Rabu, 03 Mei 2023

Penyucian Kekuasaan

 Orang Islam tidak dilarang berkuasa. Yang dilarang ialah mencemari kekuasaan dengan kepentingan pribadi, kepentingan keluarga, atau kepentingan golongan. Menyucikan kekuasaan berarti mendahulukan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, sesuai dengan tuntutan Allah Swt. Marilah kita lihat seorang penguasa yang dibesarkan oleh Rasulullah Saw., yang dididik hidup dengan tuntutan wahyu dan pedoman sunah--Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ketika ia menjadi khalifah, ia membagikan harta baitul mal hanya kepada yang berhak. Pernah Aqil, saudaranya, meminta lebih dari haknya karena anak-anaknya sedang menderita. Kata Ali, "Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu".


Malam itu Aqil datang. Lalu Ali berkata, “Hanya ini saja untukmu”. Aqil segera menjulurkan tangannya untuk memegang pemberian Ali. Tiba-tiba ia menjerit, meraung seperti sapi yang dibantai. Rupanya ia memegang besi yang menyala. Dengan tenang Ali berkata, "Itu besi yang dibakar api dunia. Bagaimana kelak aku dan engkau dibelenggu dengan rantai jahanam-Nya?"

Pada peristiwa lain, ketika Aqil mendesak Ali untuk mengambil harta negara buat keperluannya, Ali memerintahkan pembantunya, "Bawa dia pergi ke toko-toko besar. Suruh ia mendobrak pintu toko dan mengambil barang-barangnya".¹

Inilah tazkiyatus sulthah-penyucian kekuasaan dari pencemaran kepentingan-kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan golongan. Dan Ali, sebagai penguasa, memilih hidup sangat sederhana daripada memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri dan keluarganya.

Pada Idulfitri, pada hari kesucian, marilah kita hitung-hitung, sejauh mana kita menyucikan diri kita. Marilah kita periksa apa yang sudah kita lakukan untuk mewujudkan latihan kesucian di bulan Ramadhan yang lalu.

Sumayyah memilih ditusuk tombak daripada mencemari lidahnya dengan kalimat kufur. Periksalah lidah kita: tidakkah kita dengan mudah mengobral makian, menyebarkan fitnah, menggunjing kejelekan orang. Tidakkah kita seenaknya saja menyakiti perasaan orang lain, mengafirkan yang tidak sepaham, dan membanggakan kefasikan kita. Periksa hati kita: tidakkah kita sering memelihara di dalamnya dengki, takabur, iri hati, prasangka, dan niat jelek? Periksa hidup kita: bukankah kita sering mendahulukan kesenangan dunia, kemewahan hidup, walaupun dengan mengotori kehormatan kita?

Fatimah memilih diri dan keluarganya lapar daripada membiarkan orang lain lapar, demi kesucian dirinya. Tetapi, kita cemarkan harta kita dengan merampas hak orang lain dengan menyalahgunakan wewenang dengan mengorbankan kepentingan orang banyak. Ali menyuruh Aqil menyentuh api yang menyala agar merasakan betapa nistanya memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More