Jumat, 07 April 2023

Ingatlah Selalu Ibu Bapakmu


 
Terima kasih untuk selalu ada

dan tahu apa yang harus dilakukan

Terima kasih telah mengetahui kata-kata untuk diucapkan

ketika aku merasa jauh melampaui biru

Terima kasih sudah sabar mendengarkan

untuk semua kekhawatiran dan tekananku

Terima kasih sudah cukup peduli

untuk mengeluarkanku dari semua kekacauanku

Terima kasih telah menjadi panggilan telepon

atau di tikungan untuk lari


Terima kasih untuk pintumu yang selalu terbuka

dan tahu apa yang harus dilakukan

Terima kasih telah menjadi dukungan konstanku

ketika aku tidak berpikir bisa mengatasinya

Terima kasih telah menghidupkan semangatku

dan memberi tahuku bahwa ada harapan

Terima kasih telah menjadi orang tua terbaik

seorang anak bisa berharap untuk

aku mencintaimu sepenuh hati

hari ini dan selamanya

Inilah Hari Nakba, Sebuah Malapetaka bagi Rakyat Palestina





 

Pada 1948, warga Palestina diteror oleh geng Zionis dengan memulai pembersihan etnis. Ribuan dibunuh dan ratusan ribu diusir dari kampung halaman mereka dan menjadi pengungsi di Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat dan Gaza selama 70 tahun.


Inilah Hari Nakba, sebuah malapetaka. Tragedi yang diperingati setiap 15 Mei ini, tahun ini telah dimulai sejak Hari Bumi Palestina, 30 Maret lalu dan puncaknya akan diperingati esok hari.


Hampir satu abad berikutnya, Hari Nakba masih berpengaruh bagi ratusan ribu nyawa yang terpencar-pencar di pelbagai penjuru dunia. Al Jazeera telah mengumpulkan beberapa kisah yang terserak menjadi satu karakter, ‘Noor X’. Sebuah nama fiksi, namun kisah-kisah nyata yang memilukan.


Ditulis oleh: Huthifa Fayyad dan Maram Humaid


Palestina


Warga Palestina hidup bahagia di Tanah Air mereka, bertani dan bernapas di desa yang tenang. Tanah asal mereka berada, dulu.


“Kami dulu hidup tenteram dan bahagia di pertanian kami. Rumah-rumah kami sangat indah, dan tanah kami hijau. Kami memanen apel, aprikot, peach, zaitun, dan sayur mayur. Hari-hari itu begitu indah.”


Keindahan lingkungan mereka telah menjadi bagian dari budaya warga Noor X, termasuk di dalamnya, budaya sulam, rajut, nyanyian, puisi, dan seni Palestina tumbuh subur.


“Setiap kali ada pernikahan, mereka meminta saya datang dan menghias henna di tangan dan kaki calon mempelai wanita. Saya juga bernyanyi untuk tetamu bersama para sepupu saya. Mereka selalu mengatakan, pernikahan tanpa saya terasa hambar.”


Itu bukan sekadar permainan dan kesenangan; pendidikan sangat penting.


“Ayah saya memperhatikan pendidikan kami dan memaksa kami bersekolah. Saya bersekolah hingga SMP.”


Nakba: Malapetaka

Pada tahun menjelang peristiwa Nakba, seluruh warga Palestina menentang upaya Inggris untuk meningkatkan jumlah imigran Yahudi dan memberikan tanah dari Arab ke Yahudi.


“Ada fiksi meresap bahwa pengungsi Nakba naif, tapi itu benar-benar keliru. Mereka sadar akan rencana busuk melawan mereka.”


Setelah Inggris memutuskan untuk menarik diri dari Palestina, konfrontasi antara Palestina dan Zionis menjadi lebih ganas, dan keseimbangan kekuasaan berujung menguntungkan Zionis.


“Penembakan bertubi-tubi, teror, dan ketiadaan tentara Arab yang terorganisir [untuk membela kami] adalah alasan utama penderitaan kami.”


Untuk menciptakan negara Israel, pasukan Zionis menyerang Palestina, menghancurkan sekitar 530 desa.


Sekitar 15.000 orang Palestina terbunuh, dan lebih dari 750.000 orang dipaksa keluar dari rumah mereka, entah secara langsung atau melarikan diri karena ketakutan demi keselamatan keluarga mereka.


“Orang-orang di desa kami ketakutan, dan mereka mendesak kami pergi. Ibu saya takut dengan berita pembantaian Deir Yassin dan Jafa. Dia pun memutuskan untuk melarikan diri bersama anak-anaknya.”


“Desa diserang, dibombardir dengan artileri dan senapan mesin berat. 85 syahid tewas dalam pembantaian itu.”


Demikianlah gerakan pembersihan etnis Zionis atas Palestina. Lebih dari 70 pembantaian massal, ratusan orang Palestina terbunuh.


“Paman saya dan putranya dibunuh oleh geng Zionis. Ibu mertua saya terluka di kakinya, dan ketika kakek saya bergegas menyelamatkannya, mereka membunuhnya, di tanahnya.”


“Putraku baru berusia 1 minggu ketika kami meninggalkan rumah kami pada tahun 1948, saya menaruhnya di keranjang di atas kepala saya, dan mengambil sedikit bekal; dua selimut dan beberapa pakaian.”


Sebagian besar pengungsi membawa sedikit harta benda mereka ketika pergi, mereka berpikir akan dapat kembali dalam beberapa hari setelah pembantaian berakhir. Mereka pergi dengan berjalan kaki, berjalan berhari-hari sebelum mencapai tempat penampungan terdekat.


“Di Dayr Sunayd, saudara laki-laki saya menyuruh saya beristirahat dan memberi makan anak saya. Ketika selesai, saya tidak dapat menemukannya di keramaian. Saya berjalan sendirian ke Gaza, dan butuh dua hari untuk bersatu kembali dengan keluarga saya.”


“Di Gaza, kami menghabiskan malam-malam tersulit dalam hidup kami saat itu. Kami tidur di atas pasir di bawah langit. Kami tidak makan setelah hari yang melelahkan berjalan di udara dingin. Di pagi hari, ibu saya memutuskan untuk kembali mengambil makanan, selimut, dan persediaan.”


Ibu Noor X tidak pernah kembali

Banyak pengungsi yang optimis memutuskan kembali ke rumah untuk mendapatkan lebih banyak makanan dan persediaan. Kebanyakan tidak pernah berhasil kembali, entah mereka terbunuh atau terperangkap dalam pembantaian.


Kamp Pengungsian

“Kami menghabiskan satu tahun tidur di atas pasir di bawah langit terbuka dan pepohonan. Kami tiba di Dayr al-Balah di Gaza dalam kondisi yang menyedihkan. Akhirnya, PBB memberi kami tenda.”


Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), dibentuk pada bulan Desember 1949, lebih dari satu tahun setelah Nakba, untuk menyediakan pekerjaan dan bantuan langsung bagi para pengungsi Palestina.


“Situasi sangat sulit di tenda-tenda, sekitar 10 keluarga di satu tenda, hanya dipisahkan oleh kain.”


“Hanya ada satu kamar mandi untuk 6-7 tujuh keluarga. Kami antre di pos PBB untuk memperoleh makanan dan air. Seperti keluarga lain, kami hidup dalam kemiskinan ekstrem. Kami mengandalkan pasokan bantuan UNRWA untuk hidup, dan kami mengandalkan alat tulis dari UNRWA untuk sekolah.”


Beberapa kamp ada sekolah milik UNRWA, tempat para pengungsi Palestina dapat melanjutkan pendidikan mereka. Ini berarti Noor X dapat mengejar pendidikan.


“Di kamp, saya menyelesaikan sekolah menengah. Saya pintar; Saya dapat berbicara 4 bahasa: Inggris, Prancis, Ibrani, dan Arab.”


Noor X tak dapat mengingat hari-hari itu di kamp pengungsian. Meskipun ada dukungan dari komunitas lokal dan UNRWA, banyak warga Palestina yang hidup di bawah garis kemiskinan.


Semua tenda akhirnya diganti dengan batu bata. Kondisi di kamp berangsur membaik, dan orang-orang melanjutkan pencarian orang-orang terkasih mereka yang hilang pada peristiwa Nakba.


Orang tua Noor X tetap tinggal, pencarian mereka dimulai.

“Ada program radio di “Radio Israel” di mana orang Palestina dapat mengirim ucapan dan pesan kepada keluarga mereka, apakah mereka pengungsi di kamp atau di dalam wilayah 1948, berharap itu akan menjangkau mereka.”


Noor X memahami dari pesan-pesan radio, warga kota lainnya telah dipindahkan oleh kelompok Zionis. Tapi, tidak ada berita dari ayah Noor X yang tertinggal, atau ibu dan saudara Noor X yang kembali.


“Saya dulu selalu menunggu program ini setiap hari. Itu adalah satu-satunya cara saya mengetahui tentang keluarga saya, jadi ketika saya menikah, saya menjual sepotong emas saya untuk membeli radio.”


Banyak pengungsi berpegang teguh dengan harapan bahwa mereka akan segera kembali ke rumah mereka, segera.


“Ayah mertuaku menolak gagasan membayar sewa tahunan untuk rumah kami. Dia membayar secara bulanan, berharap dia akan kembali ke rumahnya pada bulan berikutnya. Dia membayar sewanya setiap bulan selama 30 tahun.”


1967

Noor X hidup bersama mertua, berharap untuk kembali ke rumah, ketika perang 1967 pecah, muncul harapan baru bagi orang-orang Palestina.


“Perang tahun 1967 menghidupkan kembali harapan kami. Saya ingat para sesepuh pada waktu itu saling bercerita: ‘Persiapkan dirimu untuk kembali ke tanahmu; saat kembali sudah dekat’. Namun, harapan mereka memudar setelah kekalahan tentara Arab. Semua orang menangis; kesedihan meliputi kamp-kamp pengungsi.”


“Selama perang, kami tinggal di hutan. Kami tidak punya apa pun untuk makan; kami makan rumput pada saat kami bisa kembali ke kamp kami. Tapi kami tidak lari, kemana kita akan pergi? Hanya ada laut di hadapan kami.”


Pada saat perang 1967 berakhir, Israel telah menduduki sisa sejarah Palestina, termasuk jalur Gaza dan Tepi Barat, tempat banyak pengungsi tinggal. Mereka ditakdirkan untuk bertemu lagi dengan kekuatan sama yang telah mengusir mereka dari rumah mereka pada tahun 1948.


“Pada tahun 1967, Israel meredakan pergerakan orang-orang keluar dari wilayah yang diduduki. Mereka ingin mengosongkannya dari warga Palestina.”


Inilah kesempatan bagi banyak keluarga yang terserak untuk mencari tahu apa yang terjadi pada orang yang mereka cintai semenjak tahun 1948. 19 tahun setelah Noor X dipisahkan dari keluarga, pembaruan pun tiba. Mereka datang untuk mengunjungi kamp pengungsi.


“Saya tidak mengenali ayah saya; dia terlihat sangat tua dengan rambut putihnya! Tapi yang paling mengejutkan saya adalah saat saya melihat ibu saya di kursi roda. Dia lumpuh.”


Noor berhenti sejenak dan memalingkan wajahnya, mencoba mengedipkan air matanya …


“Kami semua menangis sejadi-jadinya di hari itu. Saya sangat senang melihat mereka, tetapi sedih di saat yang sama melihat kondisi ibu saya. Dia selalu menjadi wanita yang kuat dan aktif.”


“Saya bertanya kepada saudara laki-laki saya mengapa mereka tidak mengirim pesan di radio. Dia mengatakan mereka tidak bisa menerima ide berbicara di radio Israel.”


Para pengungsi Palestina sekarang hidup di bawah pendudukan ilegal; sepertinya mereka tidak akan pernah pulang ke rumah dan harus merasa sedikit nyaman dengan situasi yang ada.


“Setelah kunjungan itu, saya dapat mengunjungi keluarga saya dengan anak-anak saya. Saya menghadiri pernikahan saudara laki-laki saya, lalu pemakaman ayah dan ibu saya.”


Akibat frustrasi oleh kesia-siaan yang tampak dan kondisi yang memburuk di kamp-kamp, banyak orang Palestina yang pergi ke negara-negara tetangga, mencari kehidupan yang lebih baik.


“Keluarga saya sangat sedih dengan kekalahan itu; kakak laki-laki saya pergi ke Kuwait tahun itu. Banyak yang pergi karena mereka kehilangan harapan untuk kembali ke kota mereka.”


Tetapi tidak semua orang Palestina pergi, banyak yang mengarahkan energi mereka untuk melawan penjajahan.


“Kekalahan tahun 1967 adalah alasan utama saya bergabung dengan perlawanan, saya merasa sangat malu.”


“Pada tahun 1970, saya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena bentrok dengan pasukan Israel. Saya menghabiskan waktu saya di penjara membaca filsafat, ekonomi dan terus belajar.”


“Ketika saya keluar, terjadi intifadah pertama, dan saya bergabung, memimpin pawai dan bergabung dengan serikat buruh.”


Rindu Kampung Halaman

Setelah Israel menduduki Jalur Gaza dan Tepi Barat, banyak pengungsi kembali ke kota mereka untuk mengunjungi tanah dan rumah mereka yang mereka tinggalkan.


“Pada 1980-an, saya bekerja di Israel, di kota saya diusir. Pembatasan gerakan pada saat itu ringan, jadi saya memutuskan untuk membawa keluarga saya dalam perjalanan kembali ke Tanah Air mereka untuk pertama kalinya.”


“Ketika saya memberi tahu para sesepuh bahwa saya akan membawa mereka ke tanah mereka, mereka hampir melompat dengan sukacita. Mereka tidak bisa tidur malam itu. Akhirnya, mereka akan melihat Tanah Air mereka!”


“Saya tidak akan pernah melupakan saat mereka tiba. Mereka menangis dengan getir, bergegas ke tanah mereka. Saya melihat seorang wanita tua mencium sebuah pohon yang ditanam ayahnya yang telah dibunuh. Yang lain berlari ke pemakaman desa, merangkul kuburan. Kami melihat kebun-kebun; kebun anggur dan delima. Saya mendengar mereka berkata ‘ini adalah pohon yang saya tanam. Di sinilah kami biasanya menanam mereka.”


“Saya sangat bahagia untuk mereka tetapi sangat sedih pada saat yang sama.”


“Jika aku punya kesempatan untuk kembali, aku akan bangun dan pergi sekarang, segera.”


Seiring berjalannya waktu dan anak-anak Noor X lebih tua, menjadi penting untuk menyerahkan kunci, kenangan, dan impian Palestina sehingga generasi berikutnya dapat menjaga mereka.


“Saya selalu memberi tahu anak-anak dan cucu-cucu saya tentang kejayaan negeri asal kami. Tanah Air itu berharga.”


“Setiap tahun, pada bulan Mei, saya membawa cucu-cucu saya ke perbatasan agar mereka dapat melihat tanah mereka dan mengambil foto. Saya sering memberi tahu mereka tentang tanah kami dan hak mereka untuk kembali. Mereka selalu bertanya kepada saya: ‘Kapan Anda akan membawa kami lagi di dekat tanah kami?’”


Generasi ke-3

Noor X memiliki 30 cucu, banyak yang hidup tersebar di berbagai negara, masing-masing sesuai tempat orang tua mereka memperoleh pekerjaan dan tempat tinggal. Diaspora mereka telah meningkatkan keinginan mereka untuk terhubung satu sama lain.


“Saya punya [keluarga] yang belum pernah saya temui. Beberapa dapat berkunjung dari waktu ke waktu tetapi tidak setelah Intifadah kedua. Saya hanya melihat foto mereka di media sosial dan berbicara dengan mereka melalui Skype.”


“Setahun yang lalu, saya berpartisipasi dalam konferensi di Yerusalem; Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari keluarga di sana. Saya menemukan beberapa kerabat, dan mereka sangat senang bertemu dengan saya.”


“Sebagai diaspora generasi ketiga, kami memiliki kerinduan untuk mengetahui akar kami. Bertemu keluarga di Yerusalem terasa seperti pulang ke rumah.”


“Apa yang kami warisi dari tanah kami yang dicuri adalah kisah sedih nenek moyang kami, tetapi terlepas dari betapa menyedihkannya mereka, kami memiliki keyakinan pada hak kami untuk kembali.”


Diaspora Palestina, sekarang di generasi ketiga atau keempatnya, masih merindukan dan berusaha untuk pulang.


“Saya seorang pengungsi. Saya memiliki hak untuk kembali. Hak itu tidak berakhir dan dijamin secara hukum dan internasional. Saya berpartisipasi dalam protes untuk mengirim pesan kepada dunia bahwa kami bukan sekadar angka, kami adalah manusia. Dunia harus berhenti memandang kami sebagai orang yang membutuhkan bantuan dan bantuan, kami memiliki eksistensi nyata dan bermartabat.”


“Pengungsian kami hanya sementara, pengungsi tinggal di dekat perbatasan pada awalnya sebelum pindah ke tenda dan akhirnya ke kamp. Hari ini kami membalik itu, kami akan kembali ke perbatasan dan secara bertahap kembali ke tanah kami.”


“Saya lebih suka tetap sebagai ‘pengungsi’ dan berjuang untuk kembali daripada dimukimkan kembali. Itu seperti seseorang mencuri warisan Anda. Saya lebih baik bertarung daripada kehilangan warisan itu.”


Untuk orang-orang Palestina yang diwawancarai untuk cerita ini, Nakba bukanlah peristiwa yang terjadi sejak lama.


Nakba adalah realitas yang terus membentuk perjuangan, harapan, dan impian harian mereka. Mereka, dan banyak pengungsi Palestina seperti mereka, hidup dan mati untuk mencapai satu hal: kembali.[*]


Kenapa Kita Harus Membela Palestina


Pertama: Mengapa harus menolak proposal damai Palestina – Israel?


Salah satu agenda licik Barat dalam melestarikan cengkraman hegemoninya adalah menciptakan polemik internal dalam masyarakat terjajah melalui penyebaran popaganda anti perang dan cinta damai yang sekilas sangat mempesona bagi lapisan tertentu yang merasa cukup cerdas dan beradab.


Propaganda ini bertujuan pelemahan spirit resistensi dalam masyarakat terjajah dengan dalih bahwa semua konflik hanyalah strategi marketing industri senjata.


Opini ini disemburkan oleh filsuf zionis yang diagungkan oleh Barat Yuval Noah Harari dan sejarawan berdarah Yahudi Bernard Lewis. Karena pandangan mereka terkesan jauh dari tendensi politik pro zionisme, banyak orang yang merasa beradab menjadikannya sebagai landasan sikapnya.


Pandangan-pandanganya berbasis pada penafian nilai-nilai transenden di balik semua konflik dan doktrin yang menetapkan bahwa kesejahteraan dan ketentraman adalah ciri masyarakat beradab.


Opini ini mengulang kesuksesan Amerika pada masa perbudakan pra Lincoln yang menciptakan dua kelompok budak, yaitu budak ladangan yang dieksploitasi dalam industri pertambangan dan budak rumahan yang agak dimanusiakan demi menjadi centeng juga algojo yang menyiksa para budak ladang yang resisten dan mencoba untuk merdeka.


Kedua: Mengapa harus mendukung perlawanan bersenjata rakyat Palestina?


Ada beberapa fakta yang mendasarinya, antara lain:


1. Setelah rezim apartheid di Afrika Selatan musnah, rezim tak sah penjajah Palestina adalah satu-satunnya rasialisme struktural yang tersisa di dunia saat ini.


2. Palestina terjajah bukan hanya karena okupasi oleh rezim ilegal Zionis dan dukungan AS serta Barat, tapi dilemahkan oleh rezim-rezim Arab sekutu AS terutama Saudi.


3. Cinta Tanah Air berarti mendukung amanat UUD yang menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa dan menyerukan dihapuskannya penjajahan di atas muka bumi.


6. Karena Quds merupakan simbol sakral umat tiga agama besar, menyuarakan dukungan untuk pembebasan Palestina adalah cetusan toleransi global.


7. Karena Quds dan terutama Al-Aqsa merupakan kota suci dan kiblat pertama, umat Islam berkewajiban menentang penjajahan tanah Palestina.


8. Sebagai bagian dari umat pengikut Pemimpin sentral dan tunggal umat Islam, seruan Imam Khamenei untuk menghidupkan Hari Internasional Quds adalah kewajiban keagamaan.


Ketiga: Apakah menentang Zionisme berarti Anti Semit dan anti Yahudi?


Terlahir sebagai orang dengan ras yahudi dan ras apapun bukanlah kesalahan dan aib. Orang-orang Yahudi kelahiran Eropa dan Amerika yang datang ke Palestina dan mendirikan Israel adalah turis tanpa visa.


Zionisme tak identik niscaya dengan ras dan agama Yahudi. Zionisme adalah ideologi rasisme dengan manipulasi terhadap kitab suci. Tak sedikit rabi yahudi dan warga Eropa dan Amerika yang aktif mendukung perjuangan rakyat Palestina dan menentang Zionisme.

Zionisme adalah penyakit lintas agama. I Zionisme berjubah lebih berbahaya dari zionisme berdasi. Takfirisme adalah zionisme berbalut relijiusitas.


“Quds adalah hak pengikut agama-agama Ibrahimik. Ia adalah milik pengikut Musa, Isa dan Muhammad, bukan gerombolan penjajah rasis.” (Gibran Basil, Menlu Lebanon).


Keempat: Apakah isu Palestina hanya milik umat Islam?


Palestina memang negara multikultur dan etnik. Siapapun yang lahir di Palestina sebelum okupasi, penganut agama Islam, Kristen dan Yahudi, dari suku Arab, Yahudi dan lainnya adalah warga sah Palestina.


Isu Palestina bukan isu agama, karena ia adalah tanah yang dihormati agama-agama Ibrahimik. Tapi itu tidak berarti isu Palestina hanya boleh dipandang sebagai isu kemanusiaan semata, dan tidak berarti orang Muslim tidak berhak meyakini membela rakyat Palestina sebagai kewajiban keagamaan, dan tidak berarti bangsa Arab tidak berhak mengklaim Palestina sebagai bagian dari wilayah Arab berdasarkan prosentase penduduknya baik Muslim maupun Kristen.


Atas dasar itu disimpulkan bahwa

1. Siapapun yang lahir dan berada secara temurun di Palestina sebelum pendudukan 60 tahun silam, apapun agama dan rasnya, adalah warga Palestina.

2. Kemerdekaan Palestina adalah isu kemanusiaan lintas agama dan ras yang harus didukung sebagai komitmen menghapus penjajahan di atas muka bumi

3. Referendum adalah opsi demokratis bagi seluruh warga legal Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri


Kelima: Mengapa perlu memperingati Hari Internasional Quds?


1. Media Barat dan sekutunya melakukan segala upaya untuk mengalihkan umat Islam dan masyarakat dunia dari derita berkepanjangan rakyat Palestina.

2. Hari Internasional Quds adalah hari toleransi global yang menghimpun setiap manusia yang manusiawi dalam spirit bela keadilan dan kemerdekaan.


Bagi umat manusia, mendukung kemerdekaan Palestina adalah kewajiban kemanusiaan.


Bagi bangsa Indonesia, menentang penjajahan adalah kewajiban kebangsaan.


Bagi umat beragama, menyelamatkan Jerussalem adalah kewajiban keagamaan.


Bagi umat Islam, membebaskan Aqsa adalah kewajiban keislaman.


Manal Abu Akhar Pejuang Intifadhah Wanita

 


Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)


Manal Abu Akhar berusia 12 tahun ketika tentara Israel menembak dadanya dalam pawai pemakaman korban Intifadhah Pertama, perjuangan serentak rakyat Palestina melawan penjajahan dan penindasan Israel.


Dia segera dilarikan ke rumah sakit. Dia harus menjalani operasi dan menghabiskan berbulan masa pemulihan.


Dalam Intifadhah Pertama, gadis ini masih terlalu muda untuk menjadi peserta aktif dalam Intifadhah Pertama yang berlangsung antara tahun 1987 hingga 1993.


Ketika Intifadhah Kedua pecah pada 2000, ia berusia 25 tahun dan sudah menikah, memiliki dua anak kecil. Meski demikian, Manal menemukan cara untuk terlibat dalam Intifadhah Kedua ini.


“Sulit bagi perempuan terlibat selama Intifadhah Kedua,” kenang wanita yang kini berusia 40 tahun itu. “Semuanya senjata dan kelompok bersenjata melawan. Sebagai seorang wanita yang ingin ikut berjuang, sulit. Pejuang wanita benar-benar pengecualian, meski demikian kami semua masih bagian penting (dalam perjuangan Intifadhah Kedua).”


Dalam Intifadhad Kedua ini, Manal berperan dengan cara menjadikan rumah kecilnya di kamp pengungsi Dheisha sebagai tempat perlindungan bagi para pejuang.


Tidak hanya itu, dia juga menggunakan tubuhnya sebagai tameng pengacau untuk mengurangi jumlah orang-orang yang ditahan oleh pasukan Israel, suatu metode yang sekarang digunakan oleh kelompok aktivis internasional di seluruh Tepi Barat yang diduduki.


“Ketika (tentara Israel) mencoba untuk menciduk seseorang, kami akan melemparkan diri kami pada orang-orang dan menimbulkan kekacauan sehingga mereka berkesempatan bisa lolos,” jelas Manal.


Beberapa kali Manal ditangkap dan dimasukkan ke dalam jip tentara Israel bersama para lelaki Paelstina yang juga ditangkap. Setelah itu, Manal dan lainnya bersikeras menolak untuk keluar dari jip, cara yang dilakukan untuk memberi waktu bagi para pejuang datang membantu dan membebaskan mereka.


Di masa itu, pergerakan para perempuan Palestina terorganisir dengan baik.


Manal menceritakan ketika seorang tetangganya kehilangan seorang puteranya dalam pertempuran dan Manal ingin pergi ke rumah tetangganya yang berjarak beberapa gang.


Saat itu malam hari. Para wanita sangat dilarang berada di luar rumah, karena sangat berbahaya.


Untuk meluluskan rencananya pergi ke rumah seorang syuhada pada malam hari, Manal kemudian menelepon gadis-gadis yang tinggal di sepanjang daerah itu.


Warga setiap rumah dalam perjalanan dari rumah Manal hingga ke rumah pejuang yang syahid, bertindak sebagai pengintai, mengamati keberadaan tentara Israel di daerah itu.


Ketika Manal meninggalkan rumahnya, para wanita sebelah memberi tanda aman untuk bisa bergerak melewati gang menyeberang ke rumah warga lainnya. Kemudian gang berikutnya, rumah berikutnya, hingga akhirnya Manal sampai di rumah keluarga yang ditinggal syahid. Itu dilakukan untuk memberi dukungan moril kepada keluarga yang berduka.


Keterlibatan Manal dalam Intifadhah kedua, tidak luput dari kekhawatiran suami dan keluarga. Kini dia memiliki puteri yang ia pun perlu khawatirkan.


“Putri bungsu saya (sekarang) 17 tahun dan dia aktif dalam bentrokan,” katanya. “Saya tidak tahu apakah dia melemparkan batu – saya tidak bertanya – tapi saya tahu bahwa dia pergi.”


“Apa yang bisa saya lakukan? Di satu sisi, saya ingin dia aman. Di sisi lain, saya mengerti tindakannya persis (seperti saya dulu), dan dalam hati nurani saya tidak bisa mencoba melarang dan menghentikannya.” (P001/P4)


Sumber: Al Jazeera


Ahed al-Tamimi Simbol Perlawanan Gadis Palestina








 Jakarta - Desa Nabi Saleh di sebelah utara wilayah Tepi Barat, Palestina, Selasa dini hari, 19 Desember 2017. Basem al Tamimi, istri, dan anak-anaknya masih terlelap. Beberapa jam sebelum Azan Subuh berkumandang, tidur Basem terusik oleh derap langkah sepatu serombongan tentara Israel yang menuju ke rumahnya.


Beberapa saat kemudian, para tentara Israel dengan senjata di tangan itu merangsek masuk ke dalam rumah. Satu yang mereka cari adalah salah satu putri Basem, Ahed al-Tamimi. Gadis berusia 16 tahun itu dipaksa bangun lalu diborgol tangannya.


Tentara Israel juga menyita komputer jinjing dan kamera milik Ahed. "Mereka (tentara Israel) memborgol putri saya dan entah di bawa ke mana," kata Basem seperti dikutip dari Al Jazeera.


Ahed dikenal sebagai gadis pemberani. Pada 2012 lalu dia menerima penghargaan Hanzala Courage Award dari distrik Başakşehir Municipality di Istanbul, Turki. Penghargaan diberikan atas keberanian Ahed melawan tentara Israel yang menahan kakaknya.


Tapi Ahed bukan satu-satunya perempuan Palestina yang bernyali menentang pendudukan Israel di wilayah Tepi Barat. Sejak meletusnya gerakan intifadah pada 1987, para perempuan Palestina sudah terlibat langsung melawan pendudukan Israel di Tepi Barat.



Leila Khaled seorang Pejuang Wanita Palestina

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Laila Khalid (2009)

Laila Khalid (lahir 9 April 1944) adalah perempuan pertama asal Palestina yang membajak dua pesawat sebagai protes terhadap penjajahan Israel terhadap negerinya. Dia merupakan anggota Barisan Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP).


Pada 1940-an, di usia 15 tahun, ia bergabung dengan Gerakan Nasionalis Arab yang dimotori George Habash. Meski sempat menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Amerika di Beirut (American University of Beirut), ia lebih tertarik pada politik. Laila masuk ke PFLP yang didirikan Habash setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967. Ia mengungsi setelah Israel merebut kota kelahirannya dalam perang tahun 1948.


Aksi pertama dilakukan pada 29 Agustus 1969 dengan sasaran Boeing 737 milik maskapai Trans World Airlines bernomor penerbangan 840 dalam perjalanan Roma menuju Athena. Ia memaksa pilot mendarat di Bandar Udara Internasional Damaskus (Suriah) setelah terbang di atas Haifa. Setelah semua penumpang dan awak pesawat turun, Laila dan timnya meledakkan pesawat itu.


Laila sempat ditahan aparat keamanan Suriah. Setelah bebas, ia melakukan operasi plastik pertama untuk menyembunyikan identitas. Namun, ia kemudian melakukan misi keduanya yang berlangsung pada 6 September 1970. Bersama pria asal Nikaragua bernama Patrick Arguello, ia membajak pesawat bernomor 219 dengan rute Amsterdam ke New York milik maskapai Israel, El Al Nahas. Arguello tewas ditembak polisi Israel, sedangkan Laila diringkus dengan dua granat di tangan. Pesawat mendarat di Bandar Udara Heathrow, London. Ia dibebaskan pada 1 Oktober 1970 sebagai bagian dari pertukaran tahanan.


Ia kemudian menjadi anggota Dewan Nasional Palestina dan aktif di Forum Sosial Dunia. Setelah bercerai dengan Dokter Fayez Rasyid dan tinggal bersama kedua anaknya (Badir dan Basyar) di Amman (Yordania). Ia juga mengajar bahasa Inggris di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Kuwait.


Atas keberaniannya itu, Lina Makboul (sutradara asal Swedia) membuat film dokumenter mengenai kisahnya. Film itu berjudul Leila Khaled the Hijacker (1005).

Mengenang Syahid Muhammad al-Durra, Remaja Palestina Korban Tembak Pasukan Israel


Muhammad al-Durra adalah bocah Palestina yang meninggal di pelukan ayahnya di Jalur Gaza, dua hari setelah pecahnya intifada kedua pada tahun 2000 lalu.

BY Edited Mon,30 Sep 2019,02:06 PM


Jalur Gaza, SPNA - Hari ini, Senin (30/09/2019), memperingati 19 tahun tragedi pembunuhan yang dilakukan tentara Israel terhadap Mohammad Al-Durra, bocah Palestina yang meninggal di pelukan ayahnya di Jalur Gaza, dua hari setelah pecahnya intifada kedua pada tahun 2000.


Tragedi tersebut terjadi dua hari setelah Mantan Perdana Menteri Israel,  Ariel Sharon menyambangi Masjid Al-Aqsa dengan perlindungan ketat dari pasukan IDF.


Tindakan Ariel Sharon tersebut menimbulkan kemarahan seluruh Palestina. Berbagai perlawanan dilakukan menentang kunjungan tersebut yang dikenal dengan “Intifada”.


Selama lima tahun intifada berlangsung di Palestina telah menelan korban jiwa sebanyak 4.412 orang dan melukai  48.322 lainnya.


Mohammed al-Durra lahir pada 22 November 1988 di kamp pengungsi al-Bureij di Gaza. Dia gugur  dalam demonstrasi “Initifada” yang meletus di Palestina.


Video detik-detik penembakan terhadap Muhammad al-Durra direkam oleh fotografer France2 Talal Abu Rahma dan sempat mengguncang dunia.  Dalam rekaman tersebut terlihat Muhammad al-Durra an ayahnya berada ditengah-tengah baku tembak antara pasukan  IDF dan pasukan keamanan Palestina.


Dilansir Haaretz Rekaman tersebut menampilkan keduanya sedang meringkuk di balik sebuah silinder, sang bocah menangis dan ayahnya berusaha menenangkannya, kemudian muncul tembakan dan debu, sang bocah terlihat terkapar di lutut ayahnya.


Rekaman lima puluh sembilan detik tersebut disiarkan di Perancis dengan panduan dari Charles Enderlin.


Setelah pemakaman publik yang emosional, Muhammad dihormati di seluruh dunia Muslim sebagai seorang syuhada.


Abu Rahma menuduh bahwa tentara Israel saat itu secara sengaja melakukan pembunuhan berdarah dingin terhadap al-Durra dan melukai ayahnya. Laporan tersebut kemudian diserahkan kepada Lembaga HAM Palestina Pusat .

Razan Al Najjar, Seorang Perawat Palestina yang Ditembak Mati Israel

 

Siapa Razan Najjar?

Razan adalah seorang perawat yang bekerja secara sukarela untuk Palestinian Medical Relief Society (PMRS). Dia bekerja di area yang hanya beberapa ratus meter dari rumah keluarganya.

Sebelumnya, beberapa media pernah mewawancarai perempuan berusia 21 tahun ini. Salah satunya adalah mengenai kenapa dia mau ikut terjun ke medan konflik?

"Saya akan merasa sangat malu kalau saya tidak ada untuk (membantu) warga Palestina. Sudah menjadi tugas dan kewajiban saya untuk ada di sini dan membantu mereka yang terluka," kata Razan dalam wawancaranya dengan Al Jazeera pada bulan April 2018.

Dia sendiri sebelumnya pernah terluka, pingsan dua kali karena menghirup gas. Pada 13 April, dia cedera di bagian pergelangan kaki saat jatuh ketika berlari menuju pendemo yang terluka.


Detik-detik saat Razan ditembak

Suara.com - Dunia muslim khususnya, terutama lagi pendukung perjuangan Palestina, kembali berduka dengan jatuhnya korban kejahatan tentara Israel. Martir muda tersebut bernama Razan Al Najjar, seorang gadis berusia 21 tahun yang bekerja secara sukarela sebagai tim medis (perawat) di tengah protes Palestina terhadap Israel di Jalur Gaza.


Sebagaimana antara lain ditulis New York Times, Razan ditembak pada Jumat (1/6/2018) sore, sekitar satu jam menjelang matahari terbenam. Saat itu, Razan yang berpakaian putih tim medis, tengah berusaha membantu salah seorang pengunjuk rasa lainnya --untuk terakhir kalinya.


Ketika itulah tiba-tiba, menurut keterangan salah satu saksi mata, tentara Israel yang diyakini adalah penembak jitu (sniper) melepaskan dua atau tiga tembakan dari seberang pagar pembatas. Raza pun terjatuh, terkena tembakan di bagian atas tubuhnya. Hingga, tak lama kemudian setelah sempat dirawat, nyawanya tak tertolong lagi.


Kesaksian itu antara lain disampaikan Ibrahim Al Najjar (30), salah seorang kerabat Razan yang ada di tempat kejadian. Menurut Ibrahim, saat itu Razan berada kurang dari 90 meter dari pagar, sembari memasang perban untuk seorang lelaki yang terluka usai terkena gas air mata. Sang lelaki lalu dibawa ambulans, sementara rekan-rekan Razan lantas mendekatinya yang juga sedikit terpengaruh gas. Saat itulah kata Ibrahim, tiba-tiba terdengar tembakan, dan Razan pun tumbang.


Ibrahim mengaku lantas segera mengangkat tubuh Razan bersam dua orang lain ke ambulans yang membawanya ke rumah sakit lapangan terdekat. Dokter Salah Al Rantisi, manajer rumah sakit tersebut, mengatakan bahwa Razan dibawa dalam kondisi serius, hingga akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Gaza Eropa di Khan Younis, di mana dia akhirnya meninggal di ruang operasi.


Saksi mata lain dan keterangan dari Kementerian Kesehatan Gaza menyampaikan kronologis sedikit berbeda. Menurut mereka, saat itu Razan bersama rekan-rekannya dari tim medis berjalan ke arah pagar pembatas dengan tangan terangkat ke atas, dengan maksud hendak mengevakuasi beberapa pengunjuk rasa yang terluka. Saat itulah tembakan meletus, dan Razan tumbang tertembus peluru di bagian dadanya.


"Razan tidak menembak (tidak pegang senjata). Dia (justru) menyelamatkan jiwa manusia dan mengobati mereka yang terluka," tegas Ibrahim pilu.


Razan sendiri adalah korban tewas ke-119 dari warga Palestina dalam rangkaian unjuk rasa terbaru terhadap Israel tiga bulan terakhir. Namun dia adalah satu-satunya korban tewas di hari Jumat itu.\


Mirisnya, pada Jumat itu pula, sebuah resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang mengutuk Israel atas "penggunaan kekuatan berlebihan, tak proporsional dan diskriminatif" terhadap warga Palestina, gagal dikeluarkan karena diveto oleh pemerintah Amerika Serikat.


Sulung dari enam bersaudara, Razan merupakan warga Khuzaa, sebuah desa pertanian di perbatasan Israel, sebelah timur Khan Younis, kawasan selatan Jalur Gaza. Ayahnya yang bernama Ashraf Al Najjar (44) adalah pengangguran setelah toko onderdil motor miliknya hancur oleh serangan udara Israel pada 2014 lalu.



Beberapa waktu lalu, Razan sendiri sempat menyatakan bahwa ayahnya bangga dengan apa yang kini ia lakukan (sebagai perawat).


"Kami punya satu tujuan, (yaitu) menyelamatkan nyawa dan mengevakuasi orang. Dan juga menyampaikan sebuah pesan kepada dunia: bahwa tanpa senjata kami bisa melakukan apa saja," tuturnya sebagaimana dikutip New York Times.


Namun kini, sang ayah --bersama banyak orang yang juga berduka atas kepergian Razan-- mungkin hanya bisa bersedih. Kebersamaan terakhirnya dengan sang putri adalah pada subuh Jumat itu, ketika Razan menikmati sahur untuk berpuasa Ramadan, diikuti salat Subuh.


Wanita Palestina, Bidadari Surga

 




Di Palestina, Wanita berlomba melahirkan generasi mujahid.

Mereka bangga, dari rahimnya lahir pejuang-pejuang yang mati syahid.


Di Palestina, Wanita tak kenal Mall dan tempat wisata. 

Bagi mereka, mall-nya adalah medan jihad, dan tujuan wisatanya akhirat.


Di Palestina, wanita mendidik anaknya menapaki tangga jihad terbaik.

Mereka tak sempat membawa anaknya bermain mobil-mobilan.


Di Palestina, Kaum wanita tidak lagi memikirkan kesibukan duniawi.

Mereka hanya memikirkan kontribusi apa yang bisa disumbangkan untuk Al-Aqsha


Di Palestina, Wanita tidak meminta perhiasan duniawi.

Karena mereka yakin, mereka sendiri adalah perhiasan dunia dan akhirat.


Di Palestina, Wanita tak pernah sibuk memikirkan bedak dan cream apa yang dapat memutihkan wajah.

Mereka yakin, wajah mereka bersinar dengan cahaya surgawi.



Ibu adalah Jalanmu Menuju Keridhoan Illahi

 


Mari kita bayangkan sejenak. Seorang istri menikah dengan suaminya. Lalu kemudian dia mengandung dan melahirkan. 1 anak. 2 anak. 3 anak. Dan seterusnya.

Tugas istri yang mempunyai anak ini adalah menjadi seorang ibu… mengurus anak anaknya, memasak untuk mereka, mendidik mereka, dan merawat mereka. Hal ini dilakukan ibu dengan senang hati dalam menjalani hari harinya. Karena ini lah peran seorang ibu.

Begitu juga si suami yang akhirnya menjadi ayah. Perannya adalah bekerja, membanting tulang dan mencari nafkah untuk anak anak dan istrinya. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Hal ini dilakukan dengan senang hati dalam menjalani hari harinya. Karena ini lah peran seorang ayah.

Mari kita bayangkan kembali.

Anak anak yang selama ini telah dirawat oleh ayah dan ibu tadi telah tumbuh dewasa. Mereka pun menemukan kehidupannya masing masing. Mereka pun menikah dan memiliki keluarga masing masing. Tentu keadaan ekonomi anak anak ini juga tidak sama. Ada yang berlebih, ada juga tentunya yang hidupnya pas pasan.

Mengapa anak anak tersebut tidak mampu merawat 1 ibu mereka?

Jawabannya adalah, karena mereka juga sudah memiliki kehidupannya masing masing… mereka mempunyai perannya masing masing dengan menjadi ayah dan ibu juga dari anak anak mereka.

Ketidak mampuan mereka bisa jadi oleh berbagai faktor

  • Keadaan ekonomi anak yang memang juga susah, sehingga dia berfikir, alangkah lebih baik ibu tinggal dengan anak yang lain saja yang hidupnya lebih berkecukupan.
  • Faktor pasangan dari sang anak tersebut. Bisa jadi pasangannya keberatan jika harus tinggal serumah dengan mertua.
  • Faktor didikan dari ibu sendiri saat anak anaknya masih kecil. Jika ibu mengajarkan kasih sayang dan cara berbakti pada orang tua, maka anak pun saat dewasa akan dengan senang hati merawat orang tuanya. Namun jika ibu saat anak anaknya masih kecil ia mendidiknya dengan hardikan, cacian, makian, kemarahan dan kebencian, bisa jadi saat dewasa anak juga kurang berbakti kepada orang tua nya dan tidak mau merawatnya
  • Faktor jarak. Bisa jadi sang anak yang telah dewasa ini merantau ke kota yang jauh. Dan biasanya ibu / orang tua tidak mau pindah dari kampung halamannya.
  • Memang sang ibu / orang tua sendiri yang tidak mau dirawat oleh anak anaknya karena tidak ingin menjadi beban anak anaknya.

Makam Sunan Ampel

















 Alamat


Jl. Petukangan I, Ampel, Kec. Semampir, Kota Surabaya


Contact Person


(031) 3537948


Sejarah


Sunan Ampel yang makamnya terletak di kampung Ampel, kota Surabaya adalah anggota dewan Wali Songo tertua yang memiliki peranan besar dalam pengembangan dakwah Islam di Jawa dan tempat lain di Nusantara

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More