Imam Ali bin Abi Thalib k.w berkata :
[1] “Jika tanganmu tidak mampu membalas suatu kebaikan maka perbanyaklah lisanmu dengan ucapan terimakasih.”
[2] “Baik-baiklah kalian dalam menyertai setiap kenikmatan karena ia akan hilang, dan ia akan bersaksi terhadap orang yang memperoleh kenikmatan itu atas apa yang ia lakukan terhadapnya.”
[3] “Seandainya disingkapkan kepadaku tirai keghaiban maka itu tidak akan menambah keyakinanku.”
[4] “Meninggalkan dosa jauh lebih mudah daripada melakukan taubat.”
[5] “Tidak dapat dikatakan sedikit sebuah perbuatan seseorang yang disertai dengan ketakwaan kepada-Nya, bagaimana itu dikatakan sedikit sedangkan ia telah diterima oleh-Nya.”
[6] “Sehatnya badan karena sedikitnya dengki, dan kedengkian itu diwariskan sebagaimana diwariskannya harta.”
[7] “Akal adalah raja sedangkan tabiat adalah rakyatnya, jika lemah akal untuk mengatur tabiat maka akan timbul kecacatan padanya.”
[8] “Makanan pokok tubuh adalah makanan yang biasa engkau makan, sedangkan makanan pokok akal adalah hikmah, maka kapan saja salah satu dari dua makanan pokok itu hilang akan binasa dan lenyaplah engkau.”
[9] “Sabar itu lebih pahit daripada racun.”
[10] “Hikmah adalah barang yang hilang bagi mukmin. Maka ambillah dia walaupun dari mulut orang-orang munafik, musyrik sekalipun. Karena engkau lebih berhak atasnya.”
[11] “Merupakan kafarat bagi dosa-dosa besar adalah menolong orang yang teraniaya dan menghibur orang yang dirundung kesedihan.”
[12] “Manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang menghidupkan akalnya dan mematikan syahwatnya serta melelahkan dirinya untuk kebaikan akhiratnya.”
[13] “Jadilah manusia yang baik dalam pandangan Allah. Jadilah manusia yang buruk dalam pandangan sendiri. Jadilah manusia yang biasa dalam pandangan orang lain.”
[14] “Nasehati temanmu dengan perilaku yang baik terhadapnya, dan jauhkan kejahatannya dengan berbuat baik kepadanya.”
[15] “Sesungguhnya diam adalah sebuah pintu di antara pintu hikmah.”
[16] “Hati yang kosong dari ketaqwaan akan dipenuhi dengan fitnah-fitnah dunia.”
[17] “Murah senyum itu bukti kasih, sabar itu kuburan aib.”
[18] “Orang yang bijak itu adalah mereka yang membalas kejahatan dengan kebaikan. (Karena itu) orang yang bijak adalah mereka yang paling mulia jiwanya di antara manusia.”
[19] “Tawa seseorang yang sadar akan dosanya adalah lebih baik ketimbang tangis seseorang yang merasa telah memberikan keuntungan kepada Tuhannya.”
[20] “Janganlah kamu bangga dengan harta dan kelapangan, dan janganlah kamu bersedih dengan kefakiran dan cobaan, karena emas diuji dengan api, dan mukmin diuji dengan cobaan.”
[21] Said bin Musayyab menceritakan bahwa ia dan para sahabat menziarahi makam-makam di Madinah bersama Ali bin Abi Thalib. Kemudian Ali berseru, “Wahai para penghuni kubur, semoga selamat dan rahmat dari Allah senantiasa tercurah kepada kalian, beritahukanlah keadaan kalian kepada kami atau kami akan memberitahukan keadaan kami kepada kalian.”
Lalu terdengar jawaban, “Semoga keselamatan, rahmat, danberkah dari Allah senantiasa tercurah untukmu, wahai amirul mukminin. Kabarkan kepada kami tentang hal-hal yang terjadi setelah kami.”
Ali berkata, “Istri-istri kalian sudah menikah lagi, kekayaan kalian sudah dibagi-bagi, anak-anak kalian berkumpul dalam kelompok anak-anak yatim, bangunan-bangunan yang kalian dirikan sudah ditempati musuh-musuh kalian. Inilah kabar dari kami, lalu bagaimana kabar kalian?”
Lalu terdengar suara, “Kain kafan kami telah koyak, rambut telah rontok, kulit mengelupas, biji mata terlepas di atas pipi, hidung mengalirkan darah dan nanah. Kami mendapatkan pahala atas kebaikan yang kami lakukan dan mendapatkan kerugian atas kewajiban yang kami tinggalkan. Kami bertanggung jawab atas perbuatan kami.”
(Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi)
[22] Ibnu Katsir menceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib ra menemukan baju besinya pada seorang Nasrani. Maka Ali membawanya kepada hakim Syuraih untuk menggugatnya. Ali mengatakan, “Baju besi ini adalah bajuku. Aku tidak pernah menjualnya dan tidak pernah menghibahkannya.”
Syuraih mengatakan kepada orang Nasrani, “Apa tanggapanmu tentang perkataan Amirul Mukminin?”
Orang Nasrani mengatakan, “Baju besi itu tidak lain adalah milikku, walaupun menurutku Amirul Mukminin itu bukan orang yang pendusta.”
Syuraih menoleh kepada Imam Ali. Syuraih berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah anda memiliki bukti?”
Ali ra. tertawa, lalu berkata, “Syuraih benar, aku tidak memiliki bukti.”
Maka Syuraih memutuskan bahwa baju besi itu milik orang Nasrani tersebut. Orang Nasrani mengambil baju besi dan maju selangkah, lalu ia kembali. Ia berkata, “Ketahuilah, aku bersaksi bahwa ini adalah hukum para Nabi. Amirul Mukminin menggugatku kepada hakimnya dan hakimnya memenangkanku atasnya. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Demi Allah, baju besi itu milikmu wahai Amirul Mukminin.”
(Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-NIhayah, 8/5)
[23] Pada hari itu udara kota Kufah sangatlah nyaman. Angin sepoi bertiup perlahan dari arah kota memberikan ketenangan bagi jiwa dan semangat manusia. Seorang musafir bergerak ke arah kota Kufah. Dia telah melewati perjalanan yang jauh untuk mencapai suatu tempat di sekitar Kufah dan kini ia merasa kelelahan. Dia berpikir sendirian, alangkah menyenangkannya jika dia mempunyai teman seperjalanan, supaya dia punya teman untuk berbicara dan tidak merasa lelah akan perjalanan tersebut. Ketika itu pula, tampak sesosok tubuh dari kejauhan. Sang musafir merasa gembira dan berkata sendirian, ”Aku akan bersabar sampai orang itu datang menghampiriku. Mungkin saja dia bisa menjadi teman seperjalananku.”
Sosok dari kejauhan itu akhirnya mendekat. Ternyata dia adalah seorang lelaki itu berwajah menarik dan bercahaya. Terlihat senyum terukir di bibir lelaki itu. Ketika keduanya berdekatan, mereka saling bertanya kabar. Ternyata, lelaki itu juga akan pergi ke Kufah. Sang musafir yang kesepian tadi merasa gembira karena kini dia memiliki teman seperjalanan.
Lelaki yang baru tiba itu tidak lain dari Imam Ali. Tetapi, Imam Ali menyembunyikan identitasnya kepada musafir tersebut. Keduanya sama-sama meneruskan perjalanan. Mereka lalui perjalanan bersama itu sambil berbincang-bincang. Tak lama kemudian, Imam Ali mengetahui bahwa teman seperjalanannya itu bukan muslim. Namun, Imam Ali tetap memperlakukannya dengan baik, sampai-sampai lelaki non muslim itu merasakan persahabatan dan kecintaan terhadap Ali. Tutur kata dan akhlak Imam Ali sedemikian baiknya sehingga telah meninggalkan kesan kepada lelaki itu, sampai-sampai dia melupakan rasa lelahnya.
Dia lalu berhenti sejenak dan berkata kepada Imam Ali, “Sungguh menakjubkan, kebetulan sejam yang lalu aku memohon teman seperjalanan untuk menemaniku agar beratnya perjalanan ini tidak terasa. Lihatlah betapa Tuhan telah mengabulkan permintaanku. Sampai kini, aku tidak pernah menemui orang sebaik dan sepintar engkau dalam berbicara.”
Imam Ali hanya tersenyum ketika mendengar kata-kata lelaki ini dan mereka kembali meneruskan perjalanan mereka. Perjalanan itu berakhir dengan dua arah. Satu jalan ke Kufah yang menjadi tempat tujuan Imam Ali as dan jalan kedua merupakan arah yang dituju lelaki non muslim itu. Imam Ali tidak mengambil jalan ke arah Kufah dan terus berjalan mengikuti teman seperjalanannya. Lelaki itu sibuk berbicara sehingga tidak menyadari hal tersebut. Beberapa saat kemudian, dia menyadarinya dan bertanya, “Sahabatku, engkau telah salah memilih jalan, sewaktu di persimpangan tadi engkau seharusnya memilih jalan ke Kufah.”
Imam Ali, “Aku tahu. Tetapi aku ingin mengiringimu sampai engkau menyelesaikan pembicaraanmu.” Lelaki itu merasa takjub mendengar ucapan Imam Ali tersebut, lalu berkata, “Akhlakmu sungguh baik sekali. Aku ingin mengetahui lebih banyak tentang dirimu. Sebutkanlah namamu dan apakah pekerjaanmu?”
Imama Ali menjawab, “Sahabatku, aku adalah Ali bin Abi Thalib.” Lelaki non muslim itu yang sudah sering mendengar nama Ali dan mengetahui dia adalah pemimpin umat Islam, amat terkejut. Kebimbangan menyelimuti dirinya. Dia berkata sendirian, “Ya Tuhanku, sejak tadi hingga kini, ternyata aku sedang bersama khalifah umat Islam dan aku tidak mengetahuinya sama sekali.
Lalu, dia berkata kepada Imam Ali a.s., ”Ketawadhu’an dan kebaikan akhlak Anda memang layak mendapat pujian. Apakah mereka yang dididik dengan ajaran Islam memiliki akhlak seperti Anda?”
Imam Ali kemudian menyampaikan ajaran Islam kepada musafir itu. Rasulullah saw bersabda, “Berlaku baiklah kepada sesama manusia sehingga mereka menyukai kalian selagi kalian hidup dan menangisi kalian ketika kalian meninggalkan dunia ini.”
[24] “Tidaklah seseorang bersimpuh di hadapan Al-Quran, melainkan ia mendapatkan tambahan dan pengurangan, Tambahan ke dalam petunjuk dan pengurangan dari kebutaan. Ketahuilah tiada seseorang yang akan merasakan kekurangan jika bersama Al-Quran dan tidak akan ada yang merasa berkecukupan dari selain Al-Quran.”
[25] “Aku berwasiat kepada kalian tentang lima perkara, yang seandainya kalian kerahkan unta-unta kalian untuk mendapatkan wasiat-wasiat itu, niscaya usaha itu pantas sekali. Yaitu: Janganlah seseorang dari kalian mengharapkan suatu kecuali kepada Tuhannya, dan jangan merasa takut atau menyesal, kecuali terhadap dosanya. Janganlah merasa malu untuk mengatakan tidak bisa, jika di tanya tentang hal-hal yang belum kalian ketahui. Dan jangan pula merasa malu untuk belajar hal-hal yang belum kalian ketahui. Kalian harus sabar, karena kesabaran terhadap keimanan laksana kepala bagi badannya, maka tidak akan ada kebaikan bagi badan yang tidak ada kepalanya. Demikian pula keimanan yang tidak disertai kesabaran.”
[26] “Penghancur punggungku di dunia ini ada dua orang, yaitu, orang yang pandai berbicara namun dirinya seorang yang fasik. Dan seorang yang bodoh, namun selalu tekun beribadah. Yang satu akan membela kefasikannya dengan lidahnya sedang yang lain akan membela kebodohannya dengan ibadahnya. Hati-hatilah dari para cerdik pandai yang fasik dan para ahli ibadah yang bodoh. Karena mereka adalah sebesar-besar fitnah bagi setiap orang yang mudah terpedaya. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “ Wahai Ali, hancurnya umatku adalah di tangan orang-orang munafik yang pandai berbicara”.”
[27] “Sesungguhnya kebenaran itu berat dan sehat, sedangkan kebathilan itu ringan dan berpenyakit.”
[28] “Sesungguhnya yang mencegah seseorang untuk mengatakan yang benar adalah karena ia telah lupa kepada akhirat.”
[29] “Wahai manusia, barangsiapa mengetahui kredibilitas saudaranya dalam hal agamanya dan ia berada pada jalan yang lurus, maka janganlah ia mendengarkan gunjingan orang-orang terhadapnya. Sebab, seorang pemanah yang melepaskan panahnya terkadang meleset dari sasarannya, demikian pula dengan pembicaraan, terkadang ia direkayasa dan kebathilannya membinasakan. Demi Allah yang Maha Mendengar dan Maha Menyaksikan, ketahuilah sesungguhnya jarak antara kebenaran dan kebathilan itu hanya empat jari saja.”
[30] “Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah orang yang lebih mencintai perbuatan yang benar walaupun itu menyebabkan kerugian dan kesusahan, daripada kebathilan walaupun itu menyebabkannya mendapatkan faedah.”
[31] Kebathilan adalah apa yang kau katakan, “Aku telah mendengar … “, sedangkan kebenaran adalah apa yang kau katakan, “Aku telah melihat … “
[32] “Sesungguhnya akan datang kepada kalian sepeninggalku suatu zaman yang di dalamnya tidak ada sesuatu yang lebih tersembunyi daripada kebenaran, dan tidak ada yang lebih tampak kecuali kebathilan, dan tidak ada yang lebih banyak daripada orang yang berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya.”
[33] Aku telah mencari kenyamanan untuk diriku, maka aku tidak mendapatkan sesuatu yang lebih nyaman daripada meninggalkan apa yang bukan urusanku.
Kerendahan seseorang diketahui dengan banyaknya pembicaraannya dalam hal yang bukan menjadi urusannya, dan pemberitaannya akan hal-hal yang tidak ditanyakan kepadanya.
Barangsiapa yang membebani diri pada hal yang bukan urusannya (kepentingannya), niscaya akan terlewat darinya apa yang menjadi urusannya.
Sejelek-jelek orang adalah yang tidak percaya kepada siapa pun karena sangkaan-buruknya, dan tidak ada seorang pun yang percaya kepadanya karena kesannya yang buruk.
Barangsiapa yang menahan diri dari mencampuri urusan orang lain, niscaya pendapatnya akan diterima oleh banyak orang.
Tinggalkanlah perkataan yang tidak engkau ketahui dan pidato yang tidak dibebankan kepadamu.
Janganlah sekali-kali buruk sangka menguasaimu, karena sesungguhnya ia tidak meninggalkan antara engkau dengan Tuhanmu suatu perdamaian.
JanganIah sekali-kali engkau menduga satu kalimat pun yang keluar dan seseorang sebagai keburukan, sementara engkau menduga di dalamnya mengandung kebaikan.
Buruk sangka melayukan hati, mencurigai orang yang terpercaya, menjadikan asing kawan yang ramah, dan merusak kecintaan saudara.
Alangkah bagusnya berbaik sangka, hanya saja di dalamnya terdapat kelemahan. Dan alangkah buruknya buruk sangka, hanya saja di dalamnya terdapat kehati-hatian.
[34] “Kalau engkau ingin membunuh keburukan orang lain, maka cabutlah keburukan itu dari hatimu dulu.”
[35] “Hendaklah engkau senantiasa rendah hati, karena sesungguhnya rendah hati itu seagung-agungnya penghambaan (ibadah).”
[36] “Dzikrullah itu makanan jiwa, memuji Allah itu minuman jiwa, dan malu pada Allah Swt itu pakaian jiwa. Tak ada yang lebih lezat ketimbang mengingat-Nya, dan tak ada yang lebih nikmat ketimbang bermesra dengan-Nya.”
[37] “Kedermawanan yang sebenarnya adalah berniat melakukan kebaikan kepada setiap orang.”
[38] “Aku tidak peduli dalam keadaan apa aku berada, dalam kemudahan atau dalam kesulitan. Sebab, kewajiban terhadap Allah ketika dalam kesulitan adalah ridha, sedangkan dalam kemudahan adalah syukur.”
[39] “Janganlah kalian memusuhi apa yang tidak kalian ketahui. Karena kebanyakan ilmu itu berada pada tempat yang tidak kamu ketahui.”
[40] “Pengetahuan yang terakhir dari seseorang adalah mengenal dirinya.”
[41] “Keperluan orang akan bantuanmu adalah anugerah Tuhan bagimu. Pergunakan sebaik-baiknya. Jangan bosan melakukannya, supaya anugerah itu tak berubah jadi bencana.”
[42] “Mempunyai seribu sahabat tidaklah banyak, namun memiliki satu musuh amatlah banyaknya.”
[43] “Obatnya ada pada dirimu, tetapi kau tak tahu. Pernyakitnya dari kamu, tapi kau tak merasa.”
[44] “Ilmu itu lebih baik dari harta. Ilmu menjagamu, sedangkan engkau menjaga harta. Harta berkurang bila dibelanjakan, sedangkan ilmu bertambah bila diberikan.”
[45] “Jika kalian mendengarkan ilmu, jadikan ilmu itu pengekang dirimu. Jangan campur adukkan ilmu dengan senda gurau. Jika kamu lakukan itu, dirimu akan kacau.”[]