Kamis, 06 April 2023

Kajian Tentang Diterima Tidaknya Perbuatan Baik Non-Muslim


 Apakah perbuatan baik Non-Muslim itu diterima atau tidak? Jika diterima, berarti antara Muslim dan Non-Muslim menjadi tidak berbeda lagi; yang penting, orang tersebut berbuat baik di dunia. Kalau orang itu kita asumsikan Non-Muslim atau tidak beragama sama sekali, ia tidak akan merugi sama sekali. Dan sekiranya tidak diterima, bahkan perbuatannya itu Iaksana debu yang bertebaran, tidak mendapat pahala dari Allah, bagaimana hal itu bisa sejalan dengan keadilan llahi?


Dewasa ini, di berbagai kalangan dari kaum intelektual hingga awam kita menemukan pertanyaan yang menyangkut keadilan Ilahi dan sering diperdebatkan mengenai masalah perbuatan baik Non-Muslim seperti pertanyaan di atas. Dahulu, pertanyaan semacam ini hanya ada dalam perbincangan para filsuf dan dibahas dalam buku-buku filsafat. Sedangkan pada masa sekarang, pertanyaan itu terlontar dari bibir orang di setiap kalangan. Jarang sekali kita temukan orang yang tidak melontarkan pertanyaan seperti itu, paling tidak kepada dirinya sendiri.


Manusia adalah tonggak seluruh makhluk, dan segala sesuatu selainnya diciptakan untuknya, tentunya dengan konsepsi benar yang dipahami oleh ahli-ahli hikmah, bukan yang biasa dikhayalkan oleh mereka yang berpandangan sempit. Lalu, kalau kita berasumsi bahwa manusia itu sendiri diciptakan untuk masuk neraka, orang akan meyakini bahwa kemarahan Allah lebih besar daripada rahmat-Nya. Mengingat kebanyakan manusia terasing dari agama yang benar, bahkan mereka yang mendapat cahaya agama yang benar masih pula banyak yang menyimpang dari segi perbuatan dan pelaksanaannya.


Kira-kira sejak setengah abad lampau -bersamaan dengan semakin mudahnya komunikasi antara kaum Muslim dan selainnya, banyaknya sarana interaksi umum di antara  mereka, dan seringnya  terjadi pertemuan di antara mereka, persoalan amal baik Non-Muslim ini menjadi buah bibir di berbagai kalangan, khususnya di kalangan yang disebut-sebut sebagai kaum intelektual tercerahkan. Mereka mulai mempersoalkan apakah syarat utama diterimanya perbuatan-perbuatan baik itu status pelakunya harus sebagai Muslim?


Tatkala banyak orang membaca biografi para pencipta dan penemu pada zaman modern yang telah memberikan sumbangan tak ternilai kepada manusia, padahal mereka bukan orang-orang Islam, mereka bertanya: apakah orang-orang ini berhak mendapatkan pahala di sisi Allah? Dan mengingat mereka lazim berpikir bahwa perbuatan Non-Muslim itu semuanya sia-sia dan tidak ada artinya, mereka menjadi mangsa kebimbangan dan keguncangan.


Atas dasar itu, persoalan yang tidak pernah lepas dari pikiran para filsuf dan tidak pernah terlewatkan untuk dibahas dalam pertemuan-pertemuan khusus mereka itu kini semakin  menggelisahkan setiap pikiran dan menghangatkan setiap pertemuan. Suara-suara tentangnya pun semakin bermunculan, sebagai keberatan yang dihadapkan pada keadilan Ilahi. Memang, keberatan ini tidak Iangsung menyangkut keadilan llahi, tapi ia secara primer menyangkut perspektif Islam tentang manusia dan segenap perbuatannya. Baru setelah itu, secara sekunder, ia berkaitan dengan keadilan llahi manakala perspektif Islam tentang manusia, perbuatan-perbuatan dan perlakuan Allah terhadapnya itu dianggap berlawanan arah dengan kriteria-kriteria keadilan Ilahi.


Tak pernah hilang dari ingatan saya ketika seorang pria dari kota kelahiran saya datang ke Teheran. Dia adalah Muslim yang taat beragama. Ketika berjumpa dengan saya, dia mendebat saya mengenai persoalan ini. Orang itu telah menyaksikan para perawat Kristen yang merawat dengan ikhlas (paling tidak sesuai dengan keyakinan mereka) sejumlah pasien penderita lepra di rumah sakit Masyhad. Kejadian itu sangat memengaruhi, membingungkan, dan menyebabkannya ragu-ragu dan bertanya-tanya. Sebagaimana Anda ketahui, merawat orang sakit lepra adalah pekerjaan berat yang biasanya dihindari oleh para perawat lantaran tingkat kesulitannya yang demikian tinggi. Saat rumah sakit itu didirikan, tidak banyak dokter yang mau bertugas, demikian pula dengan umumnya perawat lokal yang enggan bekerja di sana.


Untuk itu, dipasanglah iklan di berbagai surat kabar tentang Iowongan tenaga perawat. Hasilnya, tidak seorang pun perawat di seluruh Iran yang mengajukan lamaran. Akibatnya, lowongan itu diisi oleh para perawat asketik Kristen asal Prancis. Mereka datang dan memikul tugas sebagai perawat di rumah sakit kusta tersebut. Pengorbanan, tindakan kemanusiaan, dan keikhlasan yang diperlihatkan oleh para perawat itu begitu berkesan pada diri para pasien yang telah terasingkan, bahkan dari ayah dan ibunya.


Orang tadi menceritakan kepada saya bahwa orang-orang Kristen tersebut mengenakan pakaian panjang yang sangat rapi dan bersih, dan tidak tampak selain wajahnya. Masing-masing memegang rosario panjang, kira-kira berisi seribu biji. Setiap kali berhenti bekerja, mereka berdoa menggunakan rosario.


Selanjutnya, dengan pikiran yang sangat bergejolak dan dengan penuh semangat, ia bertanya, apakah benar pendapat yang menganggap bahwa selain orang-orang Islam itu tidak akan ada yang masuk surga? Di sini, saya tidak akan membicarakan motif sebenarnya yang tersembunyi di balik kedatangan para perawat Kristen tadi. Apakah memang benar-benar karena Allah dan di jalan-Nya, atau kecintaan sejati terhadap kemanusiaan, ataukah ada motif-motif lain yang tidak kita ketahui?


Saya tidak akan pesimistis, sekalipun tidak pula sepenuhnya optimistis. Saya hanya bermaksud menjelaskan bahwa peristiwa dan pelayanan tersebut begitu berpengaruh terhadap masyarakat kita dan mendorong putra-putri kita untuk bertanya dan mencari-cari.


Ketika saya diundang untuk memberikan ceramah di sebuah perkumpulan, hadirin diminta mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Mereka ingin, saya memilih tema ceramah dari salah satu pertanyaan-pertanyaan tadi. Lalu saya temukan bahwa pertanyaan yang paling banyak diulang adalah sebagai berikut: “Apakah Allah akan melemparkan semua Non-Muslim ke neraka? Apakah Louis Pasteur, Thomas Alva Edison, dan Robert Koch termasuk mereka yang akan disiksa di akhirat (mengingat banyaknya asa mereka untuk peradaban dunia)?”


Sejak itu, saya sendiri menyadari betapa pentingnya masalah itu, dan betapa ia telah mengganggu pikiran dan jiwa banyak orang. Melalui diskusi ini, kita tidak bermaksud mengetahui tempat kembalinya seseorang. Kita tidak akan bisa memastikan apakah Pasteur adalah penghuni surga ataukah penghuni neraka. Karena, kita tidak bisa memastikan beberapa pertanyaan penting berikut: Apakah hakikat pemikiran dan keyakinannya? Apakah niat-niat sejatinya? Bagaimana pula watak-watak spiritual dan moralnya? Bahkan, bagaimana keseluruhan perbuatannya dalam hidupnya? Selain pengabdian-pengabdian ilmiahnya, kita tidak tahu banyak tentang dirinya.


Hal demikian tidak terjadi pada Pasteur saja, tetapi juga pada yang lain. Pada dasarnya, seseorang tidak berhak memastikan pendapatnya mengenai orang lain, apakah orang tersebut penghuni neraka atau penghuni surga. Status mereka sepenuhnya di tangan Allah. Dan tak seorang pun berhak mengungkapkan opininya dengan penuh keyakinan terkait apakah seseorang akan masuk surga atau neraka.


Apabila kita ditanya, apakah Syaikh Murtadha Al-Anshari (semoga Allah merahmatinya) dengan segala kezuhudan, ketakwaan, keimanan, dan amal salehnya pasti termasuk penghuni surga atau tidak? Maka jawabannya adalah, sepengetahuan kami yang tidak pernah mendapati beliau melakukan kejelekan ilmiah dan amaliah, seluruh diri beliau adalah baik dan istiqamah. Adapun apakah seratus persen beliau menjadi penghuni surga, haL itu bukan urusan kita. Karena itu adalah hak prerogatif Allah yang Maha Mengetahui hati dan niat seseorang, dan hanya Dia yang Maha Mengetahui rahasia paling tersembunyi dalam jiwa seseorang. Oleh karena itu, urusan mereka terserah kepada Allah. Kita bisa mengutarakan pendapat pasti ihwal orang-orang yang telah diceritakan oleh para wali Allah mengenai status ukhrawi mereka kelak.


Hal selanjutnya yang harus dijelaskan sebelum memasuki pokok bahasan, adalah bahwa kita harus membahas perbuatan-perbuatan baik Non-Muslim dengan dua cara, yang pada dasarnya merupakan dua isu. Pertama, menyangkut pertanyaan berikut: Apakah agama yang diterima Allah itu hanya Islam, ataukah ada agama lain yang diterima di sisi-Nya? Dengan kata lain, apakah yang diwajibkan kepada seseorang itu hanyalah beragama dengan agama tertentu, setidaknya agama yang dinisbahkan kepada salah satu Nabi Allah, dan tidak beda antara Islam, Kristen, dan bahkan Majusi? Atau, apakah pada setiap zaman hanya terdapat satu agama hakiki, dan tidak ada yang lain?


Kedua adalah setelah menerima bahwa agama yang benar pada setiap zaman itu hanya satu, maka kita bertanya: Apabila seseorang yang tidak mengikuti satu agama yang benar, tapi berperilaku sesuai dengan tuntutan agama yang benar tersebut, apakah amal baiknya berhak mendapatkan balasan pahala di akhirat? Dengan kata lain, apakah syarat diterimanya pahala amal saleh itu adalah bahwa pelakunya mesti memeluk satu agama yang benar tersebut?


lsu pertama dapat kita jawab secara ringkas bahwa pada setiap zaman, hanya ada satu agama yang benar, dan seluruh manusia harus mengikutinya dan tidak boleh mengikuti agama yang lain. Pemikiran yang berkembang akhir-akhir ini di tengah mereka yang mengaku kaum intelektual “tercerahkan” yang mengatakan bahwa seluruh agama samawi pada setiap zaman memiliki derajat kesahihan yang setara, adalah pemikiran yang rancu. Walaupun, di antara nabi-nabi itu tak ada perselisihan, juga tak ada pertentangan, karena mereka menuju satu tujuan dan menyembah satu Rabb. Para nabi diutus kepada umat manusia bukan untuk memecah belah mereka menjadi golongan-golongan, juga bukan untuk membuat mereka menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan.


Namun, hal itu tidak berarti bahwa pada setiap zaman bisa terdapat banyak agama yang, dilihat dari sudut kebenarannya adalah sama, lantas manusia bebas memilih di antara agama-agama tersebut. Agama apa pun yang dia pilih, maka tanggung jawabnya untuk memeluk agama yang benar telah selesai. Tidak demikian, yang dimaksud adalah bahwa manusia harus beriman kepada seluruh nabi, di mana para nabi yang terdahulu memberitakan kedatangan nabi yang akan datang, terutama nabi paling mulia dan penutup mereka (Rasulullah Saw), dan bahwasanya nabi yang terkemudian pasti membenarkan risalah para nabi sebelumnya.


Salah satu konsekuensi beriman kepada seluruh nabi adalah tunduk kepada syariat nabi tertentu yang ada pada zamannya. Dan tentu saja, sudah semestinya di zaman terakhir ini manusia harus berperilaku sesuai dengan syariat terakhir yang Allah wahyukan kepada Nabi Penutup ini. lnilah makna Islam, yakni berserah diri kepada Allah dan menerima risalah semua rasul-Nya.


Sekarang banyak orang yang percaya bahwa manusia cukup beriman kepada Allah dan mengikuti salah satu agama samawi yang terbukti berasal dari Allah, serta melaksanakan perintah-perintah agama tersebut. Adapun bentuk syariat dan hukum tidaklah begitu penting. Isa a.s. adalah nabi, dan Muhammad Saw juga nabi. Sekiranya kita beramal sesuai dengan perintah-perintah Isa, pergi ke gereja sekali seminggu, amal kita itu pasti akan diterima. Begitu pula, bila kita mengamalkan perintah-perintah Nabi Muhammad Saw seperti mengerjakan salat wajib lima kali sehari, niscaya amal kita pun akan diterima pula. Mereka beranggapan bahwa yang terpenting adalah beriman kepada Allah dan beramal sesuai dengan hukum-Nya (maksudnya, hukum llahi yang mana pun).


Di antara yang meyakini pendapat seperti ini adalah George Jordaq (penulis buku Suara Keadilan Imam Ali), Khalil Gibran, dan sejumlah pemikir lainnya. Keduanya adalah sastrawan Kristen Lebanon yang termasyhur. Kedua orang ini bercerita tentang pribadi Rasulullah Saw dan Amir Al-Mukminun a.s., persis seperti seorang Mukmin yang meyakini keduanya. Sebagian orang bertanya, bagaimana mungkin mereka meyakini  Nabi Saw dan Imam Ali a.s. padahal keduanya adalah penganut Kristen? Jika perkataan itu benar, niscaya mereka menjadi Muslim, dan apabila mereka tetap sebagai orang Kristen, dapat dipastikan bahwa perkataan mereka terhadap Nabi Saw dan Imam Ali bukanlah keyakinan yang sesungguhnya.


Jawaban kita adalah bahwa kecintaan dan keyakinan mereka bukanlah kebohongan, tapi mereka mengikuti metode berpikir·yang tidak melihat adanya halangan dalam menganut beberapa agama. Mereka juga beranggapan bahwa seseorang tidak wajib beragama dengan satu agama tertentu. Apa pun agama yang diyakini, hal itu sudah dipandang cukup. Dengan demikian, ketika meyakini agama Kristen, mereka pun bisa mencintai Imam Ali a.s. Mereka berkeyakinan bahwa Imam Ali sendiri berpikir seperti mereka. George Jordaq berkata: “Ali bin Abi Thalib enggan mewajibkan seseorang menerima agama tertentu.”


Saya tidak sependapat dengan pemikiran tersebut. Benar, bahwa dalam agama tak ada paksaan, sebagaimana Allah berfirman, Tidak ada paksaan dalam agama… (QS AI-Baqarah: 256), tapi ini tidak berarti bahwa pada suatu zaman terdapat berbagai agama dan setiap orang berhak memilih agama yang diminatinya. Pada setiap zaman, hanya ada satu agama yang benar. Pada setiap zaman, datang seorang nabi yang membawa syariat Allah dan manusia diwajibkan mengikuti dan mengamalkannya, baik menyangkut ibadah maupun masalah-masalah lainnya, hingga berakhir pada periode penutup para nabi. Pada zaman Rasulullah Saw ini, jika seseorang ingin menemukan jalannya menuju Allah, orang tersebut harus mengikuti perintah-perintah agama yang dibawanya.


Al-Quran mengatakan: Dan barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat, ia termasuk orang-orang yang merugi. (QS Ali Imran: 85)


Bila yang dimaksud dengan “Islam”dalam ayat ini adalah berserah diri (taslim) kepada Allah, bukan agama terakhir Nabi Muhammad yang dibawa untuk manusia, jawabannya adalah benar bahwa Islam itu artinya berserah diri (taslim) dan agama Islam tak lain adalah agama penyerahan (taslim). Hanya saja, hakikat taslim pada setiap zaman itu memiliki bentuk tertentu, dan bentuknya pada zaman kita adalah agama yang dibawa oleh Nabi Penutup Saw. Karenanya, kata “Islam” itu sendiri hanya sesuai untuk agama Islam ini.


Dengan kata lain, berserah diri (taslim) kepada Allah, pada dasarnya, mengharuskan diterimanya seluruh perintah Allah. Orang tersebut harus mengamalkan perintah-perintah-Nya, dan perintah-perintah-Nya yang terakhir, tak lain adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah Saw.


Terdapat dua kelompok yang berpendapat tentang amalan Non-Muslim dihadapan Allah, yaitu ‘intelektual’ dan puritan. Kaum ‘intelektual yang tercerahkan’ dengan tegas menjawab bahwa orang Islam dan bukan Islam, pada dasarnya, tidak berbeda, bahkan seorang muwahhid (penganut tauhid) dan bukan juga tidak berbeda. Setiap orang yang beramal saleh, seperti mendirikan yayasan kesejahteraan, menemukan sesuatu atau menciptakannya, berhak menerima pahala atau ganjaran dari Allah.


Mereka berpendapat bahwa Allah Mahaadil sehingga Dia tak akan mengistimewakan salah seorang di antara hamba-hamba-Nya. Karena, bagi Allah, beriman atau tidaknya seseorang kepada-Nya tidaklah berpengaruh apa-apa, dan Allah tidak  akan menyia-nyiakan perbuatan hamba-Nya semata-mata karena dia tidak beriman dan tidak memiliki keterkaitan dengan-Nya. Lebih-lebih lagi, apabila ada seseorang yang mengenal Tuhannya, mengimani-Nya, dan berbuat baik, tapi dia tidak mengimani para rasul dan nabi-Nya, maka lebih pasti lagi amal salehnya tidak akan sia-sia dan haknya pun tidak akan terhapus.


Berbeda dengan mereka, kelompok puritan secara tegas menentang kelompok pertama. Kelompok ini memandang bahwa seluruh manusia mesti mendapat siksa dan tidak akan ada yang selamat kecuali sedikit saja. Mereka, dengan anggapan tersebut, berdalil bahwa manusia kalau tidak Muslim, pasti Non-Muslim. Yang Non-Muslim jumlahnya tiga perempat penduduk dunia, dan karena mereka bukan orang-orang Islam, mereka adalah penghuni neraka.


Begitulah logika pemikiran kedua kubu tersebut. Yang pertama tidak melihat di alam ini kecuali kedamaian dan keselamatan, sedangkan yang kedua tidak melihat sesuatu di dalamnya selain murka dan dendam kesumat, di mana kemurkaan Allah melebihi rahmat-Nya.


Namun, di hadapan kita ada alternatif ketiga, yaitu logika Alquran yang memberi kita pemikiran yang berbeda dengan dua pemikiran sebelumnya, yaitu suatu pemikiran yang penuh dengan aroma Alquran. Perspektif Alquran tidak sama dengan perspektif kaum “tercerahkan”, dan tidak pula sejalan dengan perspektif kaum ‘puritan ekstrem’.


Alquran membangun perspektifnya di atas dasar yang istimewa. Ketika manusia mengetahuinya, dia akan dipaksa mengakui bahwa satu-satunya pemecahan yaitu yang diberikan oleh Alquran itu, sehingga kita semakin yakin terhadapnya dan menyadari bahwa pengetahuan luhur ini bukanlah berasal dari manusia, melainkan pengetahuan yang memiliki asal-usul samawi.


Ikhlas Adalah Syarat Diterimanya Amal


Setiap perbuatan pada dasarnya memiliki dua aspek, dan setiap aspek memiliki penilaian yang terpisah mengenai baik-buruknya. Bisa jadi satu perbuatan itu baik dilihat dari satu aspek, dan buruk dilihat dari aspek Iainnya. Sebaliknya, bisa juga kedua aspeknya baik, atau kedua-duanya buruk. Aspek pertama berhubungan dengan efek perbuatan di alam eksternal dan kehidupan sosial manusia, sedangkan aspek kedua terkait dengan hubungan perbuatan itu dengan pelakunya, motivasi-motivasi psikologis dan spiritual yang menggerakkannya ke perbuatan itu, dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh pelaku dengan melaksanakan perbuatan tersebut.


Pada sudut-pandang pertama, kita harus menentukan sejauh mana dampak baik atau buruk perbuatan itu terhadap masyarakat. Sedangkan pada sudut-pandang kedua, kita mesti menentukan kerangka spiritual dan mental pelaku guna mengetahui tipologi perbuatannya dan kemana tujuannya.


AIquran mengatakan: “Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya…” (QS. aI-Mulk: 2)


Allah mengatakan ahsanu ‘amalan (yang terbaik amalnya), dan tidak aktsaru ‘amalan (yang terbanyak amalnya). Ini karena saat kita melaksanakan amal tertentu yang dipengaruhi oleh motif-motif spiritual, maka selain tampilan lahiriah amal itu sendiri secara spiritual akan menuju arah dan menempuh jalan berbeda. Karena itu, persoalannya sama sekali tidak sederhana, di mana yang ada hanyalah perbuatan dan kerja otot semata-mata. Nilai pikiran dan niat terletak sebagai pengantar terjadinya perbuatan. Jadi, apa pun pengantarnya, perbuatan tetap sama saja.


Sebaliknya, efektualitas pikiran dan niat tidak kalah dengan efektualitas perbuatan (lahiriah) itu sendiri. Paham yang mengunggulkan perbuatan (lahiriah) dan mengesampingkan pikiran, niat, dan keyakinan, serta memandangnya hanya memiliki nilai pengantar, jelas merupakan paham materialistis. Selain gagal membuktikan kebenarannya, pemikiran tersebut jelas-jelas bertentangan dengan pandangan Alquran.


Alquran memandang bahwa kepribadian dan ke-aku-an kita yang hakiki adalah ruh kita. Seiring dengan tiap perbuatan yang dipilihnya secara bebas, ruh beranjak dari potensialitas kepada aktualitas, dan memperoleh karakter yang sesuai dengan kehendak dan tujuan perbuatan tadi. Semua malakah (kebiasaan yang sudah mewatak) dan dampak tersebut menjadi bagian dari kepribadian kita dan membawa kita menuju alam yang sesuai untuknya dari sekian banyak tingkat eksistensi.


Jadi, baik dan buruk fi’liy, yaitu baik dan buruk pada aspek pertama, bergantung pada dampak eksternal dan sosial perbuatan tersebut. Sedangkan baik dan buruk fa’iliyy, yaitu baik dan buruk pada aspek kedua, bergantung pada kualitas munculnya perbuatan tersebut dari pelakunya.


Jadi, pada kasus pertama, penilaian kita berpijak pada dampak-dampak eksternal dan sosial suatu perbuatan; sedangkan pada kasus kedua, penilaian kita berpijak pada dampak-dampak internal, transendental, intelektual, dan spiritual perbuatan tersebut pada diri pelakunya.


Seandainya seseorang mendirikan sebuah rumah sakit, lembaga-­lembaga kebudayaan, atau lembaga-lembaga perekonomian, tidak syak lagi bahwa perbuatan ini, dari perspektif sosial dan penilaian sejarah,


merupakan perbuatan baik. Artinya, perbuatan-perbuatan tersebut bermanfaat bagi makhluk Allah. Dengan perspektif seperti ini, kita tidak mempertimbangkan apa yang menjadi tujuan pendiri rumah sakit atau lembaga-lembaga tersebut. Apakah didorong oleh sikap riya dan sekadar ingin memuaskan dorongan-dorongan psikologisnya, atau didorong oleh faktor-faktor kemanusiaan yang luhur, tidak bersifat individual dan materialistis. Yang jelas, lembaga-lembaga tersebut didirikan dengan motif-motif


Hubungan kebaikan fi’liy dengan kebaikan fa’iliyy adalah seperti hubungan badan dengan ruh. Suatu makhluk hidup terdiri atas badan dan ruh. Dengan demikian, agar perbuatan itu hidup dan menjadi sosok yang hidup, perbuatan yang memiliki nilai kebaikan fi’liy itu harus disertai dengan kebaikan fa’iliyy.


Maka, dalil rasional dari kaum intelektual yang berpendapat bahwa karena hubungan (cara penilaian) Allah kepada seluruh makhluk-Nya itu sama, maka perbuatan baik setiap orang adalah sama. Dan mau tak mau, setiap orang yang melakukan perbuatan baik pasti mendapatkan pahala akhirat yang setara dengan pahala yang diterima oleh seorang Mukmin. Dalil ini sangat memperhatikan perbuatan dan menjelaskan bahwa hubungan Allah dengan seluruh makhluk-Nya adalah sama, tapi dalil ini melupakan poin penting, yaitu motif-motif dan tujuan-­tujuan pelaku, serta gerakan-gerakan spiritual dan niatnya.


Mereka mengatakan, “Tidaklah penting bagi Allah, apakah pelaku perbuatan tersebut menyadari perbuatan itu untuk kebaikan atau tidak, apakah pekerjaan itu dilakukan untuk meraih ridha-Nya atau untuk tujuan lain, untuk ber-taqarrub kepada-Nya atau kepada selain-Nya.”


Benar, dalam hubungannya dengan Allah, semuanya itu tidak berbeda. Tetapi, ia betul-betul berbeda bila dinisbatkan pada pribadi pelakunya. Seorang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak mengakui keberadaan-Nya akan melalui jalan spiritual yang berbeda dengan jalan spiritual yang dilalui oleh seorang Mukmin dan yang mengakui keberadaan-Nya. Apabila seseorang tidak beriman kepada Allah, amalnya hanya memiliki satu aspek dan dimensi. Dia hanya akan meraih kebaikan fi’liy, yaitu kebaikan yang bernilai sosial dan historis belaka. Sedangkan orang yang beriman kepada Allah, selain meraih kebaikan tadi, dia juga meraih kebaikan fa’iliyy.


Seorang Mukmin mengarahkan amalnya untuk Allah dan untuk naik ke atas, sedangkan amal orang yang tidak beriman tidak akan pernah naik ke atas. Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan Allah, perbedaan itu tidak terjadi. Tetapi, perbedaan terjadi dalam hubungannya dengan perbuatan itu sendiri. Adakalanya perbuatan itu menjadi wujud hidup yang terus naik ke tingkat-tingkat atas, dan adakalanya pula ia dinamakan perbuatan yang mati dan terus merosot ke bawah.


Mereka mengatakan, “Allah itu Mahaadil dan Mahabijaksana. Tidak mungkin Dia menghapuskan perbuatan baik seseorang yang tidak berdosa semata-mata karena orang itu tidak memiliki ikatan mahabbah dengan-Nya.” Memang, kita juga yakin bahwa Allah tidak akan menghapuskan perbuatan baik seseorang. Tetapi, apabila ia adalah seorang yang tidak mengakui keberadaan-Nya, bagaimana mungkin perbuatannya bisa bersifat baik secara aktual dan faktual, dan memiliki dampak yang baik pula sekaligus dari segi sosial dan spiritual bagi pelakunya.


Semua kesalahan ini berasal dari asumsi bahwa perbuatan yang memiliki manfaat sosial itu cukup untuk bisa dipandang sebagai perbuatan baik dan saleh. Tegasnya, kita bisa saja berasumsi (sekalipun asumsi ini mustahil) ada seseorang yang tidak mengakui keberadaan Allah, kemudian mengarahkan perbuatan baiknya kepada-Nya, maka Allah tidak akan menolaknya. Tetapi, pada hakikatnya, seseorang yang tidak mengakui Allah tidak akan bisa mengoyak tabir egonya. Jiwanya tidak akan mencapai ketinggian spiritual dan naik kepada-Nya agar dia bisa merealisasikan amalnya menjadi amal yang berdimensi malakuti, dan meraih kebahagiaan di alam tersebut. Diterimanya suatu amal di sisi Allah tidak bisa diartikan lain kecuali dengan pengertian seperti itu.


Begitu pun apabila seorang Muslim membayar zakat dengan disertai riya, zakatnya tidak diterima. Begitu juga, apabila ia bertempur di medan perang dengan niat untuk mempertontonkan kegagahannya, amal tersebut tidak akan diterima. Yang Allah kehendaki adalah prajurit yang memenuhi panggilan dengan ikhlas, “Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang beriman dengan surga yang telah disediakan buat mereka.” (QS. at-Taubah: 111).


Menurut riwayat-riwayat mutawatir yang disepakati Sunni dan Syiah, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya, segala perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan menerima sesuai dengan yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul­Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya, atau karena perempuan yang mau dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada yang dihijrahinya itu.”


Imam Jafar Shadiq a.s. mengatakan: “Persembahkanlah amal-amal kalian itu untuk Allah, bukan untuk manusia. Karena setiap yang diperuntukkan bagi Allah niscaya menuju kepada-Nya, dan setiap yang diperuntukkan bagi manusia tidak akan naik kepada-Nya.”


Niat adalah ruh suatu perbuatan. Kalau badan manusia menjadi mulia karena adanya ruh, begitu pula hubungan niat dengan amalnya. Apa yang menjadi ruh bagi perbuatan itu? Ruhnya adalah ikhlas. Allah Swt. berfirman di dalam Alquran, “Tidaklah mereka diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan keikhlasan kepada-Nya.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Efek Berprasangka Buruk di dalam Hati


 

Sufyan Ats-Tsauri berkata:


"Aku pernah terhalang (tidak bisa

bangun) untuk mengerjakan shalat malam selama lima bulan

disebabkan satu dosa yang telah aku lakukan"


Ditanyakanlah kepada beliau:

"Dosa apakah itu?"


Beliau menjawab:


"Aku pernah melihat seorang laki-laki yang menangis, 

Lalu aku katakan di dalam hatiku bahwa itu dilakukannya sebagai bentuk kepura-puraan saja"


Renungkanlah, 

Betapa prasangka buruk kepada orang lain dapat merusak hati kita 

Bahkan menjadi penyebab terhalangnya kita untuk sanggup beramal shaleh.

Jagalah Keluarga Kita dari Api Neraka


 Rasulullah saw membaca ayat:  "قوا أنفسكم و أهلكم نرا"

(Peliharalah/jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka).


Para sahabat bertanya:


 "wahai Rasulullah, bagaimana kita menjaga keluarga kita dari api neraka?"


Rasulullah saw menjawab: "perintahlah mereka kepada hal-hal yang Allah cintai dan laranglah mereka dari hal-hal yang Allah tidak suka"


Khidmat kepada Keluarga adalah Penghapus Dosa-dosa Besar


 Rasulullah saw bersabda:


 "Wahai Ali, Khidmat kepada keluarga adalah penghapus dosa² besar, meredam murka Allah swt, dan merupakan mahar untuk para bidadari, serta menambah kebaikan² dan menaikkan derajat"


3 Bentuk Keridhoan

 

Abu Ja'far berpesan,


ثَلاثةٌ يَبلُغْنَ بِالعبدِ رِضْوَانَ اللهِ تعالى : كَثْرَةُ الاِسْتِغْفَار ، وَلِيْنُ الْجَانِب ، وَكَثْرَةُ الصَّدَقَة


“Tiga hal yang mengantarkan hamba pada keridhoan Allah swt.


1. Banyak beristighfar

2. Lemah lembut kepada sekitarnya.

3. Banyak bersedekah.

وثلاثُ مَن كُنَّ فِيهِ لَمْ يَندَم : تَركُ العَجَلة ، وَالمَشُورة ، وَالتوكُّل على الله عِند العَزم


Dan tiga hal yang barangsiapa menjalankannya tidak akan menyesal,


1. Meninggalkan sifat tergesa-gesa.

2. (Melakukan segala sesuatu) dengan pertimbangan.

3  Bertawakal kepada Allah disaat dia bertekad untuk melakukan sesuatu.”


Doa : Pribadi yang bisa Berqanaah

 


ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏﻔِﺮ ﻟِﻲ ﺫَﻧﺒِﻲ ﻭَ ﻭَﺳِّﻊ ﺧُﻠُﻘِﻲ ﻭَ طَيِّب ﻟِﻲ ﻛَﺴﺒِﻲ ﻭَ ﻗَﻨِّﻌﻨِﻲ ﺑِﻤَﺎ ﺭَﺯَﻗﺘَﻨِﻲ ﻭَ ﻻَ ﺗُﺬﻫِﺐ ﻗَﻠﺒِﻲ ﺍِﻟَﻰ ﺷَﻲﺀٍ ﺻَﺮَّﻓﺘَﻪُ ﻋَﻨِّﻲ .

"Ya Allah, Ampunilah Dosaku.

 Luaskanlah Akhlakku.

 

Perbaikilah caraku dalam mencari rizki,.


Jadikanlah Aku pribadi yang bisa berqanaah, serta Janganlah Engkau jadikan Hatiku menginginkan sesuatu yang Engkau tidak takdirkan untukku."

Sesungguhnya Amal itu Bergantung pada Niatnya

 

Abu Ja'far berpesan :


اَلْقَصْدُ إِلَى اللهِ بِالْقُلُوْبِ أَبْلَغُ مِنْ إِتْعَابِ الْجَوَارِح بِالْأَعْمَالِ


“Berniat menuju kepada Allah dengan hati lebih utama dari melelahkan anggota tubuh dengan amal perbuatan.”


Keterangan : Hadist ini ingin menjelaskan betapa pentingnya kesucian niat hanya untuk Allah swt. Sebanyak apapun amal kita, seberat apapun amal yang kita lakukan tidak akan berarti tanpa niat yang tulus. Sesuai dengan sabda Nabi saw,


إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّات


“Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya.”

Mintalah Doa dari Orang Sakit


 Rasulullah saw bersabda :


إذا دَخَلتَ عَلى مَريضٍ فَمُرهُ أن يَدعُوَ لَكَ ؛ فَإِنَّ دُعاءَهُ كَدُعاءِ المَلائِكَةِ


“Bila kamu mengunjungi orang yang sakit, maka mintalah dia untuk mendoakanmu. Karena doanya seperti doa malaikat.”


Hikmah : Raja dan Temannya


Ada sebuah kisah tentang seorang raja yang mempunyai seorang teman baik. 


Temannya ini punya kebiasaan berkomentar, “Ini bagus!” atas semua situasi dalam hidupnya, positif maupun negatif.


Suatu hari sang raja dan temannya pergi berburu. Temannya mempersiapkan dan mengisikan peluru untuk senapan sang raja. 


Kelihatannya sang teman melakukan kesalahan dalam mempersiapkan senjata tersebut, karena setelah raja menerima senapan itu dari temannya, senapan itu meletus dan mengenai jempolnya.


Seperti biasa sang teman berkomentar, “ Ini bagus!”, 

Yang oleh raja dijawab, 

“Kurang ajar kamu.!, ini tidak bagus.!” dan 

Raja tersebut menjebloskan temannya ke penjara.


Kurang lebih setahun kemudian, 

Sang raja pergi berburu ke daerah yang berbahaya. 

Ia ditangkap oleh sekelompok orang kanibal, kemudian dibawa ke desa mereka. 


Mereka mengikat tangannya dan menumpuk kayu bakar, bersiap untuk membakarnya. 


Ketika mereka mendekat untuk menyalakan kayu tersebut, mereka melihat bahwa sang raja tidak mempunyai jempol. Karena percaya pada tahayul, 

Mereka tidak pernah makan orang yang tidak utuh. 

Jadi mereka membebaskan raja itu.


Dalam perjalanan pulang, raja tersebut ingat akan kejadian yang menyebabkan dia kehilangan jempolnya dan merasa menyesal atas perlakuannya terhadap teman baiknya. 


Raja langsung pergi ke penjara untuk berbicara dengan temannya. 

“Kamu benar, “ katanya, “Baguslah bahwa aku kehilangan jempolku.” 


Dan ia menceritakan kejadian yang baru dialaminya kepada temannya itu. 


“Saya menyesal telah menjebloskan kamu ke penjara begitu lama. 

Saya telah berlaku jahat kepadamu.”


“Tidak,” kata temannya, ”Ini bagus.” 


"Apa maksudmu, 'Ini bagus.?' 

Bagaimana bisa bagus, aku telah mengirim kamu ke penjara selama satu tahun.” 


Temannya itu menjawab, 


“Kalau kamu tidak memenjarakan aku, aku tadi pasti bersamamu. 

Akulah yang akan dibakar dan dimakan sekelompok orang kanibal tersebut.”


Sahabatku, kehilangan jempol ataupun kebebasan karena di penjara bukanlah hal yang menyenangkan. 

Namun karena dua peristiwa itulah, sang raja dan temannya tidak menemui ajalnya dalam peristiwa tahun berikutnya.


Demikian pula dalam hidup kita, ada peristiwa yang menyebabkan kita kehilangan materi, mata pencaharian bahkan orang yang kita kasihi. Tentu saja itu membuat kita sedih, kesal, marah, bahkan menggugat Allah karenanya. 


Beberapa di antara kita mengalami pergumulan batin yang panjang karena penolakan kita atas kejadian yang tidak menyenangkan ini. 

Ada yang menolak begitu keras, sehingga menjauh dari Allah.


Namun jika kita dapat mengikuti sikap teman raja di atas, yang secara positif menerima setiap peristiwa baik maupun buruk dalam hidup kita, niscaya suatu hari nanti kita akan menyadari adanya berkat-berkat yang tersamar dalam setiap peristiwa yang kita alami.

Mulia dan Hina, Siapa?

 

Syair :

ليس كل من لبس الحرير أمير 

و ليس كل من نام بدون السرير فقير


فكم من جسد تحت الحرير حقير 

و كم من فقير بدون سرير قدير


"Tidak semua yang mengenakan sutra adalah pangeran yang mulia 


Dan tidak semua yang tidur tanpa alas adalah orang faqir yang hina


Berapa banyak tubuh yang di balut sutra adalah orang yang terhina 


Dan berapa banyak orang faqir yang tidur tanpa alas adalah seorang yang mulia"

Bersikap Lemah Lembutlh Kamu



 Imam Ali Bin Abi Thalib :


عَلَيْكَ بِالرِّفْقِ فَاْنَّهُ مِفْتَاحُ الصَّوَابِ وَسَجِيَّةُ اُوْلِي الْاَلْبَابِ


Bersikaplah dengan lemah lembut karena ia adalah pintu kebaikan dan kebiasaan orang berakal.

 


عَلَيْكَ بِالرِّفْقِ فَمَنْ رَفَقَ فِي اَفْعَالِهِ تَمَّ اَمْرُهُ


Berlemah lembutlah karena siapa yang berlemah lembut dalam perbuatannya akan sempurna urusannya.

 


مَا كَانَ الرِّفْقُ فِي شَيْئٍ اِلَّا زَانَهُ


Tidaklah sifat lemah lembut berada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya.

 


مَنْ اِسْتَعْمَلَ الرِّفْقَ لَانَ لَهُ اَلشَّدِيْدُ


Siapa yang menghiasi dirinya dengan sifat lemah lembut maka yang keras pun akan lunak dihadapannya.

 


مَنْ اِسْتَعْمَلَ الرِّفْقَ اِسْتَدَرَّ الرِّزْقَ


Siapa yang berhias dengan sifat lemah lembut, akan lancar rezekinya.

Dzikrullah Menenangkan Akal, Menerangi Hati dan Mendatangkan Rahmat

 


Imam Ali Bin Abi Thalib:


 

الذِّكْرُ يُؤْنِسُ اللُّبَّ وَ يُنِيْرُ الْقَلْبَ وَ يَسْتَنْزِلُ الرَّحْمَةَ


Dzikir (mengingat Allah) itu menenangkan akal (pikiran), menerangi hati dan mendatangkan rahmat.



الذِّكْرُ نُوْرُ الْعَقْلِ وَحَيَاةُ النُّفُوْسِ وَجَلَاءُ الصُّدُوْرِ


Dzikir adalah cahaya akal, kehidupan jiwa dan terangnya (lapangnya) dada.



اِشْحَنِ الْخَلْوَةَ بِالذِّكْرِ وَاَصْحِبِ النِّعَمَ بِالشُّكْرِ


Isilah kesendirian dengan dzikir dan sertailah kenikmatan dengan syukur.



اِذَا رَاَيْتَ اللهَ يُؤْنِسُكَ بِخَلْقِهِ وَيُوْحِشُكَ مِنْ ذِكْرِهِ فَقَدْ اَبْغَضَكَ


Jika engkau melihat Allah membuatmu senang dengan hamba-Nya dan membuatmu tidak nyaman dengan dzikir kepadanya maka sungguh itu adalah tanda bahwa Allah membencimu.



ذِكْرُ اللهِ رَأْسُ مَالِ كُلِّ مُؤْمِنٍ وَ رِبْحُهُ السَّلَامَةَ مِنَ الشَّيْطَانِ


Dzikir kepada Allah adalah modal setiap mukmin, dan keuntungannya adalah selamat dari setan

Jangan Sampai Ayam Jago Lebih Pintar Darimu.



Lukman al-Hakim dalam nasehatnya kepada putranya berkata:


 Wahai putraku, jangan sampai ayam jago lebih pintar darimu. 


Ketika waktu sahar tiba kamu dalam keadaan tidur sedang dia sudah terbangun dan dalam keadaan memohon ampunan"

Hikmah : Menjadi Hamba Allah SWT

 


Imam Ali bin Abu Thalib :


كُنْ فِي الْمَلَأِ وَقُوْرًا وَفِي الْخَلَاءِ ذَكُوْرًا


Jadilah engkau orang yg tenang di hadapan halayak ramai dan selalu ingat Allah dalam kesendirian.



كُنْ لِلْوَدِّ حَافِظًا وَاْن لَمْ تَجِدْ مُحَافَظًا


Jadilah engkau orang yang menjaga cinta walaupun tak kau temukan yang menjaganya.

 


كُنْ حَسَنَ الْمَقَالِ جَمِيْلَ الْاَفْعَالِ


Jadilah yang baik pembicaraannya dan indah perbuatannya.

 


كُوْنُوا مِنْ اَبْنَاءِ الْآخِرَةِ وَلَا تَكُونُوا مِنْ اَبْنَاءِ الدُّنْيَا فَاِنَّ كُلَّ وَلَدٍ سَيَلْحَقُ بِاُمِّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Jadilah kalian anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia. Karena sungguh setiap anak akan berkumpul dengan ibunya di hari kiamat.

 


كُنْ فِي الدُّنْيَا بِبَدَنِكَ وَفِي الْآخِرَةِ بِقَلْبِكَ وَعَمَلِكَ


Jadilah engkau didunia dengan jasadmu dan di akhirat dengan hati dan amalmu.


Ramalan Akhir Zaman



 Imam Ali bin Abi Thalib :


اِنَّكُمْ فِي زَمَانٍ اَلْقَائِلُ فِيْهِ بِالْحَقِّ قَلِيْل وَاللِّسَانُ فِيْهِ عَنِ الصِّدْقِ كَلِيْل وَاللَّازِمُ فِيْهِ لِلْحَقِّ ذَلِيْل


اَهْلُهُ مُنْعَكِفُوْنَ عَلَى الْعِصْيَانِ مُصْطَلِحُوْنَ عَلَى الْاِدْهَانِ


فَتَاهُمْ عَارِمٌ وَ شَيْخُهُمْ آثِمٌ، عَالِمُهُمْ مُنَافِقٌ وَ قَارِئُهُمْ مُمَارِقٌ


لَا يَحْتَرِمُ صَغِيْرُهُمْ كَبِيْرَهُمْ وَلَا يَعُوْلُ غَنِيُّهُمْ فَقِيْرَهُمْ



Sungguh kalian berada pada suatu zaman,


Yang berbicara kebenaran begitu sedikit…


Lisan yang jujur begitu tumpul…


Yang memegang kebenaran dihinakan…

 

Penghuni zaman ini sibuk dengan kemaksiatan..


Sepakat dengan kemunafikan…


Pemudanya congkak… Orang tuanya pendosa…


Orang berilmu dari mereka munafik…


Dan qori’ mereka telah inkar…


Yang muda tidak menghormati yang lebih tua…


Dan orang kaya tidak peduli dengan orang miskin…


Dengan Mengenal Diri Tak Akan Terusik dengan Yang Lain

 


Pesan Seorang Bijak :

 ".. jika kamu telah mengenal dirimu, maka jangan terusik akan apa yang dikatakan orang tentangmu.."

Salah Satu Tanda Kemunafikan

 


Rasul saw bersabda:


 "Allah swt melaknat orang yang menghormati orang kaya karena kekayaannya dan Allah swt melaknat orang yang merendahkan orang miskin karena kemiskinannya.


Dan tidak ada yang melakukan hal tersebut kecuali seorang munafik.

Barangsiapa menghormati orang kaya karena kekayaannya dan merendahkan orang miskin karena kemiskinannya maka di langit disebut sebagai Musuh Allah dan Musuh Para Nabi, tidak akan terkabul doa untuknya dan tidak akan terpenuhi  hajat untuknya."

Tuntutlah Dirimu dalam Memenuhi Hak-hak Allah SWT

 


Imam Ali bin Abi Thalib berkata,


جَاهِدْ نَفْسَكَ وَحَاسِبْهَا مُحَاسَبَةَ الشَّرِيْكِ شَرِيْكَهُ وَطَالِبْهَا بِحُقُوْقِ اللهِ مُطَالَبَةَ الخَصْمِ خَصْمَهُ فَإِنَّ أَسْعَدَ النَّاسِ مَنْ اِنْتَدَبَ لِمُحَاسَبَةِ نَفْسِهِ.


“Lawanlah dirimu dan buatlah perhitungan dengannya seperti perhitungannya seorang mitra dengan mitranya. Dan tuntutlah ia dalam urusan hak-hak Allah seperti tuntutan seorang musuh kepada musuhnya. Karena manusia paling bahagia adalah yang memberi kuasa untuk menghisab dirinya.”

Siapa Orang Paling Lemah ?



 Imam Ali bin Abu Thalib:


أَعْجَزُ النَّاسِ مَنْ قَدَرَ عَلَى أَنْ يُزِيْلَ النَُقْصَ عَنْ نَفْسِهِ وَلَمْ يَفْعَل


“Orang paling lemah adalah yang mampu menghilangkan kekurangan dari dirinya namun ia tidak melakukannya.”


(غرر الحكم : 3177)



أَعْجَزُ النَّاسِ مَنْ عَجَزَ عَنِ الدُعَاءِ


“Orang paling lemah adalah yang lemah (tidak punya semangat) untuk berdoa.”


Doa : Aku mencari Ampunan dari-Mu

 


اِلَهِي كَيْفَ اَنْقَلِبُ مِنْ عِنْدِكَ بِالْخَيْبَةِ مَحْرُومًا، وَقَدْ كَانَ حُسْنُ ظَنِّي بِجُودِكَ اَنْ تَقْلِبَنِي بِالنَّجَاةِ مَرْحُومًا


Ilâhî kayfa anqalibu min ‘indika bil-khayabati 

Mahrûmâ, wa qad kâna husnu zhannî bijûdika an taqlidanî bin-najâti marhûmâ.


Tuhanku, bagaimana mungkin aku kembali dari hadirat-Mu dengan tangan hampa yang Kautolakkan, padahal sangka baikku akan anugrah-Mu pastilah mengembalikanku dengan keselamatan dan rahmat-Mu yang Kaucurahkan.


اِلَهِي وَقَدْ اَفْنَيْتُ عُمْرِي فِي شِرَّةِ السَّهْوِ عَنْكَ، وَاَبْلَيْتُ شَبَابِي فِي سَكْرَةِ التَّبَاعُدِ مِنْكَ،


Ilâhî wa qad afnaytu ‘umrî fî syirratis sahwi ‘anka, wa ablaytu syabâbî fî sakratit tabâ’udi minka.


Tuhanku, sudah aku habiskan umurku tengelam dalam kelalaian kepada-Mu; telah aku hancurkan kemudaanku dalam kemabukan keterasingan dari-Mu.


اِلَهِي فَلَمْ اَسْتَيْقِظْ اَيَّامَ اغْتِرَارِي بِكَ وَرُكُونِي اِلَى سَبيلِ سَخَطِكَ


Ilâhî falam astayqazhu ayyâmaghtirârî bika wa rukûnî ilâ sabîli sakhatika.


Tuhanku, maka aku tidak bangun dari hari-hari ketertipuanku dan keterperosokanku pada jalan kemurkaan-Mu.


اِلَهِي وَاَنَا عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ قَائِمٌ بَيْنَ يَدَيْكَ، مُتَوَسِّلٌ بِكَرَمِكَ اِلَيْكَ


Ilâhî wa anâ ‘abduka wabnu ‘abdika qâimun bayna yadayka, mutawassilun bikaramika ilayka.


Tuhanku, inilah aku hamba-Mu anak hamba-Mu menghadap-Mu bertawasul kepada-Mu dengan kemurahan-Mu.


اِلَهِي اَنَا عَبْدٌ اَتَنَصَّلُ اِلَيْكَ، مِمَّا كُنْتُ اُوَاجِهُكَ بِهِ مِنْ قِلَّةِ اسْتِحْيَائِي مِنْ نَظَرِكَ، وَاَطْلُبُ الْعَفْوَ مِنْكَ اِذِ الْعَفْوُ نَعْتٌ لِكَرَمِكَ


Ilâhî ana ‘abdun atanashshalu ilayka, mimmâ kuntu uwâjihuka bihi min qillatistihyâî min nazharika, wa athlubul ‘afwa minka idzil ‘afwu na’tun likaramika.


Tuhanku, akulah seorang hamba yang meninggalkan segala keadaan duka ketika menghadap-Mu dengan sedikitnya rasa maluku akan pandangan-Mu; aku mencari ampunan dari-Mu, karena ampunan adalah sifat kemurahan-Mu.

Amar Ma'ruf Nahi Munkar dengan Halus


Nasihat dari seorang Bijak :

Jika kamu ingin melakukan amar ma'ruf nahi munkar maka lakukanlah dengan halus, jadilah seperti cermin.


Cermin tidak berteriak ketika Kerah bajumu tidak benar.


Ketika kamu menghadap cermin maka cermin tidak akan meninggikan suara (utk menegurmu) mengapa Rambutmu seperti ini?


Sangat diam sekali.

Sangat pelan dan halus sehingga tidak ada yg mengetahuinya kecuali kamu dan cermin itu sendiri....

4 Tanda yang ada pada Seorang Mukmin

 


Rasulullah saw bersabda,


إنَّ لِلمُؤمِنِ أربَعَ عَلاماتٍ️️ :


- وَجها مُنبَسِطا

- ولِسانا لَطيفا

-وقَلبا رَحيما

-وَيدا مُعطِيَةً


“Sesungguhnya ada empat tanda yang dimiliki seorang mukmin :


1. Wajah yang gembira.

2. Lisan yang lembut.

3. Hati yang penyayang.

4. Tangan yang senang memberi.

Kisah Hikmah_1

 


Allah Swt bertanya kepada Jibril : 


“Wahai Jibril, 

Seandainya Aku menciptakan engkau sebagai seorang manusia, 

Bagaimana caranya engkau akan beribadah kepada-Ku?”


“Tuhanku,” jawab Jibril, “Engkau mengetahui segala-galanya sesuatu yang pernah terjadi, akan terjadi, atau mungkin terjadi. 

Tak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang tersembunyi dari-Mu. 

Engkau pun tahu bagaimana aku akan menyembah-Mu.”


Allah bersabda :


“Benar. 

Aku tentu mengetahui hal itu. 

Tetapi hamba-hamba-Ku tidak mengetahuinya. 


Jadi, katakanlah sehingga hamba-hamba-Ku dapat mendengar dan mengambil pelajaran darinya.”


Lalu Jibril pun berkata :


“Tuhanku, 

Seandainya aku diciptakan sebagai manusia, aku akan menyembah-Mu dalam tiga cara :


1. Aku akan beri minum mereka yang kehausan. 


2. Aku akan menutupi kesalahan-kesalahan orang lain ketimbang membicarakannya.


3. Aku akan menolong mereka yang miskin.” 


Allah kemudian berfirman :


“Karena Aku tahu bahwa engkau akan melakukan hal-hal tersebut, 

Maka Aku telah memilihmu sebagai pembawa wahyu dan menyampaikannya kepada para nabi-Ku. “


Tutupilah aib orang lain, sehingga aibmu pun disembunyikan. 

Maafkanlah dosa orang lain, agar dosamu juga diampuni. 


Jangan singkapkan kesalahan orang lain, agar hal yang sama tidak terjadi padamu."


Sebab Mencintai Anak Anak

 


Rasulullah saw bersabda : 


“Aku mencintai anak-anak  dalam lima hal yaitu :


1. Aku senang karena anak-anak itu “cengeng”. 


(Sikapi dunia dengan tangisan, banyaklah menangis, sedikitlah tertawa, tetesan air mata itu tanda kesadaran & kemuliaan)


2. Aku senang karena anak-anak suka main tanah. 


(Anak masih menyadari fitrahnya, yaitu manusia berasal dari tanah & kembali ke tanah. Perbuatan anak ini simbol ingat asal & kematian)


3. Aku senang, karena ketawakkalan anak-anak melebihi orang dewasa. 


(Jika anak-anak mendapat makanan, ia bagi dengan  kawannya sampai habis. 

Anak-anak tidak pernah menyimpan sesuatu untuk besok)


4. Aku senang anak-anak karena tak pernah menyimpan dendam. 


(Anak tersinggung sebentar tapi cepat akrab kembali, 

Namun orang dewasa, sakit hatinya dibawa mati)


5. Aku senang anak-anak karena setiap kali menyusun sesuatu, ia bongkar kembali. 


(Kebiasaan anak membuat bangunan dari kartu atau pasir, 

Namun begitu jadi segera ia runtuhkan, ini simbol bahwa fitrahnya mengetahui tidak ada yang kekal di dunia)."

Dosa Menghalangi Kenikmatan Ibadah



Pesan sang Bijak : "Selama manusia tidak meninggalkan dosa maka dia tidak akan merasakan nikmatnya ibadah, bahkan dia akan merasa letih ketika beribadah"

Dosa-Dosa yang Menurunkan Bencana

 




اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيَ الذُّنُوْبَ الَّتِيْ تُنْزِلُ البَلَاء


“Ya Allah, ampunilah dosa yang menurunkan bencana.”


“Dosa yang merusak kenikmatan adalah kekejian.


Dosa yang mewariskan penyesalan adalah pembunuhan.


Dosa yang menurunkan bencana adalah kedzoliman.


Dosa yang menyingkap aib adalah meminum minuman keras.


Dosa yang menahan rezeki adalah zina.


Dosa yang mempercepat kebinasaan adalah memutus silaturahmi.


Dosa yang mencegah terkabulnya doa adalah durhaka kepada orang tua.”



Semoga kita terhindar dari dosa-dosa yang 

menurunkan bala bencana.

Jangan Riya dan Malu


Rasul saw bersabda: "janganlah melakukan kebaikan karena Riya', dan jangan tinggalkan kebaikan karena haya'(malu)."

Akal Bukan di Ukur dari Jasadnya


 Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib berpesan :


لَا تُقَاسُ الْعُقُوْلَ بِالْاَعْمَارِ


فَكَمْ مِنْ صَغِيْرٍ عَقْلُهُ بَارِعٌ


وَكَمْ مِنْ كَبِيْرٍ عَقْلُهُ فَارِغٌ


“Janganlah engkau menilai akal seseorang dengan usianya.


Berapa banyak anak kecil yang akalnya cerdik. Dan berapa banyak orang tua yang akalnya kosong.”

Jangan Lalai dalam Menilai Diri Sendiri!

 


Seorang Ustadz ditanya tentang dua keadaan manusia:


1. Manusia rajin sekali ibadahnya, 

Namun sombong, angkuh dan selalu merasa suci.


2. Manusia yang tak pernah ibadah, 

Namun akhlaknya begitu mulia, rendah hati, santun, lembut dan cinta dengan sesama.


Lalu Ustadz menjawab:


Keduanya baik;


~ Boleh jadi suatu saat si ahli ibadah yang sombong menemukan kesadaran tentang akhlaknya yang buruk dan dia bertaubat, 

Lalu ia akan menjadi pribadi yang baik lahir dan batinnya.

~ Dan yang kedua bisa jadi sebab kebaikan hati-nya, 

Allah akan menurunkan hidayah lalu ia menjadi ahli ibadah yang juga memiliki kebaikan lahir dan batin.


Kemudian orang tersebut bertanya lagi, 

Lalu siapa yang tidak baik kalau begitu..?


Ustadz menjawab:


"Yang tidak baik adalah Kita, 

Orang ketiga yang selalu mampu menilai orang lain, 

Namun lalai dalam menilai diri sendiri".

Jujur Lisannya & Baik Niatnya

 


مَنْ صَدَقَ لِسَانُهُ زَكَا عَمَلُهُ

وَمَنْ حَسُنَتْ نِيَّتُهُ زِيْدَ فِي رِزْقِهِ

وَمَنْ حَسُنَ بِرُّهُ اِلَى اَهْلِهِ زِيْدَ فِي عُمْرِهِ


“Siapa yang jujur lisannya, amalnya akan bersih.


Siapa yang baik niatnya, rizkinya akan ditambah.


Dan siapa yang baik perlakuannya kepada keluarganya, umurnya akan ditambah.”


Seburuk-buruk Hamba adalah yang Memiliki Dua Wajah dan Dua Lisan

 


بِئْسَ الْعَبْدُ يَكُوْنُ ذَا وَجْهَيْن وَ ذَا لِسَانَيْن، يُطْرِي اَخَاهُ في اللهِ شَاهِدًا، وَ يَأْكُلُهُ غَائِبًا، اِنْ اُعْطِيَ حَسَدَهُ، وَاِنْ اُبْتُلِيَ خَذَلَهُ


"Seburuk-buruk hamba adalah yang memiliki dua wajah dan dua lisan. Ia memuji-muji saudaranya dihadapannya dan menerkamnya disaat tiada. 


Ketika saudaranya mendapat nikmat, ia merasa iri. Dan ketika saudaranya mendapat ujian, ia pun membiarkannya."

Wahai Suami Berkhidmat di dalam Keluarga!

 


Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as pada suatu riwayat telah mengatakan; 


Rasulullah saw mendatangi kami disaat Fatimah Zahra as duduk disamping tungku makanan dan aku sedang mencuci adas. 


Beliau saw bersabda : wahai aba al-Hasan.. 

Aku menjawab : 

Labbaik ya Rasulullah..


Beliau bersabda : "Dengarkan dariku, 

Dan aku tidak berkata kecuali berasal dari Tuhanku. 

Tiada seorang pria yang membantu isterinya di rumah melainkan ditulis baginya pahala ibadah setahun, berpuasa disiang hari dan berdiri ibadah dimalam hari. 

Dan Allah memberinya pahala yang diberikan kepada orang-orang yang sabar." 


Wahai Ali, 

Satu jam berkhidmat di rumah lebih baik dari menjenguk orang sakit, memberi pakaian orang yang tak berpakaian dan mengenyangkan orang yang lapar.


Wahai Ali, 

Orang yang tidak enggan membantu keluarga di rumah, perbuatannya menghapus dosa-dosa dan meredakan murka Allah dan menambah kebaikan dan derajatnya. 


Wahai Ali, 

Tiada seorang pria berkhidmat membantu keluarga melainkan ia termasuk orang yang shiddiq atau syahid atau orang-orang yang Allah berkehendak baginya kebaikan dunia dan akhirat,.

Ketika Allah Menarik Perhatian Kita



Dikisahkan, Seorang mandor bangunan sedang bekerja di sebuah gedung bertingkat. 


Suatu ketika ia ingin menyampaikan pesan penting kepada tukang yang sedang bekerja di lantai bawahnya. 


Mandor ini berteriak-teriak memanggil seorang tukang bangunan yang sedang bekerja di lantai bawahnya, 

Agar mau menengadah ke atas, Sehingga ia dapat menjatuhkan catatan pesan. 


Karena suara mesin-mesin dan pekerjaan yang bising, 

Tukang yang sedang bekerja di lantai bawahnya tidak dapat mendengar panggilan dari sang Mandor. 


Meskipun sudah berusaha berteriak lebih keras lagi, usaha sang mandor tetaplah sia-sia saja.


Akhirnya untuk menarik perhatiannya, Mandor ini mempunyai ide melemparkan koin uang logam yang ada di kantong celananya ke depan seorang tukang yang sedang bekerja di lantai bawahnya. 


Tukang yang bekerja dibawahnya begitu melihat koin uang di depannya, 

Berhenti bekerja sejenak kemudian mengambil uang logam itu, lalu melanjutkan pekerjaannya kembali. 


Beberapa kali mandor itu mencoba melemparkan uang logam, 

Tetapi tetap tidak berhasil membuat pekerja yang ada di bawahnya untuk mau menengadah keatas.


Tiba-tiba mandor itu mendapatkan ide lain, ia kemudian mengambil batu kecil yang ada di depannya, 


Dan melemparkannya tepat mengenai seorang pekerja yang ada dibawahnya. 


Karena merasa sakit kejatuhan batu, 

Pekerja itu menengadah ke atas mencari siapa yang melempar batu itu. 


Kini sang mandor dapat menyampaikan pesan penting dengan menjatuhkan catatan pesan dan diterima oleh pekerja dilantai bawahnya.


Sahabat yang baik, untuk menarik perhatian kita sebagai hamba-Nya, 


Allah seringkali menggunakan cara-cara yang menyenangkan, 


Maupun kadangkala dengan pengalaman-pengalaman yang menyakitkan. 


Allah seringkali menjatuhkan “koin uang” atau memberikan kemudahan rejeki yang berlimpah kepada kita,


Agar mau menengadah keatas, 

Mengingat-Nya, 

Menyembah-Nya, 

Mengakui kebesaran-Nya dan lebih banyak bersyukur atas rahmat-Nya. 


Allah seringkali memberikan begitu banyak berkah, rahmat dan kenikmatan setiap harinya kepada kita,


Agar kita mau menengadah kepada-Nya dan bersyukur atas karunia-Nya. 


Namun, Sayangnya seringkali hal itu tidak cukup membuat kita untuk mau menengadah keatas,


Mengingat kebesaran-Nya, 

Menengadah kepada-Nya, 

Mengagungkan nama-Nya dan 

Bersyukur atas rahmat-Nya.


Karena itu, 

Kadang-kadang Allah menggunakan pengalaman-pengalaman menyakitkan, seperti musibah, kegagalan, rasa sakit, kelaparan. 


Dan berbagai pengalaman menyakitkan lainnya untuk menarik perhatian kita agar mau mendongak keatas. 


Menarik perhatian untuk mau menengadah kepada-Nya, menyembah kepada-Nya, mengakui kebesaran-Nya dan bersyukur atas rahmat-Nya.


Dengan demikian, pengalaman-pengalaman menyakitkan yang kadang kala diterima kita, 


Hendaknya diterima sebagai peringatan dari Allah untuk menarik perhatian kita. 


Hendaknya hal itu membuat kita semakin mempererat hubungan dengan Allah atau “habl min Allah”. 


Hendaknya hal itu mengajarkan kita untuk mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah, dan menyadarkan kita adalah makhluk-Nya yang sangat lemah dan tidak berdaya.


Sahabat yang baik, sudah begitu banyaknya rahmat dan berkah Allah senantiasa mengalir setiap detiknya kepada kita semua. 


Seperti memiliki pekerjaan yang baik, memiliki kesehatan yang kita rasakan, kelengkapan panca indra yang menopang kehidupan kita, mendapatkan rejeki yang kita nikmati setiap hari, keluarga yang bahagia yang kita miliki dan lain sebagainya. 


Semua itu sesungguhnya adalah rahmat dan berkah dari Allah SWT yang tak ternilai harganya. 


Kini apakah Anda akan segera menengadahkan wajah kepada-Nya, 


Ataukah menunggu Allah menjatuhkan “batu” kepada kita..?


Firman Allah:

"Dan apabila Kami memberikan Nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; 

Tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo'a."  

(QS. 41:51)


Hak-hak Saudara se-Iman


Rasulullah SAW bersabda, "Orang-orang beriman ( mukmin ) saling bersaudara, darah mereka menyatu, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan mereka bersungguh-sungguh melindungi orang terlemah diantara mereka.

a). Memandang wajah saudara kita yang sholeh sama dengan beribadah.


b). Jangan membuka rahasia yang anda miliki kepada teman, mungkin suatu saat dia menjadi musuh anda.


c). Bila anda tertuduh, jangan menyalahkan orang lain berperasangka buruk terhadap anda.


d). Bila anda melakukan persaudaraan, anggaplah saudara anda itu baik, kecuali memang tidak bisa dikatakan demikian, dan jangan menaruh curiga terhadapnya.


e). Diantara hak-hak saudara Muslim anda ialah :


 - Anda sebagai matanya, petunjuk, dan cerminnya.


 - Seharusnya anda tidak kenyang, sementara dia lapar, anda tidak puas sementara dia haus, anda tidak berpakaian sementara saudara anda telanjang.


 - Jika anda punya banyak pembantu, sepantasnya anda suruh agar diantara pembantu anda juga membantu saudara anda.


 - Penuhilah undangannya, jenguklah bila ia sakit, antarkan jenazahnya bila ia meninggal dunia. Jika anda tahu bahwa ia membutuhkan sesuatu, penuhilah kebutuhannya sebelum ia mengutarakannya. Jika demikian, maka hubungan persaudaraan anda dengan dia benar-benar kuat.


f). Tindakan menggembirakan seorang mukmin lebih disukai Allah daripada ibadah lainnya.


g). Imam Zainal Abidin as berkata, bahwa "Bila anda mempunyai pakaian lebih, sedangkan anda tahu bahwa saudara anda membutuhkannya, kemudian anda tidak memberikannya, maka Allah akan melemparkan anda ke dalam Neraka."


h). Rasulullah saw bersabda : "Seseorang yang memakan makanan tambahan (camilan/ makanan ringan setelah makan makanan pokok), sedang saudara-saudara Muslimnya sedang lapar, berarti dia tidak percaya terhadap kenabianku."


i). Barangsiapa yang mengganggu / menyakiti saudaranya, berarti dia sedang siap-siap akan memerangi AKU." (Hadis Qudsi)


Status Manusia adalah Sama yang Membedakan adalah Ketakwaannya

 


Filsafat kebersamaan di dalam ajaran Islam ialah :

"Jangan anda memandang bahwa anda adalah pemimpin atau paling berkuasa diantara orang banyak, karena status manusia adalah SAMA.

Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah mereka yang paling taqwa."


Rasulullah saw bersabda :


"Lakukanlah terhadap orang lain sebagaimana engkau ingin agar orang lain berlaku demikian. Jangan melakukan sesuatu yang sekiranya engkau tidak suka diperlakukan demikian."


Hikmah Silaturahmi



Imam Ali as :


حِرَاسَةُ النِّعَمِ فِي صِلَةِ الرَّحِمِ


“Terjaganya nikmat terletak pada silaturahmi.”

 


حُلُوْلُ النِّقَمِ فِي قَطِيْعَةِ الرَّحِمِ


“Rangkaian bencana terletak pada memutus silaturahmi.”

 


مَا آمَنَ بِاللهِ مَنْ قطَعَ رَحِمَهُ


“Tidak beriman kepada Allah, seorang yang memutus silaturahmi.”

 


صِلَةُ الرَّحِمِ تُثْمِرُ الاَمْوَالِ وَ تُنْسِؤُ فِي الآجَالِ


“Menyambung silaturahmi itu menyuburkan harta dan memperpanjang umur.”

 


صِلَةُ الْاَرْحَامِ مِنْ اَفْضَلِ شِيَمِ الْكِرَامِ


“Silaturahmi termasuk sifat yang paling utama dari perangai orang-orang mulia.”

Ingatlah Allah dalam Kelonggaran Harta

Rasul saw:


"Ingatlah Allah ketika kamu dalam kelonggaran harta & kesenangan, maka Allah akan mengingatmu ketika kamu dalam kesulitan."

Nikmat Iman


Imam Ali as:


"seseorang tidak akan mencicipi Rasanya Iman sampai dia dapat membenarkan kebenaran walaupun dari Musuhnya, dan menolak kebatilan walaupun dari Teman sendiri"


Seorang Bijak mengatakan : "Jauhilah kelezatan-kelezatan yg Haram, maka kelezatan ibadah akan datang dengan sendirinya."

Tutuplah Aib Orang Lain


 "Kalian tidak diperbolehkan membicarakan aib-aib orang lain. 


Bahkan sebaliknya kalian diharuskan untuk menutupi aib orang lain.


Dan bahkan jika kalian melihat aib atau kesalahan orang lain, kalian tidak diperbolehkan untuk menampakkan rasa senang, walaupun orang tersebut bersikap tidak baik kepada kalian".


Yakinlah dengan Allah AWT


 Jika Allah swt telah menjamin rezeki (hamba-Nya), mengapa engkau mencurahkan seluruh perhatianmu untuknya?


Jika rezeki telah dibagi, kenapa masih terlalu berambisi?


Jika hisab itu benar, kenapa masih menumpuk (harta)?


Jika pahala itu dari Allah, kenapa masih malas?


Jika Allah pasti mengganti (apa yang kita sedekahkan), kenapa masih kikir?


Jika siksaan dari Allah adalah neraka, kenapa masih bermaksiat?


Jika mati itu benar, kenapa masih bersenang-senang?


Jika semuanya akan disodorkan kepada Allah, kenapa masih menipu?


Jika setan itu musuh, kenapa masih lalai?


Jika melewati sirath itu benar, kenapa masih ujub?


Jika segala sesuatu terjadi dengan qodho’ dan qodar, kenapa masih bersedih?


Jika dunia ini akan sirna, kenapa masih merasa nyaman didalamnya?

Jangan Marah

 


Seseorang berkata (kepada Rasulullah SAW),

‘Nasehatilah aku!'


 Rasulullah SAW bersabda kepadanya, "Jangan marah!" 


Ia lalu mengulangi kata-katanya dan Nabi SAW pun menjawabnya, 


"Jangan marah!"


 Beliau lantas bersabda,: 

 "Orang yang kuat bukan orang yang punya kekuatan merobohkan (lawannya), tetapi orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah."

NAMIMAH

Diantara pendorong namimah adalah menghendaki keburukan bagi orang yang diadukan dan menampakkan simpati kepada yang diberitahu, atau karena ingin turut campur dalam urusan orang lain.


Bila ada yang mengadu kepadamu dan berkata, "Si Fulan berbicara ini dan itu tentangmu, berniat menjatuhkanmu..." dan semacamnya.


Maka engkau harus melakukan enam hal :


a). Jangan percayai ucapannya, sebab pengumbar rahasia adalah orang fasik yang kesaksiannya tak boleh diterima. 

Allah berfirman :


"Wahai orang-orang yang beriman, bila ada orang fasik datang membawa berita kepada kalian, maka telitilah dahulu."

(Al-Hujurat: 6)


b). Laranglah dia melakukan itu dan nesehati dia agar meninggalkannya. Allah berfirman : "Perintahkan kebaikan dan cegahlah kemungkaran." (Lukman: 17)


c). Bencilah dia karena Allah, sebab Allah juga membencinya.


d). Jangan berprasangka buruk terhadap saudaramu (lantaran pengaduannya). Allah berfirman: "Jauhilah banyak dugaan, sesungguhnya sebagian dugaan itu adalah dosa." (Al-Hujurat: 12)


e). Jangan tersorong untuk memata-matai dan mencari kebenaran pengaduan itu. 

Allah berfirman:"Janganlah memata-matai."


f). Jangan turut menjadi pengumbar rahasia dengan menceritakan ucapan si pengadu, sehingga engkau melakukan namimah dan ghibah sekaligus.


Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin as didatangi seseorang yang mengadukan orang lain. 

Beliau berkata, 


"Wahai Fulan, kami akan bertanya apa yang kau katakan. Bila kau jujur, kami akan membencimu, dan 

Bila kau bohong, kami akan melepaskanmu."

Orang itu berkata, 

"Lepaskanlah aku, wahai Amirul Mukminin as." 


(Mufid dalam al-Ikhtishash)


Pengadu harus dibenci dan tak layak dipercaya, sebab dia tidak lepas dari dusta, ghibah, khianat, dan kedengkian.

Dialah orang yang berupaya memutus hal yang diperintahkan Allah untuk disambung.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More