Senin, 03 April 2023

Falsafah yang Jadi Pegangan Warga PSHT

 PSHT atau Persaudaraan Setia Hati Terate merupakan organisasi pencak silat asal Madiun yang eksis di berbagai wilayah Nusantara. Selain belajar pencak silat, para anggotanya turut dibekali dengan falsafah PSHT yang menjadi tuntunan mereka.

Mengutip skripsi Kosmologi Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) (Telaah terhadap Konsep Memayu Hayuning Bawana) karangan Munir Abdul Bashor, PSHT tidak hanya bertujuan untuk mengajarkan olah fisik, tetapi juga mendidik anggotanya agar menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Dari situlah muncul berbagai falsafah PSHT yang harus dijadikan pegangan untuk para anggotanya. Apa saja falsafah tersebut? 

Mengutip buku Setia Hati The Way of My Life oleh Bambang Sri Hartono dan Dr. Taufiqur Rohman, salah satu falsafah PSHT yang selalu ditanamkan pada diri anggotanya adalah “Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara”.

Ini merupakan falsafah Jawa yang artinya manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak.


Falsafah tersebut diwariskan oleh Kang Mas atau warga senior di PSHT kepada generasi-generasi berikutnya agar adik-adik mereka bisa saling menghargai satu sama lain dan menghormati sesama makhluk hidup.

Selain “Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara”, ada berbagai falsafah PSHT lainnya yang sarat akan makna. Berikut beberapa di antaranya yang dikutip dari laman PSHT Cabang Kendal:

“Sephiro Gedhening Sengsoro Yen Tinompo Amung Dadi Coba”, artinya sebesar apapun penderitaan apabila diterima dengan hati yang ikhlas maka hanya akan menjadi cobaan semata.

“Olo Tanpo Rupo Yen Tumandhang Amung Sedelok”, artinya setiap kesusahan, keburukan, dan masalah-masalah apabila dijalani dengan senang hati maka akan hanya terasa sebentar saja.

“Tega Larane, Ora Tego Patine”, artinya orang SH Terate itu berani untuk menyakiti seseorang namun hanya kalau dengan niat untuk memperbaiki bukan merusak.

“Sak Apik-apike Wong Yen Aweh Pitulung Kanthi Cara Dedhemitan”, artinya adalah sebaik-baik manusia adalah orang yang memberi pertolongan secara sembunyi-sembunyi.

“Suro Diro Joyo Diningrat Lebur Dening Pangastuti”, artinya segala kesempurnaan hidup (kesaktian, kepandaian, kejayaan, dan kekayaan) dapat diluluhkan dengan budi pekerti yang luhur.

“Satria Ingkang Pilih Tanding”, artinya kestria yang hanya mau melawan orang yang mampu menghadapinya, bukan orang yang lebih lemah daripadanya.

“Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake”, artinya berani tanpa harus ada kawan dan dapat menang tanpa harus merendahkan lawan.

“Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan”, artinya jangan sakit hati bila musibah menimpa dirinya dan jangan bersusah apabila kehilangan sesuatu.

“Ojo Seneng Gawe Susahe Liyan, Opo Alane Gawe Seneng Liyan” artinya jangan suka membuat orang lain bersusah dan tiada buruknya membuat bahagia orang lain.

“Ojo Waton Ngomong Ning Yen Ngomong Sing Gawe Waton”, artinya jangan hanya sekedar bicara, namun apabila bicara harus bisa dibuktikan.

“Ojo Rumongso Biso Ning Sing Biso Rumungso”, artinya janganlah merasa paling bisa namun sadar diri atas apa yang dapat dilakukan orang-orang disekitar kita.

“Ngunduh Wohing Pakarthi”, artinya siapa yang berbuat pasti akan menerima hasil perbuatannya.

“Jer Basuki Mawa Beya”, artinya sebuah kesuksesan dibutuhkan suatu pengorbanan.

“Budhi Dayane Manugso Tan Keno Ngluwihi Kodrate Sing Maha Kuwoso”, artinya sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya manusia itu, tidak akan mampu melebihi takdir Tuhan Yang Maha Esa.

“Sekti Tanpo Aji Digdoyo Tanpo Guru”, artinya sudah sakti tanpa ‘pegangan’, maksudnya tanpa jimat, aji-aji, ilmu kebatinan – dan sudah hebat tanpa berguru

“Kridhaning Ati Ora Bisa Mbedhah Kuthaning Pesthi”, artinya gejolak jiwa tidak bisa mengubah kepatian.

“Amemangun Karyenak Tyasing Sesama”, artinya membuat enak perasaan orang lain.

“Sukeng Tyas Yen Den Hita", artinya suka/bersedia menerima nasihat, kritik, teguran.

“Aja Adigang, Adigung, Adiguna", artinya jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti.

“Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo”, artinya jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.

“Sing Resik Uripe Bakal Mulya”, artinya siapa yang bersih hidupnya akan mulia.

“Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka, Sing Was-was Tiwas”, artinya jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; jangan suka berbuat curang agar tidak celaka; dan Barang siapa yang ragu-ragu akan binasa atau merugi.

“Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman”, artinya janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.

“Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman”, artinya jangan mudah terheran-heran; jangan mudah menyesal; jangan mudah terkejut-kejut; jangan mudah kolokan atau manja.

“Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli”, artinya bekerja keras dan bersemangat tanpa pamrih; cepat tanpa harus mendahului; tinggi tanpa harus melebihi.

“Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan”, artinya jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.

“Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha”, artinya berjuang tanpa perlu membawa massa; menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; kaya tanpa didasari kebendaan.

“Urip Iku Urup”, artinya hidup itu hyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi sekecil apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat.


0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More