Sekiranya Bung Karno tidak menamai Masjid di ITB sebagai Masjid Salman, nama sahabat ini tidak akan sepopuler sekarang. Salman adalah teknolog perang yang pertama. Ia memberi saran agar Rasulullah Saw membuat parit atau khandaq diseputar kota Madinah. Tujuannya agar pasukan sekutu (Al-Quran menyebutnya Ahzab) tidak bisa langsung memasuki kota. Kuda Amr bin Abdi Wudd harus melompati parit yang lebar sebelum berhadapan dengan Ali bin Abi Thalib.
Salman memperoleh pengetahuan tentang teknologi ini dari perjalanan panjangnya dalam mencari kebenaran. Karena semangatnya untuk mencari Nabi yang menurut Alkitab akan "membawa kepada segala kebenaran," Ia menjual dirinya sebagai budak. Hampir saja ia jatuh dari pohon kurma ketika Nabi yang dirindukannya diberitakan datang ke Madinah.
Pemilik kebun kurma bersedia membebaskan Salman dengan tebusan 300 batang kurma. Nabi beserta para sahabatnya bergotong royong membuka kebun kurma. Nabi yang mulia menanam satu pohon dengan tangannya sendiri. Akhirnya, setelah masuk Islam, Salman dibebaskan dari penghambaan kepada manusia agar menjadi hamba bagi Tuhan semata. Walaupun begitu, ia masih suka disebut maula Rasulullah. Ia menghabiskan sisa hidupnya untuk Nabi Saw dan untuk orang yang diwasiatkan Nabi.
Setelah Perang Khandaq, para sahabat berkumpul di masjid Nabawi. Mereka bersyukur atas kemenangan umat Islam, berkat kontribusi gagasan Salman tentang pembangunan parit. Mereka mengklaim Salman sebagai bagian dari golongannya.
"Salman dari golongan kami," kata orang Anshar.
"Salman dari golongan kami," timpal orang Muhajirin.
Kaum Muslim memandang ke arah Nabi untuk mendengar komentarnya. Berkatalah Nabi dengan penuh cinta: Salman minnâ Ahlil Bait, Salman bagian dari keluarga Nabi (Mustadrak al-Hâkim, 3:598; Ath-Thabrani, 6:261).
Lalu Nabi melanjutkan, "Jangan sebut dia Salman al-Farisi. Tapi sebut dia Salman al-Muhammadi, Salman dari keluarga Nabi."
Pada hari yang lain di Masjid Nabawi, para sahabat sudah berkumpul sejak waktu dhuha, menunggu azan zhuhur. Masuklah Salman bersama saudara-saudaranya, kaum Muslim. Mereka ingin tahu nasab Salman.
"Saya dari kabilah Tamim," kata seorang di antara mereka.
"Saya dari kabilah Quraisy," kata yang lain.
"Saya dari kabilah Aus... kabilah Khazraj... Dan kau Salman. Ibnu man Anta? Anak siapa Anda? Sebutkan nasabmu dan silsilahmu?"
Salman terdiam sebentar. Kemudian ia berkata untuk menegaskan inti ajaran Rasulullah: antirasisme dan antitribalisme.
"Aku anak Islam. Dulu aku tersesat, lalu Allah memberiku petunjuk melalui Muhammad. Dulu aku miskin, lalu Allah mengayakan aku melalui Muhammad. Dulu aku budak, lalu Allah membebaskan aku melalui Muhammad."
Setelah Rasulullah Saw wafat, pada zaman Umar bin Khattab, Salman ditempatkan sebagai gubernur di Madain. Karena ia tidak punya rumah, orang bermaksud membangun rumah dinas untuknya. "Buatlah rumah untukku di atas sepetak kecil tanah saja, sehingga kalau aku tidur maka kepalaku mengenai dinding yang satu dan kakiku mengenai dinding yang lain. Jika aku berdiri maka kakiku di atas lantai dan kepalaku menyundul atap," perintah Salman.
Pada suatu hari di pasar yang ramai, seorang pedagang dari Syam melihat Salman dan menduganya sebagai kuli pasar. Ia memanggil Salman dan berkata, "Pikul barang-barangku dan ikuti aku!"
Salman, sang gubernur, dengan patuh mengangkat barang-barang itu ke pundaknya. Sepanjang jalan, tidak henti-hentinya pedagang itu memaki-maki Salman karena jalannya yang lambat, karena nafasnya yang tersengal, dan karena tubuhnya sudah renta.
Di pertengahan jalan, banyak orang yang mengenalinya. Mereka memberitahu orang Syam itu bahwa pemikul barangnya adalah seorang gubernur. Dengan malu dan takut, ia berkata, "Letakkan barang itu, Sayyidi. Saya mohon maaf. Saya tidak mengenalmu."
Salman menolaknya. Ia antarkan barang milik pedagang itu sampai tujuannya. Ia berkata, "Dengan memikul barang itu, aku melakukan tiga hal yang utama: aku menanggalkan kepongahan, aku menolong kaum Muslim memenuhi keperluannya, dan aku menghindarkan orang Islam lain yang lebih lemah dariku dari makianmu."
0 comments:
Posting Komentar