https://teguhtimur.com/
Enam tahun lalu dunia sempat dibikin heboh oleh John Perkins. Di dalam bukunya, Confession of the Economic Hit Man, Perkins mengaku bahwa dirinya adalah salah seorang mesin perusak ekonomi yang disusupkan pemerintah Amerika Serikat ke sejumlah negara, khususnya negara berkembang termasuk Indonesia. Sedemikian mengguncangnya pengakuan Perkins sampai-sampai buku itu sempat bertengger di daftar bestseller New York Times tujuh minggu berturut-turut.
Perkins dan sepak terjangnya tidak hanya ada di dalam film. Dia adalah nyata dan fakta. Di dalam bukunya itu, Perkins mengaku bahwa tugas pertamanya adalah merusak pondasi ekonomi Indonesia. Ia dan sepuluh orang temannya dikirimkan ke Indonesia untuk merancang cetak biru pembangunan pembangkit listrik buat pulau Jawa.
“Saya harus menghasilkan model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa,” ujar Perkins sambil menambahkan bahwa model ekonometrik yang mereka rancang merupakan hasil dari manipulasi data statistik.
Selain Indonesia, Perkins juga pernah beroperasi di sejumlah negara Amerika Latin, seperti Ekuador dan Panama.
Secara umum, Perkins dan teman-temannya membangun berbagai alasan pembenar sehingga negara yang mereka kunjungi mau berutang dalam jumlah yang sangat besar. Utang ini nantinya akan disalurkan kembali ke MAIN, perusahaan konsultan dimana John Perkins bekerja, dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root melalui penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi.
Agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh pihak kreditor, langkah selanjutnya yang mereka lakukan adalah menghancurkan secara total pondasi ekonomi. Setelah bangkrut, negara pengutang seperti Indonesia akan menjadi “target yang empuk kalau kami membutuhkan favors, termasuk basis-basis militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya,” tulisnya di halaman 15.
Negara pengutang itu boleh bangkrut. Tetapi keluarga-penguasa yang dipelihara oleh mesin perusak ekonomi ini sudah barang tentu mendapatkan bagian yang cukup besar. Bahkan bagi mereka, inilah instrumen yang tidak boleh diabaikan untuk membeli loyalitas keluarga-penguasa dan para pengikut di lingkaran utama.
Dengan demikian, dapat dikatakan, semakin besar jumlah utang yang ditelan oleh negara target, semakin besar keuntungan yang disedot oleh mesin perusak ekonomi ini.
“Faktor yang paling menentukan adalah Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB,” tulis Perkins di halaman 15.
Di halaman selanjutnya, ia bercerita tentang karakteristik PDB yang menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa publik dengan membebani hutang yang sangat berat buat rakyatnya.
Walau yang terjadi adalah fenomena dimana yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin, namun otoritas statistik nasional akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi.
Ekonom senior Kwik Kian Gie termasuk yang kerap mengutip sepak terjang Perkins ini. Bagian-bagian di atas adalah bagian-bagian yang paling sering disampaikan Kwik Kian Gie dalam berbagai kesempatan. Bagian-bagian itu memperlihatkan hubungan yang kuat antara mesin perusak ekonomi seperti Perkins dengan negara pengutang seperti Indonesia, serta akibat yang ditanggungkan oleh masyarakat yang tidak tahu menahu tentang model pembangunan yang didisain oleh mesin perusak ekonomi.
Namun, ada pengakuan Perkins yang menurut pengamatan saya hampir tidak pernah disitir Kwik Kian Gie. Bagian ini adalah mengenai konsekuensi yang akan diterima pemimpin-pemimpin negara pengutang yang at the end memilih “bertaubat”.
Ketika diminta keluarga Presiden Barack Obama untuk menuliskan kata pengantar di buku karya Ann Dunham-Soetoro, yang diangkat dari disertasinya ke dalam bahasa Indonesia tahun 2008 lalu, saya menyitir pengakuan Perkins mengenai konsekuensi bagi pemimpin yang bertaubat tadi.
Kita sudah mengetahui bahwa tugas utama Perkins adalah meyakinkan otoritas politik dan keuangan negara berkembang untuk menerima utang yang kerap kali disamarkan dengan istilah bantuan dalam jumlah yang begitu besar. Utang ini diperoleh dari lembaga-lembaga keuangan internasional rekaan Amerika Serikat seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF).
Setiap kali menulis nama dua lembaga keuangan ini, saya teringat pada sosok Sri Mulyani Indrawati yang sebelum menjadi Menteri Keuangan pada periode 2004-2009 adalah Direktur Eksekutif IMF untuk Asia-Pasifik, dan meninggalkan gelanggang tahun lalu untuk bertugas sebagai salah seorang Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Dari pengakuan Perkins kita juga telah mengetahui bahwa setelah jumlah utang berbulu bantuan berikut bunganya semakin membesar, dimana sebagian darinya lenyap ditelan praktik korupsi di kalangan keluarga-penguasa dan kaum di lingkaran utama, dan tak dapat dibayar kembali, otoritas politik negara berkembang itu pun dipaksa tunduk, menyerah dan menerima begitu saja semua keinginan Amerika yang disusupkan lewat produk hukum yang dihasilkan lembaga legislatif dan/atau eksekutif serta diamini oleh lembaga yudisial.
Pertanyaannya berikutnya adalah: bagaimana bila otoritas politik di negara berkembang yang sudah terperangkap ini bertaubat?
Mereka akan dibunuh. Itulah jawaban Perkins.
Ia mencontohkan nasib Presiden Ekuador Jaime Roldos Aguilera yang berkuasa antara 1979 hingga 1981 dan Presiden Panama Omar Torrijos Herrera yang berkuasa dari 1968 hingga 1981. Keduanya terperangkap dalam jebakan mesin perusak ekonomi. Namun belakangan, mereka menyadari kekeliruan itu serta berusaha mengkoreksi diri dan kebijakan nasional negara mereka.
Tetapi nasi telah menjadi bubur. Tidak ada jalan keluar dari jebakan mesin perusak utang, kecuali kematian.
Kedua presiden itu tewas dengan modus yang hampir sama: kecelakaan pesawat yang begitu mengerikan. Roldos tewas di bulan Mei 1981. Adapun Torrijos tewas tak lama kemudian, Agustus 1981.
Kecelakan itu, kata Perkins lagi, direkayasa oleh jagal CIA.
Nah, untuk Roldos dan Torrijos lah Confession of the Economic Hit Man didedikasikan Perkins. Kedua mendiang presiden itu pernah menjadi klien Perkins.
0 comments:
Posting Komentar