Minggu, 02 April 2023

Kumpulan Artikel Lepas Quraish Shihab


 Adakah mushaf Al-Quran di setiap rumah keluarga Muslim? Diduga jawabannya adalah “tidak”! Apakah anggota keluarga Muslim yang memiliki mushaf telah mampu membaca Kitab Suci itu? Diduga keras jawabannya “belum”! Apakah setiap Muslim yang mampu membaca Al-Quran mengetahui garis besar kandungannya serta fungsi kehadirannya di tengah-tengah umat? Sekali lagi, jawaban yang diduga serupa dengan yang sebelumnya.


Kitab Suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. antara lain dinamai Al-Kitab dan Al-Qur’an (bacaan yang sempurna), walaupun penerima dan masyarakat pertama yang ditemuinya tidak mengenal baca-tulis. Ini semua, dimaksudkan, agar mereka dan generasi berikutnya membacanya. Fungsi utama Al-Kitab adalah memberikan petunjuk. Hal ini tidak dapat terlaksana tanpa membaca dan memahaminya.


Dari celah-celah redaksinya ditemukan tiga bukti kebenarannya. Pertama, keindahan, keserasian, dan keseimbangan kata-katanya. Kata yaum yang berarti “ hari”, dalam bentuk tunggalnya terulang sebanyak 365 kali (ini sama dengan satu tahun), dalam bentuk jamak diulangi sebanyak 30 kali (ini sama dengan satu bulan). Sementara itu, kata yaum yang berarti “bulan” hanya terdapat 12 kali. Kata panas dan dingin masing-masing diulangi sebanyak empat kali, sementara dunia dan akhirat, hidup dan mati, setan dan malaikat, dan masih banyak yang lainnya, semuanya seimbang dalam jumlah yang serasi dengan tujuannya dan indah kedengarannya.


Kedua, pemberitaan gaib yang diungkapkannya. Awal surah Ar-Rum menegaskan kekalahan Romawi oleh Persia pada tahun 614: Setelah kekalahan, mereka akan menang dalam masa sembilan tahun di saat mana kaum mukminin akan bergembira. Dan itu benar adanya, tepat pada saat kegembiraan kaum Muslimin memenangkan Perang Badar pada 622, bangsa Romawi memperoleh kemenangan melawan Persia. Pemberitaannya tentang keselamatan badan Fir’aun yang tenggelam di laut Merah 3.200 tahun yang lalu, baru terbukti setelah muminya (badannya yang diawetkan) ditemukan oleh Loret di Wadi Al-Muluk Thaba, Mesir, pada 1896 dan dibuka pembalutnya oleh Eliot Smith 8 juli 1907. Maha benar Allah yang menyatakan kepada Fir’aun pada saat kematiannya: Hari ini Kuselamatkan badanmu supaya kamu menjadi pelajaran bagi generasi sesudahmu (QS 10:92).


Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya sungguh mengagumkan ilmuwan masa kini, apalagi yang menyampaikannya adalah seorang ummi yang tidak pandai membaca dan menulis serta hidup di lingkungan masyarakat terbelakang. Bukti kebenaran (mukjizat) rasul-rasul Allah bersifat suprarasional. Hanya Muhammad yang datang membawa bukti rasional. Ketika masyarakatnya meminta bukti selainnya, Tuhan berpesan agar mereka mempelajari Al-Quran (lihat QS 29:50). Sungguh disayangkan bahwa tidak sedikit umat Islam dewasa ini bukan hanya tak pandai membaca Kitab Sucinya, tetapi juga tidak memfungsikannya, kecuali sebagai penangkal bahaya dan pembawa manfaat dengan cara-cara yang irasional.


Rupanya, umat generasi inilah antara lain yang termasuk diadukan oleh Nabi Muhammad: Wahai Tuhan, sesungguhnya umatku telah menjadikan Al-Quran sesuatu yang tidak dipedulikan (QS 25:30).


Tahap pertama untuk mengatasi kekurangan dan kesalahan di atas adalah meningkatkan kemampuan baca Al-Quran. Janganlah anak-anak kita disalahkan jika kelak di hari kemudian mereka pun mengadu kepada Allah, sebagaimana ditemukan dalam sebuah riwayat: “Wahai Tuhanku, aku menuntut keadilan-Mu terhadap perlakuan orang-tuaku yang aniaya ini.” 


Bagi yang ingin mengetahui banyak hal bisa membaca blog

http://tempatbagibagi.blogspot.com/

Tantangan NU adalah Menjawab Masalah Besar Umat Manusia

 


Surabaya, NU Online Pengamat Nahdlatul Ulama asal Belanda Martin van Bruinessen mengatakan bahwa tantangan NU memasuki abad kedua adalah bagaimana menjawab masalah besar yang dihadapi oleh umat manusia.


"Tantangan untuk sekarang bagaimana mengembangkan suatu wacana yang mampu membahas masalah besar yang dihadapi oleh umat manusia," ujarnya pada sambutan International Conference Islam Nusantara and World Peace, Ahad (5/2/2023). Seminar dengan tema Mendigdayakan Nahdlatul Ulama, Menjemput Abad Kedua, Menuju Kebangkitan Baru berlangsung di Auditorium Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa).


Menurut Martin yang merupakan seorang Antropolog, masalah besar yang dihadapi oleh umat manusia sekarang ini di antaranya lingkungan hidup, perubahan iklim, hukum internasional, penyelesaian konflik, hak asasi manusia, kesetaraan ras, kesetaraan gender, kesetaraan agama.


"Apakah NU sanggup? Apakah pemikir NU sanggup merumuskan wacana yang menjawab semua tantangan itu? Sangatlah tepat kita akan melihat besok, akan menghadiri suatu halaqah (Muktamar Internasional Fiqih Peradaban), beberapa masalah itu akan disebut," imbuhnya.


Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa memasuki usia NU yang 100 tahun sangatlah tepat NU mengadakan acara Muktamar Fiqih Internasional yang akan dilaksanakan pada Senin (6/2/2023).


"Sangatlah tepat pada hari ulang tahun NU yang ke 100 ada satu konferensi besok, tentang fiqih peradaban. Di mana klaim itu akan diberi legitimasi dengan pembahasan mengenai sumber-sumber kepustakaan Islam untuk mendukung nilai-nilai itu," paparnya.


Martin mengatakan bahwa Muktamar Internasional Fiqih Peradaban mengingatkan dirinya kepada sebuah diskusi di Eropa pada sekitar tahun 90-an dan 2000-an tentang konsep European Islam (Islam Eropa) yaitu ketika orang sering membandingkan tentang Islam di Eropa dan Islam Eropa.


"Banyak orang yang menulis hal-hal menarik antara lain Tariq Ramadan mengenai munculnya Islam Eropa. Muslim di Eropa sebagian besar dari imigran. Keturunan dari Turki, Maroko, Somalia, Pakistan, Indonesia juga, dan beberapa mualaf," ujar Martin.


Mereka merupakan bagian yang terisolir dari masyarakat mayoritas, hidup dalam lingkungan sendiri, dan mempunyai tradisi Islam dari negara asal, "Meskipun secara fisik berada di Eropa tetapi tidak banyak disentuh oleh diskusi-diskusi yang berada di Eropa."


"Jadi dialog itu bagian dari pencarian suatu Islam Eropa. Nah, Islam Eropa itu bukan sesuatu yang nyata yang bisa kita kaji karena sudah ada, nggak. Itu suatu yang ingin diciptakan, dikembangkan oleh orang yang peduli baik kepada Islam sebagai agama maupun kehidupan masyarakat," pungkasnya.


Kontributor: Malik Ibnu Zaman 

Editor: Kendi Setiawan

Memperluas Faham Agama

 


Oleh: Azaki Khoirudin


Anggota Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah/ CEO IBTimes.ID


Ada yang menarik dan fresh pada tema milad 108 Muhammadiyah. Apalagi kalau bukan tawaran wawasan keagamaan baru dengan penekanan pada “perluasan paham agama” dan manifesto berbakti menyelesaikan “masalah negeri.” Saat ini, kita tahu, bahwa dunia kita tengah dihantam krisis kesehatan. Keselamatan nyawa manusia menjadi taruhan. Satu per satu orang yang kita kenal, turut menjadi korban. Tenaga kesehatan di seluruh dunia bekerja keras mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran demi menyelamatkan kehidupan. Begitu pula tenaga kesehatan dan sukarelawan Muhammadiyah, sejak awal penyebaran pandemi tanpa kenal gentar, membaktikan diri. Semua semata-mata karena Muhammadiyah mengajarkan arti penting etos “menolong kesengsaraan umum.” Tidak pelak lagi, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam ditantang untuk merumuskan atau memikir-ulang akar wawasan dan praktik beragama. Maka tatkala saya membaca wawancara Prof. Haedar Nashir di harian Republika (18/11/2020) terkait tema milad 108 Muhammadiyah, saya teringat rumusan 12 Langkah Muhammadiyah. khususnya poin ke-2 tentang “Memperluas Faham Agama” yang berbunyi:


“Hendaklah faham agama yang sesungguhnya itu dibentangkan dengan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita warga Muhammadiyah mengerti perluasan agama Islam, itulah yang paling benar, ringan dan berguna, maka dahulukanlah pekerjaan agama itu” (Manhaj Gerakan Muhammadiyah, h. 394).


Tajdid: Pesan Utama Haedar Nashir


Saya ingin merefleksikan konteks penting tema milad 108 Muhammadiyah. Sebagaimana disampaikan Prof. Haedar, ada dua aspek penting pada tema tersebut, yakni (1) aspek eksistensi atau keberadaan Muhammadiyah, dan (2) aspek keharusan memberi solusi bagi problem kontemporer yang semakin kompleks. Kunci dari dua aspek tersebut adalah “memperluas pemahaman agama.” Kunci daya tahan Muhammadiyah adalah kemampuan mengadaptasi, mengapropriasi dan mengelola pengetahuan, pengalaman serta perkembangan dunia menjadi visi praksis. Nyaris tidak mungkin Muhammadiyah mampu bertahan melewati satu abad tanpa kreatifitas memaknai terus menerus pesan inti ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Maka frasa “Meneguhkan Gerakan Keagamaan” berdasarkan penjelasan Prof. Haedar menunjukkan dua rupa eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan gerakan tajdid. Berkaitan dengan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, pada dasarnya organisasi ini adalah gerakan keagamaan yang berupaya mewujudkan Islam sebagai dasar solusi kehidupan manusia.  Sedangkan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid merupakan pengintegrasian dua arah antara nilai-nilai keislaman dan tantangan kontemporer melalui interpretasi, kontekstualisasi dan apresiasi.


Prof. Haedar menambahkan, karakter “dakwah” dan “tajdid” menuntun Muhammadiyah menyebarluaskan pesan inspiratif Islam sekaligus mengambil tanggungjawab tertentu untuk selalu maju dan membawa perubahan. Itulah hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan. Memadukan karakter “dakwah” sekaligus “tajdid” tidak mudah. Sebab pada satu sisi, gerakan keagamaan kemapanan pengetahuan keagamaan yang diterima turun temurun. Pada sisi lain, jika tidak mampu merespon perubahan konteks makna dan zaman, pengetahuan keagamaan cenderung mengeras, beku dan linier. Bahkan dalam tataran tertentu, paham keagamaan berubah menjadi sekedar peraturan tentang hitam putih suatu perkara. Oleh karena itu, bagi Muhammadiyah “dakwah” haruslah selalu juga menyertakan spirit pembaruan, sehingga nilai dan pengetahuan keagamaan memberi inspirasi bagi manusia untuk bergerak mengatasi kendala dan problem kehidupan yang senantiasa berubah. Bagi Muhammadiyah, spirit pembaruan berkaitan dengan upaya mencerahkan paham keagaman bagi umat manusia. “Jadi, gerakan keagamaan yang kita usung tidak semata dalam makna sempit, atau urusan-urusan pakaian, cara hidup, itu penting, tapi Islam yang membawa misi dakwah luas dan membawa pembaharuan kehidupan. Konteks sejarahnya, memang itu, Kiai Dahlan menghadirkan Islam yang serba eklusif, menjadi Islam yang meluas. Islam yang hanya mengurus ritual ibadah dan diniyah dalam arti terbatas, menjadi urusan muamalah duniawiyah yang juga menjadi tonggak kehidupan Islami”, tegas Prof. Haedar dalam wawancara tersebut.


Catatan Prof. Haedar bahwa “tajdid” adalah kata kunci pada tema milad 108 Muhammadiyah merupakan respon atas tren keberagamaan yang berkembang saat ini. Kita memang tengah menyaksikan penyempitan makna agama. Misalnya penguatan pemujaan atas simbol. Seolah-olah menunaikan pemenuhan atas simbol agama, telah menyelesaikan seluruh tanggungjawab keagamaan. Muhammadiyah hendak hadir sebagai gerakan keagamaan yang memberikan solusi bagi kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan global. Ketika tren beragama dan berislam cenderung fokus pada persoalan-persoalan simbolik dan ritual, Muhammadiyah hendak hadir sebagai gerakan dakwah moderat dan tajdid yang solutif. Prof. Haedar Nashir menjelaskan, “Saat ada fenomena di mana agama menyempit, kita atau Muhammadiyah harus hadir membawa pemahaman kembali tentang Islamyang luas, yang membangun peradaban. Tapi,ada juga orang atau pandangan yang terpengaruh menegasikan agama, lakukan sekularisasi kehidupan, meniru proses sekularisasibarat, ini juga masalah.”


Ijtihad: Upaya Memperluas Pemahaman Agama


Saya menangkap nada cemas dan gelisah Prof. Haedar Nashir. Kita semua tahu bahwa problem utama tren beragama yang fokus pada simbol dan ritual juga dapat bermakna pelarian dari persoalan hidup. Meski cara beragama seperti itu terkesan semarak dan penuh sukacita, sebetulnya ada nuansa reduksi, apatis dan pesimis bahwa Islam dapat diubah menjadi gagasan pencerahan yang lebih besar dan luas. Cara beragama yang memuja simbol dan ritual juga pada akhirnya menampilkan kehendak untuk mempersulit suatu persoalan agama yang sangat sederhana. Saya merenungi tafsir 12 Langkah Muhammadiyah khususnya point ke-2 sebagaimana saya sebut di awal tulisan ini. Ketika menjelaskan pasal “memperluas faham agama” ada prinsip penting dalam beragama, yakni bahwa agama itu ringan. Maksudnya, bahwa agama adalah solusi “ringan” dan rasional, disebabkan oleh dua hal: (1) hukum itu dapat berubah-ubah dengan mengingat keadaan orang; dan 2) agama Islam tidak mengikat paham.


Pertama, dalam menjelaskan pasal tentang perubahan hukum agama dijelaskan dengan mengulas beberapa contoh-contoh antara lain: 1) agama Islam mewajibkan shalat dengan berdiri, tetapi bagi yang tidak bisa berdiri, diperbolehkan dengan duduk, bahkan jika duduk saja tidak bisa, maka diperkenankan shalat sambal berbaring; 2) agama mewajibkan berwudlu bagi orang yang akan shalat, tetapi jika tidak mendapatkan air atau karena sakit, maka diijinkan dengan tayammum; 3) agama mewajibkan shalat Jum’at, tetapi pada saat ada halangan, sepertis sakit atau sedang turun hujan sangat lebat, maka dibolehkan tidak pergi shalat jumat; 4) agama mewajibkan puasa, tetapi bagi orang yang sakit atau bepergian, maka diperbolehkan tidak berpuasa, dengan menggantinya; dan 5) agama mewajibkan pergi haji, tetapi bagi orang yang tidak kuasa atau tidak aman perjalanannya, maka diperbolehkan tidak berhaji (h. 412-13).


Demikianlah beberapa contoh betapa ringannya dalam beragama Islam. Dalam kasus pandemi Covid-19, Muhammadiyah juga banyak melahirkan fatwa-fatwa keagamaan yang meringankan dan solutif, seperti: (1) Shalat lima waktu sebaiknya dikerjakan di rumah; (2) Salat Jumat diganti dengan salat Zuhur empat rakaat di rumah; (3) Seluruh rangkaian Ramadan seperti salat tarawih, ceramah-ceramah, tadarus berjamaah, iktikaf di masjid, tidak perlu dilakukan; (4)  shalat Id di lapangan dan masjid sebaiknya tidak dilaksanakan dan dapat dilakukan di rumah masing-masing; dan seterusnya. Semua dilakukan atas dasar kemaslahatan dan kemanusiaan serta tetap berbasis pada nash (dalil yang otentik) dan perkembangan sains mutakhir.


Kedua, agama tidak mengikat paham. Dalam tafsir 12 langkag Muhammadiyah, dijelaskan bahwa perluasan paham di dalam agama itu, harus dengan syarat-syarat dan bahan-bahan yang telah ditetapkan di dalam agama. Sekali-kali tidak boleh orang memahami agama menurut hawa nafsu, kehendak hati sendiri (h. 413).  Secara tegas dinyatakan: “Hendaknya sama ingat, bahwa yang harus kita perluaskan itu “paham agama”, bukan agama, karena agama itu sudah sempurna, tidak boleh diperluas dan tidak boleh pula dipersempit” (h.414). Jika ada orang yang menjalankan agama dengan kesusahan dan kesempitan, sebenarnya bukan agamanya yang sempit, melainkan pemahaman agama tersebut yang sempit. Problemnya kebanyakan masyarakat awam, sering kali tak bisa membedakan antara agama dan pemahaman agama. Masyarakat tidak membedakan antara wahyu (absolut) dan ra’yu (relatif dan terbatas). Akibatnya tak jarang seseorang atau kelompok yang kurang wawasan agama, gemar menyalah-nyalahkan pemahaman orang lain, bahkan tak segan-segan mengkafirkan.


Di sinilah pentingnya membedakan agama dan pamahaman (ilmu) Agama. Pemahaman keagamaan tidak dapat dijadikan sebagai kebenaran absolut. Karena semua itu hanya merupakan hasil pemikiran manusia. Wahyu yang tidak akan berubah, sedangkan pemahaman dan penafsiran atas wahyu serta ilmu agama akan berubah sesuai dengan waktu. Agama tidak membutuhkan perbaikan dan penyempurnaan. Akan tetapi ilmu agama akan terus-menerus diperbaiki dan dikembangkan. Jika prinsip ini dipegang dan dipahami oleh seluruh umat Islam, maka akan terbangun toleransi yang kokoh antara berbagai kelompok Islam. Jika hal ini dihayati betul, maka pemahaman agama akan terus berkembang dan diperluas dengan berbagai pendekatan ilmu sosial, ilmu alam dan ilmu-ilmu lainnya dalam rangka menjadi solusi bagi kehidupan umat manusia. Dengan ini agama dari Allah Swt dapat berperan sebagai petunjuk kabaikan hidup manusia.


Editor: Fauzan AS

Memilih Moderat Berkemajuan

 Oleh: Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah)


Muhammadiyah adalah anugerah Allah SWT bagi bangsa Indonesia.  Melalui kontribusi gerakan pencerahan Islam yang dirintis KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah terus berikhtiar membumikan ajaran Alquran dan Hadis ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara kontekstual. 


Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo mewakili pemerintah dan rakyat Indonesia saat memberi sambutan daring pada Milad 108 Tahun Muhammadiyah. “Jutaan penduduk Indonesia telah merasakan manfaat dari kemajuan dan inovasi yang dilakukan Muhammadiyah. Merasakan pelayanan yang diberikan persyarikatan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan pendidikan masyarakat”, tegas Presiden.


Pernyataan Presiden merupakan satu dari sekian banyak kesaksian dan apresiasi para tokoh bangsa atas perjalanan 108 tahun Muhammadiyah. Kami tidak bisa mengutip semua pernyataan para pihak dalam tulisan ini, kecuali menyampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya atas segala apresiasi dan kerjasama selama ini. 


Muhammadiyah senang dikritik. Kritik itu energi positif untuk makin aktif berdakwah amar makruf mahi munkar yang berkarakter moderat berkemajuan. Asalkan, kritiknya tidak menuntut Muhammadiyah berpenampilan “lain”, yang tidak sejalan dengan kepribadian dan khittah gerakannya.


Karakter Gerakan


Muhammadiyah sejak berdiri 18 November 1912 menegaskan diri sebagai gerakan dakwah dan tajdid. Muhammadiyah perhimpunan Islam yang “menyebarloeaskan” dan “memajoekan” hal ihwal Agama Islam di Indonesia. Inilah fondasi awal Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan.


Muhammadiyah lahir karena tuntuan situasi umat dan bangsa yang tertinggal. Kala itu bangsa berada Indonesia terjajah. Sedangkan umat Islam tidak berpegang teguh kepada ajaran Islam yang murni; terpecah belah tanpa persatuan; pendidikan tidak sejalan dengan tuntutan zaman; mereka hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme; serta pengaruh misi zending yang semakin kuat (Salam, 1968).


Kiai Dahlan memberi jawaban dengan melakukan pembaruan (tajdid) pemahaman Islam. Memperkenalkan pendidikan Islam modern. Gerakan baru membangun kesehatan dan pelayanan sosial berbasis Al-Ma’un dan PKO. Pengorganisasian zakat dan haji. Memelopori lahirnya organisasi perempuan Islam Aisyiyah yang berperan membidani Kongres Perempuan 1928.


Gerakan cinta tanah air Hizbul Wathan. Publikasi Islam melalui majalah Suara Muhammadiyah yang memperkenalkan penggunaan bahasa Indonesia. Tabligh di ruang publik dan usaha-usaha lain yang bersifat baru.


Para ahli menyebut Muhamamdiyah sebagai gerakan Islam modern atau reformis. Sebutan modernisme dan reformisme Islam secara khusus dilekatkan pada Muhammadiyah, sehingga label itu begitu kuat sampai saat ini. James Peacock (1986) menyebut Muhammadiyah dan Asisyiyah sebagai gerakan Islam modern “yang utama dan terkuat di negara terbesar kelima di dunia”. Kemodernan yang ditampilkan Muhamamdiyah menghadirkan kemajuan sejalan ajaran Islam.


Kini 108 tahun berjalan. Etos dakwah dan tajdid yang berkarakter modern dan reformis itu menjadi warisan penting sekaligus berat bagi generasi Muhammadiyah saat ini. Kyai Dahlan berpesan agar penerusnya menjadi “pemimpin kemajuan Islam”. Pemimpin yang berjiwa, berpikiran, bersikap, dan bertindak maju.


Anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah niscaya bangga dengan organisainya. Jangan tertambat ke hati lain. Jadilah  aktor Muhammadiyah yang  berada dalam cakrawala “dunia besar” dan bebas dari sangkar besi “dunia kecil”. 


Muhamamdiyah saat ini niscaya menghadirkan secara lebih berkualitas Islam berkemajuan untuk mencerahkan peradaban umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta. Mendakwahkan Islam yang damai, toleran, dan berakhlak mulia, dan rahmatan lil-‘alamin.


Jadilah “ummatan wasatha” dan “syuhada ‘alan-nas” yang menampilkan uswah hasanah. Jangan terbawa arus dan bersimpati pada praktik beragama yang ekstrem, intoleran, kolot, gaduh, dan melawan kemajuan zaman atas nama apapun karena bertentangan dengan karakter keislaman dan jati diri Muhammadiyah.


Memberi Solusi


Muhammadiyah sejak awal kelahiran sampai kini tiada henti memberi solusi untuk negeri. Muhammadiyah bersama komponen bangsa lainnya bergerak dalam menyelesaikan masalah bangsa. Di  saat kritis, Muhammadiyah tampil menberi jalan keluar seperti dalam memberi titik kompromi Pancasila setelah satu hari proklamasi 17 Agustus 1945. Kini Muhammadiyah proaktif menghadapi pandemi Covid-19 maupun masalah negeri. 


Muhammadiyah terus berbuat lewat pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, pemberdayaan masyarakat, membimbing umat di jamaah bawah, dan lain-lain secara   nyata memajukan umat dan bangsa. Aisyiyah dengan sekitar 23 ribu TK ABA/PAUD dan tiga universitasnya (Unisa) dan amal usaha lainnya juga wujud solusi untuk kemajuan. Pekerjaan dakwah bil-hal seperti itu sangat berat dan berkontribusi penting bagi masa depan umat dan bangsa. Meskipun mungkin dipandang tidak heorik dan karismatik.


Kesibukan Muhammadiyah memang harus dilakukan jika umat dan bangsa ingin maju.  Bukan kesibukan egoistik, tetapi langkah nyata membangun keunggulan. Kalau tiap hari ormas gaduh, kapan umat Islam dan bangsa Indonesia maju?


Situasi ini bukan meninggalkan ruang kosong, tetapi merupakan pilihan strategis apakah umat dan bangsa  ingin maju atau tidak. Itulah karisma Muhammadiyah dalam berislam. Menampilkan Islam yang uswah hasanah dan amal saleh berkemajuan. Meneladani Nabi Muhammad membangun al-Madinah al-Munawwarah.


Muhammadiyah juga melakukan kritik tegas terhadap kebijakan negara yang dianggap tidak tepat sebagai wujud amar makruf nahi munkar. Di antaranya tentang RUU HIP dan RUU Ciptakerja. Muhammadiyah memang tidak menempuh cara ekstrem dan gaduh dalam amar makruf nahi munkar, karena bukan pilihan yang baik dan tidak sejalan kepribadiannya.


Bila menampilkan wajah ekstrem tentu tampak heroik, tapi beresiko besar bagi masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia. Pengalaman satu abad cukup bagi Muhammadiyah menghadapi gelombang besar dan karang terjal.


Muhammadiyah niscaya istiqamah dengan gerakan dakwah moderat berkemajuan yang menebar pencerahan hidup. Islam ditampilkan dalam keteladanan dan amal shaleh. Jalan dakwah yang memajukan memang tidak menarik karena menuntut kerja keras dan usaha membangun keunggulan.


Pendekatan dakwah “lil-muwajjahah” (proaktif-konstruktif) merupakan pilihan Muhamamdiyah hasil Muktamar 2010, yang tidak mengizinkan cara dakwah “lil-mu’aradhah” (reaktif-konfrontatif). Warga Muhamamdiyah jangan terbawa arus, harus terus bersemangat menggerakkan usaha-usaha dakwah moderat berkemajuaan diserta keteladanan hidup.


Ketika umat semarak beragama dan masyarakat luas haus akan nilai-nilai agama, Muhammadiyah hadir dengan dakwah yang memberi kepastian nilai, kedamaian, keselamatan, kebahagiaan, dan pencerahan. Seraya mencegah segala bentuk kekerasan, diskriminasi, ekstremisme, dan anarki dalam kehidupan. Muhammadiyah tidak akan menghadirkan Islam yang keras-ekstrem, meskipun mungkin disenangi sebagian kalangan. Karisma Muhammadiyah tidak di situ!


Berdakwah dan berbangsa selalu ada masalah. Kewajiban semua pihak berikhtiar menyelesaikan masalah secara optimal. Setelah itu bertawakal kepada Allah. Tidak perlu bersesal diri, berpatah asa, sangka buruk, serta saling menghujat dalam menghadapi masalah negeri.


Yakinlah, terdapat kuasa dan  rahasiah Tuhan di balik segala peristiwa di muka bumi ini. Kenapa meratapi? Allah berfirman yang artinya, “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS al-Anbiya: 35).


Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan di halaman Republika pada Sabtu (28/11)

Kenapa Terus Membaca Al-Qur'an tapi tidak Tahu Maknanya


Kisah ini seputar tadarus Al-Qur'an Ramadhan yang hanya mengejar khatam tanpa mengerti maknanya dan merenungi kandungannya. Seolah tak berguna. 


Ziyad, seorang anak kecil yang suka ikut kakeknya ke manapun perginya. Di bulan Ramadhan tak ketinggalan ia habiskan waktu untuk tadarus Al-Qur'an bersama kakeknya. Ia juga ikut ke masjid untuk melakukan shalat jamaah dan ibadah lainnya. 


Karenanya Ziyad tumbuh menjadi anak saleh dan akrab dengan tradisi keagamaan.  


Suatu malam setelah shalat tarawih kakek dan Ziyad mengikuti tadarus Al-Qur'an di masjid seperti kebiasaan bulan Ramadhan di tahun sebelumnya. Namun sekarang ada hal yang mengganjal di hatinya. "Bagaimana sih Kek, Kakek terus saja membaca Al-Qur'an, tidak hafal (dan tahu maknanya), apa ada faidahnya?" bisik Ziyad kepada kakeknya. Sesampai di rumah, tak lama kemudian Kakek merespon pertanyaan cucu kesayangannya. 


"Lihat Ziyad, di sana ada ember bocor di bawah balai-balai (amben). Bawa ke sini." Ziyad pun segera mengambilnya dan membawanya kepada kakeknya, tapi ternyata ember itu sangat kotor dan banyak debunya.  "Ziyad, masukkan air ke situ," seru kakeknya.


"Iya, siap kakek," jawab Ziyad penuh kesigapan.  Meskipun terus diisi air oleh Ziyad, ember itu tidak dapat dipenuhi air. Setiap Ziyad mengisinya, airpun segera keluar melalui lubang bocornya.  Anehnya, sudah tahu embernya bocor, Sang Kakek masih saja meminta Ziyad untuk mengisinya dengan air secara terus-menerus dan berulang-ulang. Namun tetap saja ember tidak terisi dengan air. Seolah sia-sia usaha yang dilakukannya.  


Di titik itulah Kakek mulai menasihati Ziyad. "Lihat bagian dalam ember ini," tutur kakek secara perlahan. Ziyad pun menurutinya dan melihat bagian dalam ember. Ia lihat sudah bersih tanpa debu sama sekali.  


Kakekpun segera melanjutkan nasihatnya: "Sebagaimana air masuk ke ember dan tidak dapat berhenti di sana, tapi tetap bermanfaat karena dapat membersihkan ember tiap kali air dimasukkan; seperti inilah keutamaan Al-Qur'an wahai cucuku yang saleh.


Al-Qur'an membersihkan hati dan menjadikan kita semakin akrab dengan agama Islam yang merupakan agama paling baik di antara sekian agama samawi.  Karenanya, teruslah kamu melanggengkan membaca Al-Qur'an, meskipun tidak hapal dan tidak tahu maknanya sehingga mendapatkan balasan dan pahala dari Allah ta'ala," (Ahmad As-Sayyid, storyrealistic dengan beberapa penyesuaian). 


Subhanallah. Tadarus Al-Qur'an yang kadang mengejar khatam seperti umumnya dilakukan yang seolah-olah terkesan tak berguna, ternyata dapat membersihkan hati dan mendatangkan pahala. Terlebih dilakukan di bulan Ramadhan, bulan mulia bulan turunnya Al-Qur'an. 


Hikmah Sufi : Burung yang Sayapnya Patah


 Suatu hari, dua orang sufi terkenal, Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi bertemu di Makkah. Dalam pertemuan tersebut, Ibrahim bin Adham berhasil mengubah pemikiran Syaqiq Al-Balkhi. Hal ini bermula ketika Ibrahim bin Adham memulai dialog dengan melontarkan pertanyaan pada Syaqiq.


"Bagaimana kisah awal perjalanan spiritualmu?" demikian pertanyaan Ibrahim bin Adham pada Syaqiq, sebagaimana dikisahkan oleh Khalaf bin Buhaim dan dicatat oleh Imam Ibnu Jauzi dalam Kitab 'Uyunul Hikayat. (Ibnu Jauzi, 'Uyunul Hikayat​​​​​​, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971], halaman 285).


Mendapat pertanyaan itu, Syaqiq langsung menceritakan pengalaman pribadinya yang menjadi titik tolaknya menempuh perjalanan spiritual.


Diceritakan Syaqiq, suatu hari ia sedang menempuh perjalanan di sebuah gurun. Merasa lelah, ia pun beristirahat untuk mengembalikan energi yang terkuras oleh panasnya terik matahari. 


Saat istirahat, tiba-tiba Syaqiq dikagetkan oleh seekor burung yang jatuh tidak jauh dari tempat istirahatnya. Setelah diperhatikan, ternyata burung itu sayapnya patah sehingga tidak mampu untuk terbang dan mencari makanan.


"Kita lihat, dari mana burung ini bisa mendapatkan makanan?" gumam Syaqiq dalam hatinya sambil mendekati dan terus memperhatikan burung itu.


Ibrahim bin Adham belum memberikan respons, ia tetap fokus mendengarkan kisah Syaqiq Al-Balkhi.


Tiba-tiba, kata Syaqiq, datang seekor burung yang sehat dan normal mendekati burung yang sakit dan terjatuh.


"Burung sehat ini membawa belalang di paruhnya, lalu menyodorkan belalang itu ke paruh burung yang sayapnya patah," sambung Syaqiq.


Peristiwa tersebut membuat hati Syaqiq tertegun. Ia pun memuji kekuasaan Allah yang telah memberikan rejeki berupa makanan kepada burung yang tak berdaya di tengah gurun.


"Allah juga pasti akan memberiku rejeki di mana pun aku berada," kata Syaqiq penuh keyakinan.


Sejak saat itu, masih kata Syaqiq kepada Ibrahim bin Adham, ia memilih memfokuskan diri untuk beribadah dan tidak bekerja karena yakin bahwa Allah akan tetap memberi rejeki, sebagaimana burung yang sayapnya patah itu.


Setelah Syaqiq selesai bercerita, Ibrahim bin Adham memberikan pertanyaan sekaligus pernyataan yang membuat Syaqiq tercengang.


“Wahai Syaqiq, mengapa engkau malah memilih menjadi seperti burung yang sayapnya patah itu, mengapa tidak memilih menjadi burung yang sehat dan memberi makan burung yang sakit tersebut?" ucap Ibrahim bin Adham pada Syaqiq.


Tidak berhenti di situ, Ibrahim bin Adham juga mengutip hadits Rasulullah saw.


"Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah?” ucap Ibrahim bin Adham.


"Bukankah di antara tanda seorang mukmin sejati adalah menginginkan satu dari dua derajat yang lebih tinggi dari berbagai hal, hingga dia mencapai tingkatan Al-Abrar?” sambung Ibrahim bin Adham.


Usai mendengar penjelasan Ibrahim bin Adham, Syaqiq AI-Balkhi langsung memegang dan mencium tangan Ibrahim bin Adham seraya berkata: “Anda guru kami, wahai Abu Ishaq.”


Dari kisah ini dapat dipetik hikmah, menempuh perjalanan spiritual tidak harus meninggalkan kehidupan sosial. Lebih dari itu, bisa ditingkatkan dengan selalu menebarkan kebaikan dan terus memberikan manfaat kepada orang lain.


Ustadz Muhammad Aiz Luthfi, Pengajar Pesantren Al-Mukhtariyyah Al-Karimiyyah, Subang, Jawa Barat.


Tarisem, Nenek Sederhana Berhati Kaya

 

Banyumas, NU Online 

Usia lanjut dengan keterbatasan harta tetapi jiwanya kaya raya. Ungkapan ini rasanya tidak berlebihan disematkan kepada Tarisem, perempuan 75 tahun, warga Desa Karanggude Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Tarisem adalah ibu dengan tiga anak dan berprofesi sebagai pemasak gula kelapa di rumahnya sehingga penghasilannya minim. Tetapi, dengan kedermawanan, ketulusan, keikhlasan lahir batin, ia dan anggota keluarganya mewakafkan tanah demi pembangunan mushala di desanya. Tanah seluas 20 ubin atau setara 240 meter persegi diwakafkan Tarisem sebagai sarana ibadah di lingkungannya.


Tarisem mengaku dengan tulus ikhlas mewakafkan tanahnya karena menjadi bagian dari sebuah ikhtiar untuk sangu atau bekal di kehidupan berikutnya. Tentu saja dia berharap bisa mendapat ridha Allah Swt.


"Saya ikhlas dan tanah wakaf ini akan dibangun mushala oleh ketua dan pengurus RT setempat," katanya saat silaturahim Jaringan Pengelola Zakat, Infak, Sedekah Nahdlatul Ulama Berkah Remen Silaturahmi (JPZISNU Beres) Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (22/3/2023) pagi.


Suami Tarisem telah meninggal dunia beberapa tahu silam. Tanah yang dia wakafkan adalah hasil dari pembelian bertahap dari uang yang ditabungnya. Ketua JPZISNU Beres Purwokerto Barat, Ustadz Daryanto pun mengaku heran dengan ketulusan Tarisem. Saat silaturahiim tersebut Ustadz Daryanto didampingi beberapa Ketua RT, tokoh masyarakat dan petugas lapangan JPZIS Beres. Ustadz Daryanto juga sempat berbincang-bincang dengan Tarisem.


Ketua JPZISNU Beres Purwokerto Barat, Ustadz Daryanto pun mengaku heran dengan ketulusan Tarisem. Saat silaturahiim tersebut Ustadz Daryanto didampingi beberapa Ketua RT, tokoh masyarakat dan petugas lapangan JPZIS Beres. Ustadz Daryanto juga sempat berbincang-bincang dengan Tarisem.


"Saya merasa haru dengan apa yang telah dilakukan Nenek Tarisem. Dia bukan orang sugih (kaya raya) harta, tetapi sugih hati," katanya. Menurut Ustadz Daryanto, apa yang dilakukan Tarisem adalah hal yang sangat luar biasa. "Semoga bisa menjadi teladan untuk yang lainnya," harapnya.


Selama ini Tarisem dalam mengarungi kehidupan sangatlah sederhana. Sebuah dapur berdinding anyaman bambu dan sebagian beratap genteng, biasa dia pergunakan untuk memasak gula merah berbahan nira kelapa.


Saat datang, Ustadz Daryanto dan romobongan juga memberikan bantuan JPZIS Beres berupa material semen untuk mushala yang tengah dibangun di atas tanah wakaf dari Tarisem. Ustadz Daryanto mengusulkan agar Tarisem dan anggota keluarganya bisa mendapatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS). "Selain itu JPZIS Beres juga akan nyengkuyung (membantu) rangkaian proses tersebut," tandas Ustadz Daryanto. Kontributor: Djarmanto Editor: Kendi Setiawan


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More