Rabu, 05 April 2023

Aku Hamba di Antara Hamba-Hamba Rasulullah


Selamat Hari Guru. Hari ini beredar kalimat-kalimat, “Profesi hanya ada dua: guru dan yang lain-lain. Karena setiap profesi akan memerlukan guru terlebih dulu.” Ketika Jepang kalah pada Perang Dunia kedua, Kaisar Hirohito bertanya, “Berapa jumlah guru?” Guru yang ditanyakan pertama kali. 


Dan yang agamis akan mengutip kalimat ini: “Falawla murabbi maa ‘araftu rabbi.” Tanpa guru, aku takkan mengenal tuhanku. Guru, abu ruhi. Guru, ayah ruhaniku. Demikian, hari ini pesan itu akan datang silih berganti. Guru diperingati setahun sekali. Tulisan ini tanpa kecuali. Padahal hak mereka teramat besar sekali.


 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah menyampaikan, “Man ‘allamani harfan faqad sayyarani ‘abdan.” Siapa saja mengajariku satu aksara, ia telah menjadikan aku hamba (An-Naraqi, Jami’us Sa’adaat 3:112).  Atau dalam redaksi yang lain, “Ana ‘abdun man ‘allamani.” Aku hamba siapa saja yang mengajariku (Kasyful Khafa 2:265). 


Kalimat Sayyidina Ali as ini sebenarnya bersumber dari sabda Baginda Nabi Saw yang disampaikan kepadanya, “Man ta’allamta minhu harfan, shirta lahu ‘abdan.” (Wahai Ali) siapa saja yang mengajarimu satu aksara, engkau telah menjadi hambanya (Bihar al-Anwar, 74: 165). Demikian besarnya hak guru atas kita. Hak orangtua, hak mereka yang mengajari kita menulis dan membaca.

 

Pertanyaannya. Bolehkah seorang menjadi hamba seorang yang lainnya? Bukankah penghambaan ditujukan untuk Tuhan semata? Al-Qur’an mengingatkan kita: bal lillahi fa’bud fakun minas syakirin. Maka hendaknya Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur (QS. Az-Zumar [39]: 66) Apakah riwayat itu bertentangan dengan ayat al-Qur’an?

 

Kata ‘abada ya’budu sebenarnya punya banyak makna. Kendala yang terjadi pada terjemahan, terkadang hanya mengkhususkan dan memilih satu makna di atas yang lainnya. Kata ‘abd itu bisa berarti menyembah, bisa juga menghamba. 


Nah, yang menyembah, hanya untuk Tuhan saja. Itu kita sebut ibadah. Dari akar kata yang sama. Adapun menghamba, adalah berkhidmat kepada dia. Seperti seorang budak yang berbakti pada tuannya. Pada Tuhan, kedua hal itu bersama: berkhidmat sebagai bentuk ibadah pada Dia. 


Karena itulah para sufi membagi ada ‘abid dan ‘abd. Abid adalah ahli ibadah, sedangkan ‘abd adalah budak, seorang hamba, yang pasrah pada ketentuan Tuannya. Tidak semua abid adalah ‘abd, tapi tak mungkin sampai pada derajat ‘abd tanpa ibadah. Allah Swt mensifatkan hamba terpilihNya sebagai ‘abd. 


Ketika Baginda Nabi Saw dimi’rajkan, Al-Qur’an menyifatinya dengan ‘abd. Hamba. Inilah tingkat tertinggi peribadatan.

 

Nah, ‘abd dalam makna perkhidmatan tidak dilarang pada yang lainnya. Tidak dikhususkan Tuhan saja. Bahkan menjadi satu di antara jalan penghambaan pada Tuhan. Yaitu berkhidmat, menjadi ‘hamba’ pada para kekasihNya. Para guru di antaranya.

 

Dalilnya. Pertama, ayat al-Qur’an. “Dan nikahilah yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak, dari hamba-hambamu yang lelaki dan hamba-hambamu yang perempuan…” (QS. An-Nuur [24]:32) dalam ayat ini, yang berkhidmat disebut dengan ‘ibaadikum, hamba-hambamu.

 

Kedua, ketika Sayyidina Ali kw ditanya dan beliau menjadi khalifah kaum Muslimin, hampir seperempat abad pasca wafat Baginda Nabi Saw. Seorang bertanya kepadanya, “Apakah engkau seorang nabi?” Sayyidina Ali menjawab, “Ana ‘abdun min ‘abiidi Muhammad.” Aku hamba di antara hamba-hamba Rasulullah Saw. Simak pilihan kata: ‘abiid, bukan ‘ibaad. Artinya, yang paling banyak berbakti, paling utama berkhidmat. Yang teramat mengabdi 

 

Banyak sekali riwayat terkait dengan ini. Diantaranya nasihat Hazrat Lukman untuk anaknya, “Wahai anakku, jadilah engkau hamba orang-orang yang baik, kun ‘abdan lil akhyaar.” Dan yang semisalnya. Kitab-kitab hadits seperti al-Bihar, al-Kafi, Mustadrak al-Wasa`il dipenuhi oleh riwayat-riwayat untuk menghamba, untuk berkhid

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More