud Zwahreh, walikota di Al-Mazar, sebuah pemukiman di dekat Betlehem, berniat memberikan paspor kepada Chavez agar bisa menjadi warga Palestina. “Aku ingin memberi Chavez sebuah paspor Palestina agar dia bisa menjadi warga Palestina. Setelah itu, kami akan memilihnya dan dia akan menjadi Presiden kami,” kata Zwahreh.
Di Bireh, sebuah kota di Lebanon, nama dan poster Chavez juga berkibar-kibar. Juga spanduk dan mural bertuliskan “Bangsa ini butuh orang seperti Chavez” dan “Chavez mengusir dubes Israel, kapan anda melakukannya, penguasa Arab?” bertebaran di kota itu.
Dukungan Chavez terhadap perjuangan rakyat Palestina memang luar biasa. Jauh sebelum Chavez berkuasa, Venezuela dan Israel punya hubungan yang rapat. Di tahun 1970-an hingga 1980-an, Israel membina hubungan kerja sama yang baik dengan rezim sayap kanan di Amerika Latin, seperti Argentina, Bolivia, Brazil, Kolombia, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, El Salvador, Guatemala, Haiti, Honduras, Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru, dan Venezuela. Israel juga aktif mendukung kelompok kontra-revolusioner di Amerika Latin, baik dengan senjata maupun pelatihan militer, untuk memerangi pemerintahan kiri. Hanya Kuba, satu-satunya negara Amerika Latin, yang tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel sejak tahun 1973.
Tapi hal itu mulai bergeser setelah Chavez berkuasa di Venezuela. Chavez melakukan banting stir: ia meninggalkan kerjasama dengan Israel dan berpindah memihak perjuangan rakyat Palestina. Tindakan itu diikuti oleh pemerintahan kiri yang lain, seperti Bolivia, Brazil, Ekuador, Nikaragua, dan lain-lain.
Sejak tahun 2009, Venezuela mengakui eksistensi Negara Palestina. Venezuela juga membuka hubungan diplomatik dengan Otoritas Palestina (PNA). Tahun 2011, Chavez menulis surat kepada Sekjend PBB saat itu, Ban Ki-moon, terkait hak bangsa Palestina untuk merdeka dan menjadi anggota PBB.
Sejak tahun 2010, Sekolah Kedokteran Amerika Latin (ELAM) Dr Salvador Allende di negara bagian Miranda, Venezuela, membuka pintu seluas-luasnya bagi pemuda Palestina untuk belajar ilmu kedokteran. Sedikitnya 50-an pemuda Palestina belajar di Universitas tersebut tanpa dipungut biaya sepeserpun. Tak hanya itu, Venezuela juga merupakan negara pertama di dunia yang menghapus visa masuk bagi warga Palestina.
Kemudian, pada Agustus 2013, Venezuela juga mengirimkan minyak murah untuk Palestina. “Negara Palestina menderita blokade selama beberapa dekade, sebuah pengepungan permanen yang membuat akses bebas terhadap sumber energi, makanan dan transportasi menjadi tidak mungkin. Karena itu, kesepakatan ini sangat penting bagi rakyat Palestina,” kata Menteri Luar Negeri Venezuela, Elias Jaua, saat menandatangani kerjasama solidaritas tersebut.
Penerus Chavez saat ini, Nicolas Maduro, juga masih teguh mendukung perjuangan rakyat Palestina. Pada Juli-Agustus 2014, ketika Israel kembali memborbardir Palestina, Nicolas Maduro meluncurkan kampanye “SOS Palestine” untuk menuntut Israel menghentikan agresi militernya.
Chavez telah menunjukkan sikap internasionalisme. Dia bersolidaritas terhadap perjuangan rakyat tertindas di manapun di dunia, tanpa memandang perbedaan agama dan ras.
Tak mengherankan, ketika Chavez berpulang pada Maret 2013 lalu, rakyat Palestina seakan kehilangan “pahlawannya”. Rakyat Palestina Jalur Gaza dan Tepi Barat turut ke jalan untuk memberi penghormatan terakhir kepada Hugo Chavez.
Hampir semua kelompok perlawanan di Palestina memuji dan mengakui sumbangsih Chavez untuk rakyat Palestina. “Rakyat Palestina akan tetap setia kepada Chavez dan tetap akan terukir di memorinya akan keberanian dan ketulusannya dalam mendukung hak kami mendirikan negara merdeka Palestina dengan ibukotanya di Yerussalem,” kata Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Talal Abu Zareefa, anggota Politbiro Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), mengatakan, “Chavez adalah pahlawan bagi kaum miskin dan tertindas. Kami kehilangan seorang teman yang pemberani. Sejak berkuasa di tahun 1998, Ia selalu mendukung Palestina.”
Hal senada diungkapkan oleh Kayed Al-Goul, anggota Sentral Komite dari PFLP. “Dia (Chavez) mewakili semua bangsa yang menentang hegemoni imperialisme Amerika Serikat,” kata Algoul.
Yahya Rabah, salah seorang pimpinan tinggi Fatah, juga bilang, “Dia (Chavez) menanamkan benih revolusioner di hati jutaan orang di dunia. Dia adalah pendukung utama Palestina dan hak kami untuk merdeka.”
Sementara itu, Taher Nonu, Juru-bicara pemerintahan Hamas di Jalur Gaza, mengatakan, “Chavez dikenal karena dukungannya terhadap Palestina. Dia banyak melakukan langkah-langkah berani untuk menentang pendudukan zionis di Palestina.”
Ya, Chavez adalah pahlawan bagi rakyat Palestina. Hari-hari ketika bom dan roket-roket Israel kembali menerjang rumah-rumah dan rakyat tak berdosa di Jalur Gaza, hati kecil rakyat Palestina tentu merindukan kehadiran Chavez.
Tulisan ini dipersembahkan untuk mengenang Chavez yang berpulang pada 5 Maret 2013. Selamat beristirahat dalam damai, Comandante Chavez.
Raymond Samuel