Oleh : Ratih Prihatina
Jum'at, 11 Maret 2022 | 63399 kali
“Gua anak umur 21, gak nyangka ternyata kuliah itu seburuk itu untuk mental health, semester 1 kemarin gua udah dihujanin materi sama tugas yang bener2 banyak, akibatnya waktu gua untuk healing sama self reward jadi kurang banget. Yang tadinya gua masih bisa nonton netflix sama chat-chat-an dengan bestie sekarang jadi susah banget. Gua kayaknya belum siap kuliah deh. Gua udah ngomong ke ortu kalau gua mau cuti dulu semester ini. Gua mau fokus healing selama 6 bulan dulu. Tapi ortu gua malah ga setuju, bahkan gua dibilang manja. Gua bingung mau gimana takutnya kalau paksain ipk ku malah tambah anjlok. Gua juga susah komunikasikan ini ke ortu karena mereka ga aware sama mentalhealth kaya gua. Gua mesti gimana....??? (dan diakhiri dengan emot menangis)”.
Paragraf di atas merupakan cuitan twitter salah satu mahasiswa semester 2 (dua) yang sempat viral beredar akhir-akhir ini di beberapa platform media sosial seperti facebook dan instagram, yang akhirnya menimbulkan pembahasan bagi khalayak mengenai istilah yang dianggap baru tentang generasi muda sekarang ini (generasi di bawah millenial) yakni strawberry generation / generasi strawberry.
Istilah strawberry generation pada mulanya muncul dari negara Taiwan, istilah ini ditujukan pada sebagian generasi baru yang lunak seperti buah strawberry. Pemilihan buah strawberry untuk penyebutan generasi baru ini juga karena buah strawberry itu tampak indah dan eksotis, tetapi begitu dipijak atau ditekan ia akan mudah sekali hancur.
Menurut Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya dan dalam salah satu kesempatan kuliah online melalui streaming youtube beliau, strawberry generation adalah generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Definisi ini dapat kita lihat melalui laman-laman sosial media. Begitu banyak gagasan- gagasan kreatif yang dilahirkan oleh anak-anak muda, sekaligus pula juga tidak kalah banyak cuitan resah penggambaran suasana hati yang dirasakan oleh mereka.
Sebagai seorang pendidik, Prof. Renald Kasali mencoba mempelajari fenomena ini agar jangan sampai menjadi seperti fenomena flexing yakni crazy rich bohong-bohongan dan lain sebagainya. Analisis mengapa dapat muncul fenomena seperti ini dijabarkan Prof. renald kasali setidaknya karena 4 (empat) hal yakni :
Self diagnosis terlalu dini tanpa melibatkan pihak yang ahli.
Banyak sekarang yang menjadi orang pintar. Anak muda sekarang amat luar biasa, banyak informasi beredar di sosial media dan sebagaianya dan mereka menyerapnya seperti spons yang menyerap air. Kita terpapar informasi-informasi yang kadang belum tentu tepat. Kemudian mencoba mencocok-cocokkan apa yang terjadi kepada dirinya dengan apa yang dikatakan dalam sosial media. Karena cocok kemudian mereka merasa bahwa mereka tertekan, stress dan bahkan depresi kemudian mengatakan : “Ah saya butuh healing”. Padahal alih-alih healing, kata yang lebih tepat digunakan bagi sebagian besar orang sebetulnya adalah “refresing”.
Padahal healing itu tidak sesederhana yang diucapkan, healing merujuk merupakan sebuah proses yang diperlukan untuk mengatasi sebuah luka psikologis di masa lalu yang biasa kita sebut sebagai luka batin. Healing merupakan proses kompleks untuk penyembuhan atau pengobatan. Ada sebuah kejadian di masa lalu yang membekas dan tentu saja ada proses yang harus dilakukan untuk kesembuhannya sehingga kita dapat menjadi lebih baik lagi di masa depan.
Tetapi karena sekarang ini media sosial memberikan informasi yang sangat kaya maka kita merasa bisa memecahkan masalah kita sendiri. Ini adalah self diagnosis yang tidak hanya terjadi pada orang muda tetapi sangat mungkin terjadi pada generasi yang lebih tua. Contoh mudah adalah ketika kita merasakan keluhan pada tubuh kemudian kita tidak mencoba memeriksanya tetapi cuma mencari-cari informasi melalui internet dengan membabi buta, ini malah akan menjadikan kita overthingking dan overdiagnosis.
Jenis overthinking yang dialami oleh kaum muda dengan usia sekitar 25 tahun disebut sebagai quarter life krisis. Quarter life krisis tidak dialami oleh para generasi tua jaman dahulu karena hidupnya memang pada umumnya sedang berjuang dan susah. Tetapi anak muda jaman sekarang mudah cemas ketika melihat temannya pada usia 25 tahun sudah menikah, punya anak, punya karir yang terlihat baik sudah punya mobil dan lain-lain. Kemudian sosial media sekarang ini menjadikan pencapaian-pencapaian itu mudah sekali dipublikasikan dan menjadikan kecemasan berlebih pada sebagian kaum muda lainnya yang belum dapat mencapainya.
Overthingking tersebut membuat anak muda sekali lagi dengan mudah mengatakan bahwa mereka butuh healing karena kepenatan-kepenatan akibat banjirnya informasi pada media sosial, yang tidak dapat mereka saring dengan baik.
Cara orang tua mendidik terkait kondisi keluarga dimana anak dibesarkan dalam situasi yang lebih sejahtera dibandingkan generasi sebelumnya.
Tentu saja banyak yang kehidupannya masih susah, tetapi tidak dapat dipungkiri kehidupan sekarang pada umumnya lebih sejahtera daripada beberapa dekade yang lalu. Dibesarkan dalam keluarga yang sejahtera mesti disyukuri tetapi berakibat juga pada beberapa hal. Pada keluarga yang sejahtera orangtua mempunyai kecenderungan memberikan apa yang diminta oleh anak-anaknya. Kemudian orangtua biasanya memberikan kompensasi waktu yang lebih sedikit dengan uang atau benda-benda material lainnya. Padahal waktu seharusnya tidak dapat dikompensasi, dan orangtua harus tetap menyempatkan perhatian untuk anak-anaknya. Yang berikutnya adalah orangtua sudah tidak terbiasa menghukum anak atau kalau dalam istilah lain memberikan konsekuensi atas kesalahan-kesalahan anaknya.
Kekeliruan orangtua berikutnya adalah setting unrealistic expectation. Orangtua sering menyebut anaknya princess, prince, anak paling hebat dan lain sebagainya. Padahal dalam kenyataannya nanti dalam kehidupan, anak-anak ini akan menghadapi situasi lebih besar dan lebih sulit daripada lingkungan amannya di rumah dimana akan ada orang-orang yang lebih hebat dan pandai dari diri mereka. Akibatnya anak-anak ini kemudian akan lebih mudah kecewa dan lebih mudah tersinggung karena perbedaan kondisi di dalam dan di luar rumah.
Narasi-narasi orangtua yang kurang berpengetahuan.
Pada generasi jaman sebelumnya, relatif tidak ada orangtua yang mengatakan anaknya itu moody (relatif mudah berubah-ubah mood). Akhir-akhir ini jumlah orangtua yang mengatakan anaknya moody makin meningkat. Ada akibat penyebutan moody dari orangtua untuk anaknya yakni setelah anak-anak itu besar nanti mereka akan mudah menyebut dirinya sendiri gampang berubah-ubah mood (percaya pada label tersebut).
Banyak generasi masa kini yang lebih mudah untuk lari dari kesulitan.
Padahal kemenangan dari seseorang itu adalah jika ia bisa memanage semua kesulitan-kesulitan atau obstacle tersebut. Contoh cuitan twitter mahasiswa semester 2 tersebut bisa diartikan bahwa yang bersangkutan kurang dapat melewati kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dalam kehidupan perkualiahan.
Kemudian Prof. Renald Kasali memberikan beberapa alternatif solusi atas fenomena tersebut di atas yakni :
- Anak2 muda perlu selalu memperbaharui literasinya. Di jaman informasi sangat cepat beredar saat ini, kita amat perlu memvalidasi kebenaran dari setiap informasi dengan berbagai cara, misalnya membaca-baca buku yang sesuai.
- Hati-hati dalam melakukan self diagnosis, hadapilah sebuah situasi dengan sekuat tenaga karena ujian merupakan hal yang biasa terjadi. Hati-hati terhadap perangkap sosial media. Hati-hati karena sosial media juga bisa membuat orang menjadi caper dan menceritakan masalah yang dihadapinya, kadang dengan melebih-lebihkan sesuatu.
- Peranan orangtua : orangtua harus berperan agar anaknya menjadi generasi yang lebih baik dari dirinya. Jangan terlalu memanjakan anak dengan berlebihan. Berikan konsekuensi jika anak melakukan kesalahan. Mari kita memberi pemahaman akan banyak hal kepada anak-anak, berdampingan dengan teori pengetahuan. Keberhasilan anak-anak ke depan bukan sekedar dari pengetahuan, tetapi generasi berikutnya perlu menjadi orang yang eksploratif.
- Peranan pendidik : sebagai pendidik harus dapat mengembangkan situasi yang menyenangkan dalam pelajaran. Keberhasilan pada kehidupan tidak sekedar berdasar dari nilai yang bisa dicapai di kelas, mereka yang juara di kelas belum tentu akan menjadi juara dalam kehidupan.
Peranan generasi muda dalam menjawab tantangan zaman.
Salah satu perbedaan karakteristik yang signifikan pada generasi Z (generasi di bawah millenial) dan beberapa generasi sebelumnyaadalah pada penguasaan teknologi. Setiap generasi punya cara tersendiri untuk berekspresi baik dalam hal berkarya dan memilih karir hidup kedepannya. Generasi hari ini tumbuh dengan kemudahan instan yang ditawarkan oleh teknologi. Hal itu juga menjadikan generasi hari ini punyai cara berbeda dalam memilih dan menunjukkan bakatnya untuk melahirkan hal-hal bermanfaat untuk sekitarnya. Beberapa tampilan sosial media dapat kita hidupkan kembali dengan konten yang bermanfaat.
Generasi hari ini dipandang sebagai generasi rebahan, namun dengan kemajuan teknologi mereka dapat berkontribusi dan bahkan memantik perubahan. Teman-teman muda yang hobinya bermain Tiktok dapat menyalurkan bakatnya dalam hal marketing produk. Gagasan kreatif anak muda hari ini dapat bisa menggeser promotional trends yang sebelumnya menggunakan poster dan media cetak lainnya. Teman teman yang passion-nya berorganisasi dapat bisa membuat kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, terlebih dalam masa pandemi saat ini.
Menumbuhkan mental strawberry menjadi mental tangguh.
Dalam salah satu jurnal yang mendeskripsikan tentang buah strawberry, dijelaskan bahwa buah satu ini adalah buah semu yang berarti bukan buah yang sebenarnya. Begitu juga pada generasi hari ini, mental strawberry adalah mental semu yang bukan sebenarnya dimiliki oleh generasi kita (generasi Z/generasi muda). Generasi yang tangguh merupakan generasi yang berjalan pada poros optimisme masa depan yang lebih baik.
Kita percaya bahwa saat ini prestasi akademik tidak sepenuhnya menjamin masa depan. Disiplin ilmu yang kita pelajari melalui ruang kelas belum tentu dibutuhkan lagi dimasa depan, termasuk apa yang kita pahami hari ini belum tentu dapat bisa relevan dengan permasalahan dimasa depan.
Anies Baswedan dalam satu sambutannya pernah mengatakan, anak muda hari ini tidak perlu lagi diberi pertanyaan akan menjadi apa dimasa depan, tetapi anak muda hari harusnya diberi pertanyaan akan membuat apa dimasa depan. Anak muda hari ini sebenarnya sudah memiliki segalanya yaitu kreatifitas, inovasi dan sikap adaptif. Sikap adaptif, mampu beradaptasi dalam segala bentuk perubahan. Dimana kemajuan zaman tidak dapat kita bendung. Dengan sikap adaptif kita akan mencoba belajar kembali hal – hal baru diluar apa yang sebelumnya kita sudah pahami.
Inovatif dan kreatif, mampu memanfaatkan keterbatasan menjadi peluang yang menciptakan kebermanfaatan. Anak muda tidak perlu diragukan lagi akan hal ini. Kemajuan teknologi dan informasi membuat anak muda lebih punya banyak referensi untuk berkarya. Beragam inovasi yang dilahirkan dengan memanfaatkan media sosial sudah lebih awal di banjiri oleh tangan-tangan pemuda. Namun memang hal ini perlu di optimalkan kembali dengan kemampuan literasi digital yang baik, agar berbagai informasi yang dibuat dapat lebih bisa menjaring permasalahan dan mampu memberikan kebermanfaatan.
Kolaborasi generasi Z (generasi muda) dengan generasi yang lebih tua di lingkungan kerja.
Kita paham bahwa tantangan kedepan akan makin kompleks dan juga berat, namun rasa optimisme akan mampu membawa kita untuk terus berjalan kedepan. Insyaallah anak muda pasti bisa.
Salah satu pemicu terbesar masalah generation gap adalah perbedaan cara komunikasi antara pekerja muda dengan pekerja dari generasi terdahulu. Gaya komunikasi gen X dan baby boomer cenderung lebih kaku dan formal. Sebaliknya, pekerja millennial dan Gen Z terbiasa dengan cara komunikasi yang casual, informal, dan santai. Di sini kita harus mulai bisa mengatasi generation gap yang akan terjadi.
Bagi pekerja muda, tidak ada salahnya jika lebih aktif pula membuka komunikasi yang baik dengan atasan maupun rekan sekerja. Walau atasan Anda kemungkinan besar adalah generasi lebih senior dengan karakter berbeda, bukan berarti mereka tidak bisa diajak bicara dengan gaya kekinian. Ini adalah salah satu cara mengatasi generation gap sehingga bisa tercipta kerjasama yang baik antar generasi di tempat kerja.
Generasi lebih tua yang terkenal lebih tangguh secara mental dapat memberikan konseling dan pendampingan kepada generasi muda, lebih jauh lagi memberi teladan/contoh yang nyata mengenai kekuatan menghadapi tekanan. Sebaliknya, generasi muda yang lebih luwes dalam masalah perkembangan jaman terutama teknologi dan ide kreatif dapat memberikan sumbangsih kemampuannya untuk kemajuan tujuan bersama sebuah instansi.
Penyusun : Ratih Prihatina / Pelaksana Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Pekalongan
Sumber :
(1) Kasali, Renald. 2018. Strawberry Generation, Mengubah Generasi Rapuh menjadi Generasi Tangguh.
(2) https://lpmpendapa.com/opini/strawberry-generation-generasi-pembawa-perubahan.
(3) https://avrist.com/lifeguide/2020/01/30/6-cara-mengatasi-generation-gap-di-tempat-kerja.
0 comments:
Posting Komentar