Apakah perbuatan baik Non-Muslim itu diterima atau tidak? Jika diterima, berarti antara Muslim dan Non-Muslim menjadi tidak berbeda lagi; yang penting, orang tersebut berbuat baik di dunia. Kalau orang itu kita asumsikan Non-Muslim atau tidak beragama sama sekali, ia tidak akan merugi sama sekali. Dan sekiranya tidak diterima, bahkan perbuatannya itu Iaksana debu yang bertebaran, tidak mendapat pahala dari Allah, bagaimana hal itu bisa sejalan dengan keadilan llahi?
Dewasa ini, di berbagai kalangan dari kaum intelektual hingga awam kita menemukan pertanyaan yang menyangkut keadilan Ilahi dan sering diperdebatkan mengenai masalah perbuatan baik Non-Muslim seperti pertanyaan di atas. Dahulu, pertanyaan semacam ini hanya ada dalam perbincangan para filsuf dan dibahas dalam buku-buku filsafat. Sedangkan pada masa sekarang, pertanyaan itu terlontar dari bibir orang di setiap kalangan. Jarang sekali kita temukan orang yang tidak melontarkan pertanyaan seperti itu, paling tidak kepada dirinya sendiri.
Manusia adalah tonggak seluruh makhluk, dan segala sesuatu selainnya diciptakan untuknya, tentunya dengan konsepsi benar yang dipahami oleh ahli-ahli hikmah, bukan yang biasa dikhayalkan oleh mereka yang berpandangan sempit. Lalu, kalau kita berasumsi bahwa manusia itu sendiri diciptakan untuk masuk neraka, orang akan meyakini bahwa kemarahan Allah lebih besar daripada rahmat-Nya. Mengingat kebanyakan manusia terasing dari agama yang benar, bahkan mereka yang mendapat cahaya agama yang benar masih pula banyak yang menyimpang dari segi perbuatan dan pelaksanaannya.
Kira-kira sejak setengah abad lampau -bersamaan dengan semakin mudahnya komunikasi antara kaum Muslim dan selainnya, banyaknya sarana interaksi umum di antara mereka, dan seringnya terjadi pertemuan di antara mereka, persoalan amal baik Non-Muslim ini menjadi buah bibir di berbagai kalangan, khususnya di kalangan yang disebut-sebut sebagai kaum intelektual tercerahkan. Mereka mulai mempersoalkan apakah syarat utama diterimanya perbuatan-perbuatan baik itu status pelakunya harus sebagai Muslim?
Tatkala banyak orang membaca biografi para pencipta dan penemu pada zaman modern yang telah memberikan sumbangan tak ternilai kepada manusia, padahal mereka bukan orang-orang Islam, mereka bertanya: apakah orang-orang ini berhak mendapatkan pahala di sisi Allah? Dan mengingat mereka lazim berpikir bahwa perbuatan Non-Muslim itu semuanya sia-sia dan tidak ada artinya, mereka menjadi mangsa kebimbangan dan keguncangan.
Atas dasar itu, persoalan yang tidak pernah lepas dari pikiran para filsuf dan tidak pernah terlewatkan untuk dibahas dalam pertemuan-pertemuan khusus mereka itu kini semakin menggelisahkan setiap pikiran dan menghangatkan setiap pertemuan. Suara-suara tentangnya pun semakin bermunculan, sebagai keberatan yang dihadapkan pada keadilan Ilahi. Memang, keberatan ini tidak Iangsung menyangkut keadilan llahi, tapi ia secara primer menyangkut perspektif Islam tentang manusia dan segenap perbuatannya. Baru setelah itu, secara sekunder, ia berkaitan dengan keadilan llahi manakala perspektif Islam tentang manusia, perbuatan-perbuatan dan perlakuan Allah terhadapnya itu dianggap berlawanan arah dengan kriteria-kriteria keadilan Ilahi.
Tak pernah hilang dari ingatan saya ketika seorang pria dari kota kelahiran saya datang ke Teheran. Dia adalah Muslim yang taat beragama. Ketika berjumpa dengan saya, dia mendebat saya mengenai persoalan ini. Orang itu telah menyaksikan para perawat Kristen yang merawat dengan ikhlas (paling tidak sesuai dengan keyakinan mereka) sejumlah pasien penderita lepra di rumah sakit Masyhad. Kejadian itu sangat memengaruhi, membingungkan, dan menyebabkannya ragu-ragu dan bertanya-tanya. Sebagaimana Anda ketahui, merawat orang sakit lepra adalah pekerjaan berat yang biasanya dihindari oleh para perawat lantaran tingkat kesulitannya yang demikian tinggi. Saat rumah sakit itu didirikan, tidak banyak dokter yang mau bertugas, demikian pula dengan umumnya perawat lokal yang enggan bekerja di sana.
Untuk itu, dipasanglah iklan di berbagai surat kabar tentang Iowongan tenaga perawat. Hasilnya, tidak seorang pun perawat di seluruh Iran yang mengajukan lamaran. Akibatnya, lowongan itu diisi oleh para perawat asketik Kristen asal Prancis. Mereka datang dan memikul tugas sebagai perawat di rumah sakit kusta tersebut. Pengorbanan, tindakan kemanusiaan, dan keikhlasan yang diperlihatkan oleh para perawat itu begitu berkesan pada diri para pasien yang telah terasingkan, bahkan dari ayah dan ibunya.
Orang tadi menceritakan kepada saya bahwa orang-orang Kristen tersebut mengenakan pakaian panjang yang sangat rapi dan bersih, dan tidak tampak selain wajahnya. Masing-masing memegang rosario panjang, kira-kira berisi seribu biji. Setiap kali berhenti bekerja, mereka berdoa menggunakan rosario.
Selanjutnya, dengan pikiran yang sangat bergejolak dan dengan penuh semangat, ia bertanya, apakah benar pendapat yang menganggap bahwa selain orang-orang Islam itu tidak akan ada yang masuk surga? Di sini, saya tidak akan membicarakan motif sebenarnya yang tersembunyi di balik kedatangan para perawat Kristen tadi. Apakah memang benar-benar karena Allah dan di jalan-Nya, atau kecintaan sejati terhadap kemanusiaan, ataukah ada motif-motif lain yang tidak kita ketahui?
Saya tidak akan pesimistis, sekalipun tidak pula sepenuhnya optimistis. Saya hanya bermaksud menjelaskan bahwa peristiwa dan pelayanan tersebut begitu berpengaruh terhadap masyarakat kita dan mendorong putra-putri kita untuk bertanya dan mencari-cari.
Ketika saya diundang untuk memberikan ceramah di sebuah perkumpulan, hadirin diminta mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mereka ingin, saya memilih tema ceramah dari salah satu pertanyaan-pertanyaan tadi. Lalu saya temukan bahwa pertanyaan yang paling banyak diulang adalah sebagai berikut: “Apakah Allah akan melemparkan semua Non-Muslim ke neraka? Apakah Louis Pasteur, Thomas Alva Edison, dan Robert Koch termasuk mereka yang akan disiksa di akhirat (mengingat banyaknya asa mereka untuk peradaban dunia)?”
Sejak itu, saya sendiri menyadari betapa pentingnya masalah itu, dan betapa ia telah mengganggu pikiran dan jiwa banyak orang. Melalui diskusi ini, kita tidak bermaksud mengetahui tempat kembalinya seseorang. Kita tidak akan bisa memastikan apakah Pasteur adalah penghuni surga ataukah penghuni neraka. Karena, kita tidak bisa memastikan beberapa pertanyaan penting berikut: Apakah hakikat pemikiran dan keyakinannya? Apakah niat-niat sejatinya? Bagaimana pula watak-watak spiritual dan moralnya? Bahkan, bagaimana keseluruhan perbuatannya dalam hidupnya? Selain pengabdian-pengabdian ilmiahnya, kita tidak tahu banyak tentang dirinya.
Hal demikian tidak terjadi pada Pasteur saja, tetapi juga pada yang lain. Pada dasarnya, seseorang tidak berhak memastikan pendapatnya mengenai orang lain, apakah orang tersebut penghuni neraka atau penghuni surga. Status mereka sepenuhnya di tangan Allah. Dan tak seorang pun berhak mengungkapkan opininya dengan penuh keyakinan terkait apakah seseorang akan masuk surga atau neraka.
Apabila kita ditanya, apakah Syaikh Murtadha Al-Anshari (semoga Allah merahmatinya) dengan segala kezuhudan, ketakwaan, keimanan, dan amal salehnya pasti termasuk penghuni surga atau tidak? Maka jawabannya adalah, sepengetahuan kami yang tidak pernah mendapati beliau melakukan kejelekan ilmiah dan amaliah, seluruh diri beliau adalah baik dan istiqamah. Adapun apakah seratus persen beliau menjadi penghuni surga, haL itu bukan urusan kita. Karena itu adalah hak prerogatif Allah yang Maha Mengetahui hati dan niat seseorang, dan hanya Dia yang Maha Mengetahui rahasia paling tersembunyi dalam jiwa seseorang. Oleh karena itu, urusan mereka terserah kepada Allah. Kita bisa mengutarakan pendapat pasti ihwal orang-orang yang telah diceritakan oleh para wali Allah mengenai status ukhrawi mereka kelak.
Hal selanjutnya yang harus dijelaskan sebelum memasuki pokok bahasan, adalah bahwa kita harus membahas perbuatan-perbuatan baik Non-Muslim dengan dua cara, yang pada dasarnya merupakan dua isu. Pertama, menyangkut pertanyaan berikut: Apakah agama yang diterima Allah itu hanya Islam, ataukah ada agama lain yang diterima di sisi-Nya? Dengan kata lain, apakah yang diwajibkan kepada seseorang itu hanyalah beragama dengan agama tertentu, setidaknya agama yang dinisbahkan kepada salah satu Nabi Allah, dan tidak beda antara Islam, Kristen, dan bahkan Majusi? Atau, apakah pada setiap zaman hanya terdapat satu agama hakiki, dan tidak ada yang lain?
Kedua adalah setelah menerima bahwa agama yang benar pada setiap zaman itu hanya satu, maka kita bertanya: Apabila seseorang yang tidak mengikuti satu agama yang benar, tapi berperilaku sesuai dengan tuntutan agama yang benar tersebut, apakah amal baiknya berhak mendapatkan balasan pahala di akhirat? Dengan kata lain, apakah syarat diterimanya pahala amal saleh itu adalah bahwa pelakunya mesti memeluk satu agama yang benar tersebut?
lsu pertama dapat kita jawab secara ringkas bahwa pada setiap zaman, hanya ada satu agama yang benar, dan seluruh manusia harus mengikutinya dan tidak boleh mengikuti agama yang lain. Pemikiran yang berkembang akhir-akhir ini di tengah mereka yang mengaku kaum intelektual “tercerahkan” yang mengatakan bahwa seluruh agama samawi pada setiap zaman memiliki derajat kesahihan yang setara, adalah pemikiran yang rancu. Walaupun, di antara nabi-nabi itu tak ada perselisihan, juga tak ada pertentangan, karena mereka menuju satu tujuan dan menyembah satu Rabb. Para nabi diutus kepada umat manusia bukan untuk memecah belah mereka menjadi golongan-golongan, juga bukan untuk membuat mereka menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan.
Namun, hal itu tidak berarti bahwa pada setiap zaman bisa terdapat banyak agama yang, dilihat dari sudut kebenarannya adalah sama, lantas manusia bebas memilih di antara agama-agama tersebut. Agama apa pun yang dia pilih, maka tanggung jawabnya untuk memeluk agama yang benar telah selesai. Tidak demikian, yang dimaksud adalah bahwa manusia harus beriman kepada seluruh nabi, di mana para nabi yang terdahulu memberitakan kedatangan nabi yang akan datang, terutama nabi paling mulia dan penutup mereka (Rasulullah Saw), dan bahwasanya nabi yang terkemudian pasti membenarkan risalah para nabi sebelumnya.
Salah satu konsekuensi beriman kepada seluruh nabi adalah tunduk kepada syariat nabi tertentu yang ada pada zamannya. Dan tentu saja, sudah semestinya di zaman terakhir ini manusia harus berperilaku sesuai dengan syariat terakhir yang Allah wahyukan kepada Nabi Penutup ini. lnilah makna Islam, yakni berserah diri kepada Allah dan menerima risalah semua rasul-Nya.
Sekarang banyak orang yang percaya bahwa manusia cukup beriman kepada Allah dan mengikuti salah satu agama samawi yang terbukti berasal dari Allah, serta melaksanakan perintah-perintah agama tersebut. Adapun bentuk syariat dan hukum tidaklah begitu penting. Isa a.s. adalah nabi, dan Muhammad Saw juga nabi. Sekiranya kita beramal sesuai dengan perintah-perintah Isa, pergi ke gereja sekali seminggu, amal kita itu pasti akan diterima. Begitu pula, bila kita mengamalkan perintah-perintah Nabi Muhammad Saw seperti mengerjakan salat wajib lima kali sehari, niscaya amal kita pun akan diterima pula. Mereka beranggapan bahwa yang terpenting adalah beriman kepada Allah dan beramal sesuai dengan hukum-Nya (maksudnya, hukum llahi yang mana pun).
Di antara yang meyakini pendapat seperti ini adalah George Jordaq (penulis buku Suara Keadilan Imam Ali), Khalil Gibran, dan sejumlah pemikir lainnya. Keduanya adalah sastrawan Kristen Lebanon yang termasyhur. Kedua orang ini bercerita tentang pribadi Rasulullah Saw dan Amir Al-Mukminun a.s., persis seperti seorang Mukmin yang meyakini keduanya. Sebagian orang bertanya, bagaimana mungkin mereka meyakini Nabi Saw dan Imam Ali a.s. padahal keduanya adalah penganut Kristen? Jika perkataan itu benar, niscaya mereka menjadi Muslim, dan apabila mereka tetap sebagai orang Kristen, dapat dipastikan bahwa perkataan mereka terhadap Nabi Saw dan Imam Ali bukanlah keyakinan yang sesungguhnya.
Jawaban kita adalah bahwa kecintaan dan keyakinan mereka bukanlah kebohongan, tapi mereka mengikuti metode berpikir·yang tidak melihat adanya halangan dalam menganut beberapa agama. Mereka juga beranggapan bahwa seseorang tidak wajib beragama dengan satu agama tertentu. Apa pun agama yang diyakini, hal itu sudah dipandang cukup. Dengan demikian, ketika meyakini agama Kristen, mereka pun bisa mencintai Imam Ali a.s. Mereka berkeyakinan bahwa Imam Ali sendiri berpikir seperti mereka. George Jordaq berkata: “Ali bin Abi Thalib enggan mewajibkan seseorang menerima agama tertentu.”
Saya tidak sependapat dengan pemikiran tersebut. Benar, bahwa dalam agama tak ada paksaan, sebagaimana Allah berfirman, Tidak ada paksaan dalam agama… (QS AI-Baqarah: 256), tapi ini tidak berarti bahwa pada suatu zaman terdapat berbagai agama dan setiap orang berhak memilih agama yang diminatinya. Pada setiap zaman, hanya ada satu agama yang benar. Pada setiap zaman, datang seorang nabi yang membawa syariat Allah dan manusia diwajibkan mengikuti dan mengamalkannya, baik menyangkut ibadah maupun masalah-masalah lainnya, hingga berakhir pada periode penutup para nabi. Pada zaman Rasulullah Saw ini, jika seseorang ingin menemukan jalannya menuju Allah, orang tersebut harus mengikuti perintah-perintah agama yang dibawanya.
Al-Quran mengatakan: Dan barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat, ia termasuk orang-orang yang merugi. (QS Ali Imran: 85)
Bila yang dimaksud dengan “Islam”dalam ayat ini adalah berserah diri (taslim) kepada Allah, bukan agama terakhir Nabi Muhammad yang dibawa untuk manusia, jawabannya adalah benar bahwa Islam itu artinya berserah diri (taslim) dan agama Islam tak lain adalah agama penyerahan (taslim). Hanya saja, hakikat taslim pada setiap zaman itu memiliki bentuk tertentu, dan bentuknya pada zaman kita adalah agama yang dibawa oleh Nabi Penutup Saw. Karenanya, kata “Islam” itu sendiri hanya sesuai untuk agama Islam ini.
Dengan kata lain, berserah diri (taslim) kepada Allah, pada dasarnya, mengharuskan diterimanya seluruh perintah Allah. Orang tersebut harus mengamalkan perintah-perintah-Nya, dan perintah-perintah-Nya yang terakhir, tak lain adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Terdapat dua kelompok yang berpendapat tentang amalan Non-Muslim dihadapan Allah, yaitu ‘intelektual’ dan puritan. Kaum ‘intelektual yang tercerahkan’ dengan tegas menjawab bahwa orang Islam dan bukan Islam, pada dasarnya, tidak berbeda, bahkan seorang muwahhid (penganut tauhid) dan bukan juga tidak berbeda. Setiap orang yang beramal saleh, seperti mendirikan yayasan kesejahteraan, menemukan sesuatu atau menciptakannya, berhak menerima pahala atau ganjaran dari Allah.
Mereka berpendapat bahwa Allah Mahaadil sehingga Dia tak akan mengistimewakan salah seorang di antara hamba-hamba-Nya. Karena, bagi Allah, beriman atau tidaknya seseorang kepada-Nya tidaklah berpengaruh apa-apa, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan perbuatan hamba-Nya semata-mata karena dia tidak beriman dan tidak memiliki keterkaitan dengan-Nya. Lebih-lebih lagi, apabila ada seseorang yang mengenal Tuhannya, mengimani-Nya, dan berbuat baik, tapi dia tidak mengimani para rasul dan nabi-Nya, maka lebih pasti lagi amal salehnya tidak akan sia-sia dan haknya pun tidak akan terhapus.
Berbeda dengan mereka, kelompok puritan secara tegas menentang kelompok pertama. Kelompok ini memandang bahwa seluruh manusia mesti mendapat siksa dan tidak akan ada yang selamat kecuali sedikit saja. Mereka, dengan anggapan tersebut, berdalil bahwa manusia kalau tidak Muslim, pasti Non-Muslim. Yang Non-Muslim jumlahnya tiga perempat penduduk dunia, dan karena mereka bukan orang-orang Islam, mereka adalah penghuni neraka.
Begitulah logika pemikiran kedua kubu tersebut. Yang pertama tidak melihat di alam ini kecuali kedamaian dan keselamatan, sedangkan yang kedua tidak melihat sesuatu di dalamnya selain murka dan dendam kesumat, di mana kemurkaan Allah melebihi rahmat-Nya.
Namun, di hadapan kita ada alternatif ketiga, yaitu logika Alquran yang memberi kita pemikiran yang berbeda dengan dua pemikiran sebelumnya, yaitu suatu pemikiran yang penuh dengan aroma Alquran. Perspektif Alquran tidak sama dengan perspektif kaum “tercerahkan”, dan tidak pula sejalan dengan perspektif kaum ‘puritan ekstrem’.
Alquran membangun perspektifnya di atas dasar yang istimewa. Ketika manusia mengetahuinya, dia akan dipaksa mengakui bahwa satu-satunya pemecahan yaitu yang diberikan oleh Alquran itu, sehingga kita semakin yakin terhadapnya dan menyadari bahwa pengetahuan luhur ini bukanlah berasal dari manusia, melainkan pengetahuan yang memiliki asal-usul samawi.
Ikhlas Adalah Syarat Diterimanya Amal
Setiap perbuatan pada dasarnya memiliki dua aspek, dan setiap aspek memiliki penilaian yang terpisah mengenai baik-buruknya. Bisa jadi satu perbuatan itu baik dilihat dari satu aspek, dan buruk dilihat dari aspek Iainnya. Sebaliknya, bisa juga kedua aspeknya baik, atau kedua-duanya buruk. Aspek pertama berhubungan dengan efek perbuatan di alam eksternal dan kehidupan sosial manusia, sedangkan aspek kedua terkait dengan hubungan perbuatan itu dengan pelakunya, motivasi-motivasi psikologis dan spiritual yang menggerakkannya ke perbuatan itu, dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh pelaku dengan melaksanakan perbuatan tersebut.
Pada sudut-pandang pertama, kita harus menentukan sejauh mana dampak baik atau buruk perbuatan itu terhadap masyarakat. Sedangkan pada sudut-pandang kedua, kita mesti menentukan kerangka spiritual dan mental pelaku guna mengetahui tipologi perbuatannya dan kemana tujuannya.
AIquran mengatakan: “Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya…” (QS. aI-Mulk: 2)
Allah mengatakan ahsanu ‘amalan (yang terbaik amalnya), dan tidak aktsaru ‘amalan (yang terbanyak amalnya). Ini karena saat kita melaksanakan amal tertentu yang dipengaruhi oleh motif-motif spiritual, maka selain tampilan lahiriah amal itu sendiri secara spiritual akan menuju arah dan menempuh jalan berbeda. Karena itu, persoalannya sama sekali tidak sederhana, di mana yang ada hanyalah perbuatan dan kerja otot semata-mata. Nilai pikiran dan niat terletak sebagai pengantar terjadinya perbuatan. Jadi, apa pun pengantarnya, perbuatan tetap sama saja.
Sebaliknya, efektualitas pikiran dan niat tidak kalah dengan efektualitas perbuatan (lahiriah) itu sendiri. Paham yang mengunggulkan perbuatan (lahiriah) dan mengesampingkan pikiran, niat, dan keyakinan, serta memandangnya hanya memiliki nilai pengantar, jelas merupakan paham materialistis. Selain gagal membuktikan kebenarannya, pemikiran tersebut jelas-jelas bertentangan dengan pandangan Alquran.
Alquran memandang bahwa kepribadian dan ke-aku-an kita yang hakiki adalah ruh kita. Seiring dengan tiap perbuatan yang dipilihnya secara bebas, ruh beranjak dari potensialitas kepada aktualitas, dan memperoleh karakter yang sesuai dengan kehendak dan tujuan perbuatan tadi. Semua malakah (kebiasaan yang sudah mewatak) dan dampak tersebut menjadi bagian dari kepribadian kita dan membawa kita menuju alam yang sesuai untuknya dari sekian banyak tingkat eksistensi.
Jadi, baik dan buruk fi’liy, yaitu baik dan buruk pada aspek pertama, bergantung pada dampak eksternal dan sosial perbuatan tersebut. Sedangkan baik dan buruk fa’iliyy, yaitu baik dan buruk pada aspek kedua, bergantung pada kualitas munculnya perbuatan tersebut dari pelakunya.
Jadi, pada kasus pertama, penilaian kita berpijak pada dampak-dampak eksternal dan sosial suatu perbuatan; sedangkan pada kasus kedua, penilaian kita berpijak pada dampak-dampak internal, transendental, intelektual, dan spiritual perbuatan tersebut pada diri pelakunya.
Seandainya seseorang mendirikan sebuah rumah sakit, lembaga-lembaga kebudayaan, atau lembaga-lembaga perekonomian, tidak syak lagi bahwa perbuatan ini, dari perspektif sosial dan penilaian sejarah,
merupakan perbuatan baik. Artinya, perbuatan-perbuatan tersebut bermanfaat bagi makhluk Allah. Dengan perspektif seperti ini, kita tidak mempertimbangkan apa yang menjadi tujuan pendiri rumah sakit atau lembaga-lembaga tersebut. Apakah didorong oleh sikap riya dan sekadar ingin memuaskan dorongan-dorongan psikologisnya, atau didorong oleh faktor-faktor kemanusiaan yang luhur, tidak bersifat individual dan materialistis. Yang jelas, lembaga-lembaga tersebut didirikan dengan motif-motif
Hubungan kebaikan fi’liy dengan kebaikan fa’iliyy adalah seperti hubungan badan dengan ruh. Suatu makhluk hidup terdiri atas badan dan ruh. Dengan demikian, agar perbuatan itu hidup dan menjadi sosok yang hidup, perbuatan yang memiliki nilai kebaikan fi’liy itu harus disertai dengan kebaikan fa’iliyy.
Maka, dalil rasional dari kaum intelektual yang berpendapat bahwa karena hubungan (cara penilaian) Allah kepada seluruh makhluk-Nya itu sama, maka perbuatan baik setiap orang adalah sama. Dan mau tak mau, setiap orang yang melakukan perbuatan baik pasti mendapatkan pahala akhirat yang setara dengan pahala yang diterima oleh seorang Mukmin. Dalil ini sangat memperhatikan perbuatan dan menjelaskan bahwa hubungan Allah dengan seluruh makhluk-Nya adalah sama, tapi dalil ini melupakan poin penting, yaitu motif-motif dan tujuan-tujuan pelaku, serta gerakan-gerakan spiritual dan niatnya.
Mereka mengatakan, “Tidaklah penting bagi Allah, apakah pelaku perbuatan tersebut menyadari perbuatan itu untuk kebaikan atau tidak, apakah pekerjaan itu dilakukan untuk meraih ridha-Nya atau untuk tujuan lain, untuk ber-taqarrub kepada-Nya atau kepada selain-Nya.”
Benar, dalam hubungannya dengan Allah, semuanya itu tidak berbeda. Tetapi, ia betul-betul berbeda bila dinisbatkan pada pribadi pelakunya. Seorang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak mengakui keberadaan-Nya akan melalui jalan spiritual yang berbeda dengan jalan spiritual yang dilalui oleh seorang Mukmin dan yang mengakui keberadaan-Nya. Apabila seseorang tidak beriman kepada Allah, amalnya hanya memiliki satu aspek dan dimensi. Dia hanya akan meraih kebaikan fi’liy, yaitu kebaikan yang bernilai sosial dan historis belaka. Sedangkan orang yang beriman kepada Allah, selain meraih kebaikan tadi, dia juga meraih kebaikan fa’iliyy.
Seorang Mukmin mengarahkan amalnya untuk Allah dan untuk naik ke atas, sedangkan amal orang yang tidak beriman tidak akan pernah naik ke atas. Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan Allah, perbedaan itu tidak terjadi. Tetapi, perbedaan terjadi dalam hubungannya dengan perbuatan itu sendiri. Adakalanya perbuatan itu menjadi wujud hidup yang terus naik ke tingkat-tingkat atas, dan adakalanya pula ia dinamakan perbuatan yang mati dan terus merosot ke bawah.
Mereka mengatakan, “Allah itu Mahaadil dan Mahabijaksana. Tidak mungkin Dia menghapuskan perbuatan baik seseorang yang tidak berdosa semata-mata karena orang itu tidak memiliki ikatan mahabbah dengan-Nya.” Memang, kita juga yakin bahwa Allah tidak akan menghapuskan perbuatan baik seseorang. Tetapi, apabila ia adalah seorang yang tidak mengakui keberadaan-Nya, bagaimana mungkin perbuatannya bisa bersifat baik secara aktual dan faktual, dan memiliki dampak yang baik pula sekaligus dari segi sosial dan spiritual bagi pelakunya.
Semua kesalahan ini berasal dari asumsi bahwa perbuatan yang memiliki manfaat sosial itu cukup untuk bisa dipandang sebagai perbuatan baik dan saleh. Tegasnya, kita bisa saja berasumsi (sekalipun asumsi ini mustahil) ada seseorang yang tidak mengakui keberadaan Allah, kemudian mengarahkan perbuatan baiknya kepada-Nya, maka Allah tidak akan menolaknya. Tetapi, pada hakikatnya, seseorang yang tidak mengakui Allah tidak akan bisa mengoyak tabir egonya. Jiwanya tidak akan mencapai ketinggian spiritual dan naik kepada-Nya agar dia bisa merealisasikan amalnya menjadi amal yang berdimensi malakuti, dan meraih kebahagiaan di alam tersebut. Diterimanya suatu amal di sisi Allah tidak bisa diartikan lain kecuali dengan pengertian seperti itu.
Begitu pun apabila seorang Muslim membayar zakat dengan disertai riya, zakatnya tidak diterima. Begitu juga, apabila ia bertempur di medan perang dengan niat untuk mempertontonkan kegagahannya, amal tersebut tidak akan diterima. Yang Allah kehendaki adalah prajurit yang memenuhi panggilan dengan ikhlas, “Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang beriman dengan surga yang telah disediakan buat mereka.” (QS. at-Taubah: 111).
Menurut riwayat-riwayat mutawatir yang disepakati Sunni dan Syiah, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya, segala perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan menerima sesuai dengan yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulNya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya, atau karena perempuan yang mau dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada yang dihijrahinya itu.”
Imam Jafar Shadiq a.s. mengatakan: “Persembahkanlah amal-amal kalian itu untuk Allah, bukan untuk manusia. Karena setiap yang diperuntukkan bagi Allah niscaya menuju kepada-Nya, dan setiap yang diperuntukkan bagi manusia tidak akan naik kepada-Nya.”
Niat adalah ruh suatu perbuatan. Kalau badan manusia menjadi mulia karena adanya ruh, begitu pula hubungan niat dengan amalnya. Apa yang menjadi ruh bagi perbuatan itu? Ruhnya adalah ikhlas. Allah Swt. berfirman di dalam Alquran, “Tidaklah mereka diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan keikhlasan kepada-Nya.” (QS. al-Bayyinah: 5)