Jumat, 07 April 2023

Razan Al Najjar, Seorang Perawat Palestina yang Ditembak Mati Israel

 

Siapa Razan Najjar?

Razan adalah seorang perawat yang bekerja secara sukarela untuk Palestinian Medical Relief Society (PMRS). Dia bekerja di area yang hanya beberapa ratus meter dari rumah keluarganya.

Sebelumnya, beberapa media pernah mewawancarai perempuan berusia 21 tahun ini. Salah satunya adalah mengenai kenapa dia mau ikut terjun ke medan konflik?

"Saya akan merasa sangat malu kalau saya tidak ada untuk (membantu) warga Palestina. Sudah menjadi tugas dan kewajiban saya untuk ada di sini dan membantu mereka yang terluka," kata Razan dalam wawancaranya dengan Al Jazeera pada bulan April 2018.

Dia sendiri sebelumnya pernah terluka, pingsan dua kali karena menghirup gas. Pada 13 April, dia cedera di bagian pergelangan kaki saat jatuh ketika berlari menuju pendemo yang terluka.


Detik-detik saat Razan ditembak

Suara.com - Dunia muslim khususnya, terutama lagi pendukung perjuangan Palestina, kembali berduka dengan jatuhnya korban kejahatan tentara Israel. Martir muda tersebut bernama Razan Al Najjar, seorang gadis berusia 21 tahun yang bekerja secara sukarela sebagai tim medis (perawat) di tengah protes Palestina terhadap Israel di Jalur Gaza.


Sebagaimana antara lain ditulis New York Times, Razan ditembak pada Jumat (1/6/2018) sore, sekitar satu jam menjelang matahari terbenam. Saat itu, Razan yang berpakaian putih tim medis, tengah berusaha membantu salah seorang pengunjuk rasa lainnya --untuk terakhir kalinya.


Ketika itulah tiba-tiba, menurut keterangan salah satu saksi mata, tentara Israel yang diyakini adalah penembak jitu (sniper) melepaskan dua atau tiga tembakan dari seberang pagar pembatas. Raza pun terjatuh, terkena tembakan di bagian atas tubuhnya. Hingga, tak lama kemudian setelah sempat dirawat, nyawanya tak tertolong lagi.


Kesaksian itu antara lain disampaikan Ibrahim Al Najjar (30), salah seorang kerabat Razan yang ada di tempat kejadian. Menurut Ibrahim, saat itu Razan berada kurang dari 90 meter dari pagar, sembari memasang perban untuk seorang lelaki yang terluka usai terkena gas air mata. Sang lelaki lalu dibawa ambulans, sementara rekan-rekan Razan lantas mendekatinya yang juga sedikit terpengaruh gas. Saat itulah kata Ibrahim, tiba-tiba terdengar tembakan, dan Razan pun tumbang.


Ibrahim mengaku lantas segera mengangkat tubuh Razan bersam dua orang lain ke ambulans yang membawanya ke rumah sakit lapangan terdekat. Dokter Salah Al Rantisi, manajer rumah sakit tersebut, mengatakan bahwa Razan dibawa dalam kondisi serius, hingga akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Gaza Eropa di Khan Younis, di mana dia akhirnya meninggal di ruang operasi.


Saksi mata lain dan keterangan dari Kementerian Kesehatan Gaza menyampaikan kronologis sedikit berbeda. Menurut mereka, saat itu Razan bersama rekan-rekannya dari tim medis berjalan ke arah pagar pembatas dengan tangan terangkat ke atas, dengan maksud hendak mengevakuasi beberapa pengunjuk rasa yang terluka. Saat itulah tembakan meletus, dan Razan tumbang tertembus peluru di bagian dadanya.


"Razan tidak menembak (tidak pegang senjata). Dia (justru) menyelamatkan jiwa manusia dan mengobati mereka yang terluka," tegas Ibrahim pilu.


Razan sendiri adalah korban tewas ke-119 dari warga Palestina dalam rangkaian unjuk rasa terbaru terhadap Israel tiga bulan terakhir. Namun dia adalah satu-satunya korban tewas di hari Jumat itu.\


Mirisnya, pada Jumat itu pula, sebuah resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB yang mengutuk Israel atas "penggunaan kekuatan berlebihan, tak proporsional dan diskriminatif" terhadap warga Palestina, gagal dikeluarkan karena diveto oleh pemerintah Amerika Serikat.


Sulung dari enam bersaudara, Razan merupakan warga Khuzaa, sebuah desa pertanian di perbatasan Israel, sebelah timur Khan Younis, kawasan selatan Jalur Gaza. Ayahnya yang bernama Ashraf Al Najjar (44) adalah pengangguran setelah toko onderdil motor miliknya hancur oleh serangan udara Israel pada 2014 lalu.



Beberapa waktu lalu, Razan sendiri sempat menyatakan bahwa ayahnya bangga dengan apa yang kini ia lakukan (sebagai perawat).


"Kami punya satu tujuan, (yaitu) menyelamatkan nyawa dan mengevakuasi orang. Dan juga menyampaikan sebuah pesan kepada dunia: bahwa tanpa senjata kami bisa melakukan apa saja," tuturnya sebagaimana dikutip New York Times.


Namun kini, sang ayah --bersama banyak orang yang juga berduka atas kepergian Razan-- mungkin hanya bisa bersedih. Kebersamaan terakhirnya dengan sang putri adalah pada subuh Jumat itu, ketika Razan menikmati sahur untuk berpuasa Ramadan, diikuti salat Subuh.


0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More