Ming Ming Lukiarti
(Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng di Rembang)
mingminglukiarti@gmail.com
Sudah sebulan perempuan-perempuan perkasa itu menduduki jalan masuk area lokasi Pabrik Semen Indonesia yang sedang dibangun sejak peristiwa 16 Juni 2014 kemarin. Kejadian yang tak mungkin dilupakan oleh mereka, ketika suatu subuh mereka berduyun-duyun berangkat dari desa menuju lokasi tapak pabrik dengan naik truk. Dengan mulut dilakban, mereka berjalan berduyun-duyun menuju tapak pabrik. Mereka melakukan aksi pemblokiran jalan untuk menolak acara peletakan batu pertama yang dilaksanakan oleh PT Semen Indonesia, Tbk. Ratusan aparat TNI dan Polri berjaga-jaga di sepanjang jalan masuk lokasi tapak pabrik. Ibu-ibu terus merangsek, merebahkan tubuhnya ditengah jalan, menghalang-halangi jalan menuju tapak pabrik. Ibu-Ibu diangkat aparat kemudian disingkirkan di tepian jalan. Mereka bersikukuh menduduki tengah jalan. Puluhan ibu-ibu itu tanpa lelah dan takut kembali merebahkan dirinya di tengah jalan. Aparat mulai bertindak represif, ibu-ibu dilemparkan ke semak-semak di tepian jalan. Dua ibu-ibu jatuh pingsan dan terluka karena duri semak, ada yang bajunya robek karena ditarik aparat. Ditengah desakan aparat yang demikian keras, ada beberapa ibu-ibu yang memberanikan diri melepas baju, setengah telanjang. Iya, mereka setengah telanjang menantang aparat. Tindakan itu diambil ditengah desakan yang demikian keras, disaat mereka tak lagi mampu berkata dan melawan dengan tenaga.
Jerit dan tangis terus mengiris, ada beberapa warga yang ditangkap. Mereka ditangkap dengan tuduhan wartawan palsu, karena mereka membawa kamera dan mendokumentasikan aksi tersebut. Salah satu yang ditangkap adalah seorang ibu-ibu yang dituduh sebagai provokator. Tindakan kekerasan tidak berhenti sampai disitu, sampai pada malam hari ketika ibu-ibu memutuskan untuk bermalam dan membuat tenda di lokasi tersebut, aparat tidak mengizinkan dan mengobrak-abrik tenda yang akan didirikan. Tangis, jerit dan sholawat pecah ditengah kegelapan hutan Gunung Bokong. Ketika ada warga yang membawakan makanan dan keperluan penerangan juga tidak boleh masuk, pengawalan aparat begitu ketat, ketakutan semakin menyelimuti perempuan-perempuan itu, mereka terus menangis dan bersholawat berserah diri kepada Yang Kuasa. Sampai kemudian dibolehkan membuat tenda serta penerangan di lokasi tersebut.
Perjuangan ibu-ibu bukan tanpa alasan, bukan “pokoe”, namun mereka punya landasan yang kuat yaitu menyelamatkan lingkungannya dari ancaman tambang semen. Mereka yang mayoritas sebagai petani merasa terancam akan rencana keberadaan tambang semen yang lokasinya berada di desanya yaitu desa Tegaldowo dan Timbrangan Kecamatan Gunem.
Tanggapan Pemerintah
Ibu-ibu menuntut agar alat berat segera dikeluarkan dan aktivitas pembangunan pabrik semen dihentikan. Perwakilan warga mendatangi kantor Gubernur untuk menyampaikan surat keberatan Izin Lingkungan yang telah dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah berikut dengan dasar-dasar pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pihak pabrik semen. Namun Gubernur sama sekali belum menanggapi secara resmi surat keberatan tersebut. Sampai ketika Gubernur datang berkunjung ke tenda ibu-ibu, Gubernur bertanya kepada mereka “Sudahkah membaca Amdal?” Spontan Sukinah (38) warga Tegaldowo langsung menjawab dalam bahasa Jawa “Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami”. Sukinah menjelaskan kepada Gubernur mengenai keberadaan perusahaan tambang kecil yang sudah beroperasi di dekat pemukiman desanya, dengan keberadaan perusahaan tersebut, pertanian warga sudah terganggu. Namun Gubernur malah bertanya mengapa warga tidak protes terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan tambang tersebut. Pertanyaan serupa yang selalu disampaikan orang-orang yang belum tahu bagaimana sejatinya arah perjuangan ibu-ibu. Dengan lantang Yani menjawab, “kami menolak semua perusahaan tambang yang sudah merusak tanah kami, sumber mata air kami dan pertanian kami. Tambang semen adalah ancaman besar karena itu kami mengawali gerakan dengan menolak rencana penambangan tersebut, kami tidak mau menderita akibat tambang”.
Gubernur menawarkan pertemuan “rembukan” antara warga dan pihak pabrik semen didampingi pakar masing-masing, warga dijanjikan waktu seminggu untuk mencari pakar yang sanggup mendampingi. Setelah perjalanan mencari pakar yang bersedia mendampingi, warga menyanggupi tantangan Gubernur, kemudian mengirim surat secara langsung kepada Gubernur mengenai kesanggupan warga untuk dipertemukan dengan pihak pabrik semen dengan didampingi pakar masing-masing. Namun sampai batas waktu yang telah ditentukan warga sama sekali belum mendapat surat balasan dari Gubernur.
Larangan Badan Geologi
Pada tanggal 1 Juli 2014, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Repubrik Indonesia mengirim surat bernomor 3131/05/BGL/2014 kepada Gubernur Jawa Tengah mengenai tanggapan rencana penambangan batu gamping di wilayah Kabupaten Rembang. Dalam surat tersebut Kepala Badan Gelologi menyampaikan bahwa menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No 26 tahun 2011 tentang Cekungan Air Tanah Indonesia, menyatakan bahwa batu gamping tersebut yang akan ditambang olek perusahaan semen merupakan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. Akuifer CAT Watuputih terbentuk pada batu gamping formasi paciran, termasuk dalam kategori akuifer dalam aliran celahan, rekahan dan saluran dan bahwa CAT Watuputih sebagian besar wilayahnya merupakan daerah imbuhan air tanah. Berdasarkan pasal 40 ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008, tentang Air Tanah, mengamanatkan bahwa untuk menjaga daya dukung dan fungsi daerah imbuhan air tanah dilakukan dengan cara mempertahankan imbuhan air tanah dan melarang kegiatan pengeboran, penggalian atau kegiatan lain dalam radius 200 meter dari lokasi kemunculan mata air. Berdasarkan pasal 40 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008, tentang Air Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008, tentang Air Tanah, untuk menjaga daya dukung akuifer dilakukan dengan mengendalikan kegiatan yang dapat mengganggu sistem akuifer. Menurut penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan kegiatan yang dapat mengganggu sistem akuifer adalah antara lain pembuatan terowongan dan penambangan batuan. Berdasarkan alasan tersebut, Badan Geologi menyatakan untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih maka agar tidak ada kegiatan penambangan batu gamping pada area tersebut.
Surat dari Kepala Badan Geologi tersebut merupakan kabar gembira bagi warga namun tidak bagi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten Rembang. Pada tanggal 7 Juli 2014, Gubernur Jawa Tengah mengadakan pertemuan antara Badan Geologi bersama Pemprov Jawa Tengah dan Pemkab Rembang, Pihak Semen Indonesia dengan pakar dan pakar dari warga. Dalam kesempatan itu warga turut diundang untuk menyaksikan pertemuan, namun sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara dalam forum. Dalam pertemuan tersebut Pemprov Jawa Tengah dan Pemkab Rembang menyatakan keberatannya mengenai surat dari kepala Badan Geologi. Pertemuan tersebut belum membuahkan hasil dan masih buntu, Gubernur memutuskan akan membawa permasalahan ini ke Menteri dan Presiden.
Pernyataan dalam surat tersebut mendukung fakta lapangan yang ditemukan oleh SCA (Semarang Caver Association) dan JM-PPK Rembang bersama warga mengenai penemuan sejumlah mata air dan gua di sekitar lokasi rencana Izin Usaha Penambangan (IUP) Pabrik Semen Indonesia. Penemuan tersebut jauh berbeda dengan yang tertera dalam Dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) PT Semen Indonesia Tbk. Dalam dokumen AMDAL disebutkan hanya ada 50 mata air, namun fakta dilapangan ditemukan 109 mata air. Jumlah sumur hanya disebutkan 58 namun fakta dilapangan lebih dari 900 sumur, di dalam AMDAL tidak disebutkan jumlah gua yang berada disekitar IUP, namun faktanya ada 49 gua yang empat diantaranya ada sungai bawah tanah dan ditemukan pula fosil-fosil yang menempel pada dinding gua.
Selama ini Gubernur selalu menyatakan tidak pernah ada yang memberikan penjelasan mengenai pelanggaran yang dilakukan PT Semen Indonesia serta alasan mengapa warga menolak, padahal dalam kesempatan bertemu dengan Gubernur, warga sudah mengirimkan surat keberatan Izin Lingkungan yang didalamnya sudah dituliskan mengenai dugaan pelanggaran serta menyampaikan secara langsung hasil karya ilmiah dari SSC (Student Speleological Club) Yogyakarta mengenai pemetaan dan potensi gua di watuputih dan hasil penelitian resmi oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa tengah pada tahun 1998 mengenai Penelitian Ar Bawah Tanah Watuputih.
Menurut hasil penelitian oleh Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber daya Mineral pada tahun 1998, perbukitan Gunung Watuputih merupakan bentang alam karst yang terbentuk pada zaman Pliosen dengan fenomena khas berupa lapies, gua kering dan berair, lembah kering, dan bentuk depresi yang teramati dari foto udara. Sebagian gua pada batu gamping karst merupakan gua kering yang berbentuk vertikal, serta masih bersifat alami dan tidak dimanfaatkan untuk keperluan tertentu. Secara hidrogeologis, pada tempat-tempat tertentu akan terbentuk saluran bawah permukaan yang mengalirkan air tanah ke daerah luah sehingga memungkinkan terdapatnya mata air dengan debit relatif besar.
Tetap Bertahan
Hampir sebulan Ibu-ibu bertahan ditenda keprihatinan. Memasuki bulan puasa mereka masih bertahan tanpa lupa menjalankan syariat agama. Di bawah tenda seadanya, dengan terik matahari yang menyengat dan dingin yang menusuk serta guyuran hujan deras tidak menyurutkan langkah mereka. Tudingan miring media yang tidak netral maupun sekelompok orang yang pro dengan pendirian pabrik semen tidak membuat mereka gentar. Sukinah, salah satu perempuan perkasa itu mengaku sudah diizinkan suaminya untuk memperjuangkan ini. Suaminya tirakat di pondok pesantren demi mendoakan istrinya yang sedang berjuang mempertahankan tanah mereka. Demikian juga dengan ibu-ibu yang lain, mereka sudah berbagi tugas dengan suaminya mengenai urusan rumah tangga. Istri berjuang di tenda, suami mengurus sawah, ladang dan rumah. Seringkali bapak-bapak ke tenda membawa anak mereka untuk menjenguk ibu-ibu yang bertahan. Malam hari mereka juga ada yang bertugas menjaga ibu-ibu yang bertenda di tengah hutan itu.
Bulan yang suci bagi umat muslim ini semakin membuat ibu-ibu khusyuk dalam beribadah untuk memohon kekuatan, kesabaran dan keikhlasan kepada Allah SWT dalam berjuang. Kehidupan ditenda yang tidak seperti biasanya harus mereka jalani. Beribadah, tidur, memasak, mandi ditempat seadanya. Segala cobaan selalu menerpa mereka. Fitnah, cemoohan dan cacian, namun mereka selalu belajar ikhlas dan terus fokus kepada tujuan, yaitu menolak penambangan dan pendirian pabrik semen demi menyelamatkan ibu bumi dan masa depan anak cucu kelak. Ditengah terpaan isu dan berita yang selalu menyudutkan, ternyata masih banyak yang peduli dengan pergerakan ini. Ada beberapa kota di Indonesia mengadakan aksi solidaritas untuk warga Rembang seperti di Semarang, Salatiga, Solo, Yogyakarta, Tertane, Makassar, Bandung, Jakarta, Surabaya, Tuban, Pati, Blora, Palembang dan masih banyak lagi. Gema suara semakin membesar dan membuat ibu-ibu semakin bersemangat.
Pemerintah selalu berpihak pada pemodal dan sama sekali tidak memedulikan keberadaan ibu-ibu di tenda keprihatinan. Belum ada pembahasan mengenai tuntutan ibu-ibu. Seharusnya pemerintah mengeluarkan moratorium untuk pabrik semen supaya menghentikan kegiatan pembangunan pabrik semen yang masih menyisakan banyak persoalan. Kebohongan-kebohongan yang dilakukan selama proses pembebasan tanah harus diusut tuntas. Warga mengakui mau menjual tanahnya dikarenakan pada awalnya makelar tanah menawarkan akan membeli tanah mereka untuk program penghijauan penanaman jarak, mahoni dan jati yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada petani lagi. Selama proses pembujukan dalam pembelian, mereka merasa terganggu dengan desakan makelar yang terus saja mendatangi mereka, sampai akhirnya mereka melepaskan tanahnya. Modus semacam ini membuat kita teringat pada masa penjajahan, ketika VOC merampas lahan warga untuk kepentingannya sendiri. Menguasai sumber daya alam demi kepentingan kelompok bukan kepentingan rakyat. Sampai saat ini masih ada tanah yang belum terjual, namun mereka yang belum menjual tanahnya selalu diancam akan dikeruk tambang jika tidak menjualnya. Intimidasi selalu dilakukan, yang memprihatinkan ada oknum perangkat desa dan aparat yang terlibat.
Keterancaman kerusakan ekologi jelas meresahkan masyarakat yang mayoritas sebagai petani. Penambangan kawasan karst akan merusak sumber mata air. Sumber mata air di Gunung Watuputih juga dimanfaatkan oleh PDAM (Perusahaan Air Minum Daerah) Rembang untuk melayani puluhan ribu masyarakat Rembang dan Lasem. Kebutuhan lahan yang sangat luas untuk perusahaan-perusahaan semen akan berdampak pada hilangnya lahan pertanian, sehingga petani dan buruh tani akan kehilangan lapangan pekerjaan. Selain itu, hal ini juga akan menurunkan produktivitas sektor pertanian pada wilayah sekitar, karena dampak buruk yang akan timbul, misalnya, matinya sumber mata air, polusi debu, dan terganggunya keseimbangan ekosistem alamiah. Pada ujungnya, semua hal ini akan melemahkan ketahanan pangan daerah dan nasional.
Perjuangan perempuan melawan tambang tidak hanya terjadi di Rembang, banyak perempuan di belahan tanah air ini yang berjuang melawan tambang seperti Yosepha Alomang, dia perempuan dari tanah Papua yang berjuang melawan Freeport, Mama Aleta dari tanah Molo NTT berjuang mempertahankan tanahnya dari ancaman tambang, ibu-ibu petani kendeng di Pati yang berhasil mengusir Semen Gresik dan masih banyak perempuan-perempuan yang berjuang untuk menjaga kelestarian ibu bumi. Perempuan adalah tulang punggung kehidupan, pemilik rahim yang akan melahirkan anak-anak bangsa, semua lahir dari rahim perempuan. Tidak ada yang perlu ditakutkan dalam setiap perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan. Api itu masih menyala di Rembang: Kejujuran dan Kebenaran. Selamatkan Bumi Rembang.
0 comments:
Posting Komentar