Kamis, 20 April 2023

Pengakuan John Perkins : Seorang Ekonom Perusak (Confessions of an Economic Hit Man)

https://eddiwahyudi.com/ 

Ini adalah tulisan lama setelah saya diminta oleh Prof. Gumbira Said untuk  membaca sebuah buku yang berjudul “Confessions of an Economic Hit Man” karangan John Perkins dan membuat resensinya. Rasanya sampai sekarang buku ini masih relevan untuk dibaca.


Buku tersebut mengisahkan perjalanan hidup pengarangnya sebagai seorang ekonom yang merupakan bagian dari konspirasi kepentingan perusahaan multinasional didukung oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk menguasai dan melemahkan posisi ekonomi negara berkembang. Salah satu sisi kisah di dalam buku itu banyak mengungkapkan situasi ekonomi dan politik di Indonesia, Iran, Arab Saudi, Panama, Columbia dan Equador. Bahkan dalam tugas pertamanya John Perkins sebagai EHM adalah membuat proyeksi kebutuhan listrik di Pulau Jawa yang digelembungkan dua kali lipat lebih. Konsekuensinya, investasi yang harus dilakukan oleh PLN membengkak sedangkan pembiayaannya melalui pinjaman luar negeri.


Menurut dia, hal itu dilakukan untuk membuat negara seperti Indonesia terjebak dalam perangkap utang, sehingga kebijakan ekonominya mudah dikendalikan. Dia juga banyak mengungkapkan bagaimana kepentingan perusahaan multinasional ditancapkan melalui deregulasi, liberalisasi, penggelembungan proyek, korupsi, seks dan tekanan politik. Dogma korporatokrasi dan global imperium telah menghasilkan penjajahan ekonomi melalui penguasaan sumberdaya energi, lahan dan modal. Kalau cara-cara seperti itu tidak berhasil, maka cara-cara militer diterapkan.


Globalisasi telah mendorong perusahaan multi nasional untuk mengembangkan sayapnya ke berbagai negara.Corporatocracy (koalisi bisnis dan politik antara pemerintah, perbankan, dan korporasi) yang dibangun negara maju menjadi sebuah alat yang cukup ampuh untuk menekan negara lemah melalui kekuatan ekonominya. Penggunaan pendekatan yang berdalih kemanusiaan menjadi isu utama untuk melumat kekuatan ekonomi sebuah negara. Pelajaran berharga telah terjadi di Indonesia melalui masukknya kekuatan global kedalam sendi-sendi perekonomian nasional.


Masuknya kekuatan modal dalam jumlah yang besar berawal dari resesi ekonomi global tahun 1998 yang sepertinya sudah sangat direncanakan. Indonesia yang sebelumnya dianggap sebagai macan Asia dengan semboyan “swasembada beras”, pertumbuhan ekonomi tinggi, menjadi satu-satunya negara yang masih berkutat dalam kemunduran ekonomi. Membaca buku EHM John Perkins dimana pemberian pinjaman secara besar-besaran dilumat oleh kejatuhan mata uang regional melalui “tarnsaksi Soros” menjadikan negara dengan tingkat utang sangat besar dan cenderung bangkrut (Soros, 2000). Utang pemerintah dan swasta nasional membengkak dan akhirnya dikelola oleh badan bentukan IMF yaitu BPPN. Aset-aset potensial nasional dijual ke pihak asing untuk menutupi devisit APBN yang sebagian besar untuk membayar pokok dan bungan pinjaman.


Apakah ini merupakan isu yang baru ? Menurut Mason Gaffney (1994), Henry George (1979) dan Hernando deSoto (2003) melalui teori konspirasi ekonominya dapat dimengerti bahwa ilmu ekonomi sebenarnya diciptakan untuk melayani kepentingan perusahaan tertentu. Menurutnya konspirasi akan terjadi secara alami akibat hubungan bisnis karena memang ilmu ekonomi sudah mendukung paradigma terebut. Berikut penggalan paragraf dari buku tersebut yang sangat menarik.


  • Buku ini didedikasikan kepada dua orang Presiden dari dua Negara yang pernah menjadi kliennya. Mereka sangat dihormati dan selalu  dikenang dalam semangat persaudaraan, yaitu, Jaime Rold’os (Presiden Ecuador) dan Omar Torrijos (Presiden Panama). Keduanya meninggal dunia dalam tabrakan yang sangat mengerikan. Menurut Perkins Kematian mereka bukan karena kecelakaan. Kedua presiden itu mati dibunuh karena mereka menentang ‘persaudaraan’ (fraternity) dengan para pemimpin  dunia korporasi, yaitu pemerintah, perusahaan dan perbankan yang tujuanya membentuk kerajaan dunia. Para EHM gagal membawa Rold’os dan Torrijos mengikuti perintah-perintah sang penguasa, dan hit men jenis lain (CIA) mengambil alih.
  • Selama dua puluh tahun terakhir Perkins menulis bukunya sebanyak empat kali. Kejadian-kejadian yang penting seperti invasi oleh Amerika Serikat ke Panama pada 1989, Perang Teluk Pertama, perang Somalia, dan bangkitnya Osama Bin Laden mendorong keinginannya untuk menulis lagi. Pada 2003, presiden dari sebuah perusahaan penerbit besar menolak menerbitkan buku ini karena dia tidak dapat menanggung amarah dan penentangan oleh markas besar organisasi-organisasi dunia. Dia menganjurkan agar Perkins membuatnya seolah-olah fiktif, seperti gaya John le Carr’e atau Graham Green.
  • Yang akhirnya membuat Perkins menyingkirkan ancaman dan penyuapan supaya tidak menulis adalah karena anak tunggalnya yang bernama Jessica. Setelah membicarakan rencana menerbitkan buku ini beserta berbagai ancamanya, Jessica mengatakan “jangan khawatir ayah, kalau mereka membunuhmu, saya akan melanjutkanya dari yang engkau tinggalkan, kami perlu melakukanya untuk cucu-cucumu yang saya harap suatu hari akan saya berikan kepadamu.”
  • Penugasan pertama Perkins sebagai EHM adalah Indonesia. Dia akan menjadi bagian dari dua belas orang yang dikirimkan untuk membuat sebuah rencana strategi energi untuk pulau Jawa dan memutuskan bahwa proyek itu juga bisa dibuat untuk Kuwait. Perkins menemukan bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan berbagai kesimpulan yang dikehendaki oleh sang analis guna memperkuat kesimpulan-kesimpulan yang direkayasanya.
  • Cludine Martin adalah orang yang mempersiapkan Perkins menjadi seorang EHM.
  • Tujuan penting seorang EHM ada dua yaitu, Pertama: Seorang EHM harus membenarkan kredit dari dunia internasional yang sangat besar jumlahnya, yang akan disalurkan melalui organisasi yang disebut MAIN dan perusahaan AS lainya melalui proyek engineering dan konstruksi raksasa. Kedua, EHM harus bekerja untuk membangkrutkan negara-negara penerima pinjaman raksasa tersebut (tentu setelah mereka membayar kepada MAIN dan kontraktor AS lainya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkram para kreditornya. Dengan demikian negara-negara penerima utang itu akan menjadi target yang mudah ketika penguasa memerlukan sesuatu yang dikehendaki, seperti pangkalan militer, suaranya di PBB atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainya. Proyek-proyek yang berdampak pada PDB tertinggi harus dimenangkan.
  • Tujuan membangun proyek-proyek besar adalah antara lain untuk para kontraktornya, dan membuat bahagia sekelompok kecil elit dari bangsa penerima utang luar negeri (contoh keluarga kerajaan House of Saud, Arab Saudi), sambil memastikan ketergantungan keuangan yang langgeng. Tujuan akhirnya menciptakan kesetiaan politik dari negara-negara target di dunia.
  • Selanjutnya ditulis semakin besar jumlah utang luar negeri yang diberikan semakin baik. Kenyataan bahwa beban utang yang akan dikenakan pada negara-negara penerima akan menyengsarakan rakyatnya. Bidang yang menjadi sasaran adalah kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial.

Para EHM diturunkan dengan alasan bahwa penggunaan pendekatan militer saat ini terlampau berisiko.  Juga di tulis ketika Inggris meminta bantuan AS untuk menjatuhkan Mossadegh karena dianggap berani melawan British Petroleum (BP). AS memutuskan mengirimkan cucu Presiden Theodore Roosevelt bernama Kermit Roosevelt untuk menjatuhkan Mossadegh tanpa pertumpahan darah dan tanpa senjata. Biaya yang dikeluarkan hanya juta dolar AS dipakai untuk membuat  keonaran dan demonstrasi besar-besaran melalui rakyat Iran melawan Mossadegh, walaupun sebelumnya Mossadegh dipuji sebagai pembawa demokrasi untuk negaranya, dan majalah Time menobatkanya sebagai man of  the year.


Kita boleh percaya atau boleh juga tidak terhadap kebenaran isi buku tersebut, karena memang penuturannya sangat subjektif. Tapi satu hal yang pasti bahwa kita juga tidak bisa percaya sepenuhnya terhadap perusahaan multinasional bahwa mereka adalah perusahaan yang melakukan kompetisi secara sehat, tidak korup, menerapkan good corporate governance, dan memiliki tanggung jawab sosial. John Kenneth Galbraith, pemenang Nobel Ekonomi, di dalam buku terbarunya berjudul The Economics of Innocent Fraud menyebutkan bahwa era di mana perusahaan adalah sebuah entitas yang jujur dan bersih sudah berakhir.


Pada awalnya Perkins menikmati tugasnya sebagai seorang EHM profesional dengan sandaran uang sebagai faktor utamanya diatas nasionalisme kepentingan negara asalnya. Namun demikian lama-kelamaan kesadarannya timbul bahwa apa yang dilakukan selama ini akan menyengsarakan banyak orang. Oleh karena itu dia ingin mengungkapkan bahwa praktek EHM di dunia ketiga sudah sangat meresahkan sehingga perlu dilakukan koreksi.


Atau paling tidak keseimbangan antara bisnis, pemerintah dan coporate social responsibility (CSR) harus berjalan sebagaimana mestinya. Karena jika dilihat bentuk CSR dari negara maju selama ini sebenarnya juga kembali ke negara itu sendiri. Contoh pemberian bea siwa bagi anak-anak Indonesia untuk bersekolah di luar negeri, sebenarnya uang yang diberikan akan kembali kenegara itu juga dalam bentuk biaya sekolah, biaya hidup dan hasil-hasil penelitiannya. Sangat sedikit yang bermanfaat bagi negara asal, lebih parah lagi jika SDM tersebut tidak direspon pemerintah asalnya sehingga ditawari bekerja di LN.


Menurut Velasquez (2006) nilai-nilai etika bisnis dapat dibedakan menjadi beberapa macam:


  • Utilitarianism. A general term of any view that holds and actions and policies should be evaluate on the basis of the benefits and cost they will impose on the society,
  • Justice. Distributing benefits and burdens fairly among people,
  • Right and Caringt. Individual entitelments to freedom of choise and well being,

Pelanggaran etika bisnis dalam praktek internasional jelas terjadi terutama dilakukan oleh negara penggagas ilmu etika itu sendiri. Dalam bukunya George Soros (2000) pun mengakui bahwa AS saat ini telah melenceng dalam menentukan kebijakan internasionalnya. Caranya mengembangkan kekuasaan global tidak dilakukan secara santun dan ramah. Bush tidak memberi peluang bagi kemungkinan terjadinya kesalahan ideologi dalam dirinya serta tidak memberikan toleransi perbedaan pendapat. Dia mengatakan “apabila anda tidak bersama kami, maka anda menentang kami” (Soros,Open Society, p.xv, 2000). Contoh nyata terlihat dalam penerapan standar ganda kebijakan senjata nuklir terhadap Iran dan Israel.


Banyak nilai-nilai moral dan etika yang dilanggar di ungkapkan dalam buku ini dan dapat didefinisikan sebagai berikut:


  • Banyaknya ketidakjujuran para pelaku EHM demi kepentingan kelompok korporatokrasi dan pribadi (kepentingan perusahaan AS Haliburton, Betchel, Shell, Exxon, Freeport) ,
  • Perilaku EHM yang buruk dan amoral (menggunakan segala cara dalam mencapai tujuan),
  • Terjadinya konflik kepentingan antara negara dengan sumber keuangan kuat dengan negara berkembang  dengan kemampuan terbatas namun memiliki SDA melimpah (contoh Ekuador, Venezuela, Indonesia, Myanmar, Saudi Arabia, Irak),
  • Pelanggaran terhadap peraturan UU di sebuah negara dengan dalih menerapkan teori relativism,
  • Perlakukan yang tidak adil dalam hubungan bilateral melalui penerapan strandarisasi tinggi (ISO) dan memaksa negara lain membuka pasarnya melalui organisasi WTO,
  • Pelanggaran terhadap prosedur yang berlaku,
  • Terjadi inefisiensi atau pemborosan dengan jalan menggelembungkan estimasi sebuah proyek,
  • Menutupi kesalahan dengan dalih untuk kepentingan rakyat (cara-cara orde baru).

Dalam bidang ekonomi penerapan standar tinggi melalui aturan-aturan mutu (ISO) terhadap barang-barang luar negeri yang akan dipasarkan di negaranya (menghambat jalur perdagangan) padahal melaui organisasi WTO setiap negara dipaksa untuk membuka pasarnya terhadap hambatan masuk arus barang dan jasa dari negaranya. Praktek-praktek ini yang ingin disampaikan oleh Perkins dalam bukunya. Indikasi ke arah penjajahan ekonomi sudah mulai terlihat jelas pada saat ini. Masuknya Freeport ke Papua, Exxon Mobile ke blok Cepu, Newmont Nusantara ke Nusa Tenggara, bantuan-bantuan melalui NGO mengalir deras ke daerah bencana dan isu terakhir yang mulai menggoyahkan hati pemerintah adalah komitmen pinjaman baru dari lembaga donor tergabung dalam CGI untuk menutup defisit APBN 2006 padahal pemerintah telah berkomitmen untuk melunasi utang negara dalam 2 tahap.


Di Indonesia, prilaku amoral EHM terlihat dari hancurnya tidak hanya beberapa perusahaan BUMN seperti PLN dan Pertamina, tetapi juga perusahaan swasta nasional di berbagai sektor seperti perkebunan, perbankan, pertambangan, dan industri kertas. Lebih parah lagi beberapa perusahaan tersebut tidak berani speak out kepada publik dan pemerintah, yang jelas ada enam modus EHM berprilaku amoral yang terjadi di negara kita dan belum diungkapkan oleh Perkins.


Pertama, pembuatan angka-angka estimasi pesimistis terutama berkaitan dengan nilai aset dan jumlah stok sumber daya. Tujuannya sederhana, yakni mengurangi nilai perusahaan, sehingga harganya jatuh ketika diambil alih. Hampir semua perusahaan yang didivestasi BPPN dijual dengan asumsi asetnya berada dalam kondisi distress value. Pada 1998 semua aset kredit properti pernah diasumsikan nilainya sama dengan nihil oleh IMF, padahal tidak semuanya macet. Pendiskonan cadangan kayu dari hutan produksi juga sering dilakukan oleh lembaga riset internasional. Kelangkaan kayu memang terjadi untuk industri kayu yang mengandalkan kayu alam. Hal ini terkait dengan illegal logging yang sampai saat ini belum bisa sepenuhnya dikendalikan. Tapi untuk HTI, mestinya rencana produksi sesuai dengan kapasitas produksi, terkecuali perusahaan yang bersangkutan sejak dari awal sudah overestimate terhadap produktivitas kayu yang dihasilkannya.


Kedua, intervensi melalui saluran diplomatik. Pejabat di kedubes asing sering kali ikut campur tangan terhadap masalah yang sebenarnya urusan bisnis murni. Pejabat lebih banyak hands off, menyerahkan mekanismenya secarabusiness to business. Keterlibatan pemerintah malah sering membuat posisi perusahaan dilemahkan. Di negara maju sekalipun, sudah menjadi rahasia umum bahwa pundi-pundi politisi sangat tergantung pada ‘sumbangan’ pemilik modal. Karena pemberian fasilitas di dalam negerinya selalu diawasi dengan ketat oleh lawan politik dan masyarakat setempat, maka yang paling mungkin dilakukan adalah kelangsungan proyek di negara berkembang. Masih teringat jelas tentang kasus sumbangan Grup Lippo pada saat kampanye presiden Bush. Karena itu, pesan-pesan khusus sering diterima pejabat kita.


Ketiga, melalui green mailing atau ancaman di pengadilan. Di pengadilan dalam negeri masalahnya adalah yang hitam jadi putih dan yang putih bisa jadi hitam. Kalau kasusnya dibawa ke pengadilan internasional, seringkali kasusnya menjadi berkepanjangan karena bisa berpindah dari satu state ke state yang lainnya atau bahkan dari satu negara ke negara lainnya. Pihak yang berselisih tentunya akan selalu mencari celah hukum yang menguntungkan dirinya.


Keempat, dengan cara ancaman pembekuan aset di luar negeri dengan maksud untuk memaksakan segala syarat dalam negosiasi. Melalui pembekuan aset, jalur pasokan akan terhambat karena masalah pembiayaan. Akibatnya, produksi bisa berhenti. Dengan menciptakan kerugian, maka syarat negosiasi bisa dipaksakan. Kelima, yang paling umum dilakukan yaitu melalui kampanye publik bahwa kalau investor asing tidak dilindungi maka semua investor akan hengkang. Sayangnya kampanye ini sering ditelan mentah-mentah oleh pemerintah dan bahkan beberapa menteri ikut menyuarakannya. Kita seharusnya bisa melihat mana asing yang baik dan yang tidak.


Modus yang keenam dan mungkin yang paling mencelakakan adalah ketika menteri dan pejabat publik sudah menjadi bagian dari EHM (Kwik Kian Gie, 2005, Menggugat Mafia Barkeley). Fasilitas khusus bisa diberikan tanpa alasan yang jelas. Penurunan tarif bea masuk barang impor bisa diberikan kepada pihak tertentu sehingga bisa mematikan usaha pesaingnya.


Prilaku amoral yang disebutkan Perkins dalam bukunya:


  1. Membuat estimasi optimis tentang ekonomi sebuah negara dengan harapan mendapat kucuran dana pinjaman sebesar-besarnya yang mengakibatkan negara tersebut tidak mampu untuk membayar kembali utangnya.
  2. Sarana mereka meliputi antara lain rekayasa laporan keuangan yang menyesatkan, praktek penyuapan, pemerasan, agen penggermoan (wanita dan seks), serta pembunuhan terencana yang keji (Presiden Panama (Omar Torrijos) dan Presiden Ekuador (Jaime Roldos)). Para EHM seperti Perkins memainkan peranan yang telah menentukan dimensi baru dan mengerikan selama era globalisasi.
  3. Para agen EHM ini bekerja berdasarkan pesan sponsor dari negara adikuasa yang berniat mewujudkan sebuah imperium global untuk melakukan penyesatan skema ekonometrik agar hasil forecast-nya.
  4. Membuat sebuah negara terjebak dalam perangkap utang, sehingga kebijakan ekonominya mudah dikendalikan. Akhirnya, negara penerima utang itu menjadi target yang lunak ketika negara kreditor membutuhkan apa yang dikehendakinya, seperti pangkalan militer, suara di PBB, serta akses yang mudah untuk mengeksplorasi sumber daya alam (minyak bumi, gas, dan emas) yang dimiliki negara penerima utang.
  5. Berusaha membangkrutkan negara-negara penerima pinjaman raksasa (tentu setelah mereka membayar MAIN dan kontraktor AS lainya), sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkram oleh para kreditornya,
  6. Apabila tujuan belum juga dapat dicapai langkah akhir menggunakan kekuatan militer,

Disamping prilaku amoral yang telah disampaikan Perkins dalam bukunya ada juga prilaku amoral yang dapat kita temui di Indonesia dalam bentuk intervensi asing. Secara umum contoh intervensi asing dalam kasus pembuatan Undang-Undang menjadi sangat menarik untuk diamati. Intervensi asing ini dapat dikategorikan dalam lima kelompok:


a)     Intervensi G2G (Government to Government), yakni pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda dalam perundangannya. Contohnya adalah:

  • pernyataan bahwa Indonesia sarang teroris, baik yang dilontarkan AS, Australia maupun Singapura bertujuan untuk mendesak agar Indonesia menerapkan UU antiteroris yang lebih ketat,
  • kehadiran pejabat tinggi asing ke negeri ini (kedatangan Menlu AS Condoleeza Rice menjelang keputusan pemberian Blok Cepu kepada ExxonMobil,
  • pernyataan Perdana Menteri Australia John Howard tentang pembebasan Ustad Abu Bakar Baasir,
  • dalam kasus luar Indonesia adalah tekanan AS terhadap Cina untuk melepas kontrol pemerintah terhadap mata uang Yuan,

b)     Intervensi W2G (World to Government), yakni lembaga internasional (seperti PBB, WTO, IMF, Word Bank) yang mengambil peran penekan. W2G ini sedikit lebih “elegan” karena seakan-akan agenda yang ingin dipaksakan adalah kesepakatan-kesepakatan internasional. Orang yang tidak tahu lobi-lobi di balik kesepakatan internasional itu akan menganggap rekomendasi lembaga internasional itu sebagai sesuatu yang ideal karena memenuhi standar dan norma internasional (teori relativism). Mereka yang tidak mengikutinya bisa terkucilkan atau tidak lagi pantas untuk menerima menerima utang atau bantuan. Contoh nya:

  • agenda UU yang terkait globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU Perbankan, UU Migas, UU Tenaga Listrik, UU Sumber Daya Air),
  • Kedatangan pejabat badan dunia ke negeri ini (seperti Michael Camdessus bertemu dengan Presiden Soeharto menjelang kejatuhannya),
  • diangkatnya mantan staf badan dunia ke dalam jajaran orang penting di negeri ini (misalnya menjadi menteri atau penasihat menteri di dalam Departemen),
  • diratifikasinya sejumlah aturan-aturan dari badan dunia ke dalam UU,
  • kekawatiran asing akan dampak RUU APP, pertanyaannya sekarang adalah mengapa mereka harus khawatir, kalau bukan karena pengesahan RUU APP itu akan mempersempit ruang gerak mereka dalam menjajakan budaya liberalnya (yakni pornografi dan pornoaksi atas nama kebebasan berekspresi dan HAM) di tengah-tengah mayarakat negeri ini yang notabene mayoritas muslim (contoh masuknya majalah-majalah porno afiliasi dengan majalah asing seperti playboy, FHM, ME dll).

c)     Intervensi B2G (Bussiness to Government), yakni dunia bisnis, baik bisnis yang memiliki jaringan internasional maupun bisnis yang hanya bergerak di lingkup domestik. Para pengusaha dan investor ini dapat menekan pemerintah agar memuluskan berbagai kepentingan mereka dalam undang-undang. Tidak jarang, pengusaha asing menggunakan mitra lokalnya untuk lebih lantang bersuara, agar tidak terkesan ada kepentingan asing di balik itu. Ancaman yang sering dimunculkan adalah memindahkan investasi ke negara lain yang beriklim lebih baik. Contohnya :

  • agenda UU yang terkait dengan investasi, perpajakan, dan perburuhan,
  • kedekatan sejumlah pengusaha yang bisnisnya terkait dengan asing (impor/ekspor) dengan pejabat atau memfasilitasi diskusi publik,
  • pengusaha mensponsori anggota DPR atau tim pembuat UU untuk studi banding ke LN melihat penerapan UU sejenis di LN,

d)     Intervensi N2G (Non Government Organization [NGO/LSM] to Government). Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, termasuk ormas-ormas, dapat menjadi kelompok penekan (pressure group) yang efektif pada pemerintah, badan legislatif, maupun badan yudikatif (seperti Mahkamah Konstitusi). Contohnya:

  • UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan penolakan RUU Anti Pornografi & Pornoaksi,
  • Kedekatan NGO atau tokoh-tokohnya dengan lembaga bantuan asing seperti Ford Foundation, Asia Foundation, USAID, AusAID, atau mereka yang pernah menerima sumbangan dari lembaga bantuan asing tersebut, misalnya dalam bentuk proyek tertentu (riset, pemberdayaan masyarakat, pendidikan dll),

e)     Intervensi I2G (Intelectual to Government). Kaum intelektual, para ilmuwan, lembaga konsultan, bahkan tokoh-tokoh agama dapat dipakai untuk menekan pemerintah agar meloloskan suatu agenda dalam perundangannya. Para birokrat dan perancang UU juga kadang-kadang diundang oleh pihak di luar negeri untuk melanjutkan sekolah atau sekadar studi banding dan bertemu dengan para pakar di luar negeri. Dalam pendidikan atau pertemuan itulah dapat terjadi intervensi secara sangat halus. Dalam kenyataannya, pola I2G ini adalah jenis intervensi asing yang paling rapi dan paling sulit dideteksi, karena yang akan muncul adalah keyakinan dari anak bangsa sendiri. Contohnya :

  • agenda UU Otonomi Daerah.
  • kedekatan intelektual dengan tokoh atau lembaga di luar negeri, baik sebagai murid ataupun guru.

Kadang-kadang beberapa jenis intervensi bersinergi. Ini artinya, otak kepentingan asing tersebut sangat cerdas sehingga bisa menggerakkan berbagai mesin intervensi sekaligus. Sebagai contoh seperti dijelaskan sebelumnya UU Privatisasi (Migas, SD Air) dapat digolkan melalui pendekatan W2G (oleh IMF atau Bank Dunia dengan alasan globalisasi), B2G (dengan alasan membuka iklim investasi), dan I2G (dengan konsultan yang memberikan prediksi bahwa kondisi fiskal negara ke depan akan lebih sehat dengan privatisasi BUMN-BUMN melalui BPPN/PPA). Dalam kasus RUU Pemerintahan Aceh bahkan ada indikasi pihak asing telah menggunakan seluruh mesin intervensinya melalui kucuran bantuan yang sangat besar melalui lembaga-lembaga tersebut.


Selain dengan melacak pola kedekatan, intervensi asing juga tercium dari kepentingan. Secara umum, kepentingan utama di balik intervensi asing ini adalah untuk mendapatkan akses atas eksploitasi kekayaan alam yang lebih luas, pasar yang lebih lebar, dan ujungnya ketergantungan pada mereka (para kapitalis besar). Inilah motif utama kapitalisme (Soros, 2000). Contoh nyata dari kasus ini adalah eksploitasi SDA oleh Freeport, Newmont, Shell, BP dan masuknya ExxonMobile ke blok Cepu.


Untuk menyukseskan misi ini, diperlukan politik sekular yang makin kokoh dengan jargon demokrasi, HAM, liberalisasi, kemiskinan dan sejenisnya (hypernoms). Dengan permainan inilah para kapitalis akan lebih leluasa memainkan “bidak-bidaknya”. Lalu agar tidak timbul kebangkitan generasi muda yang akan melakukan perlawanan sistematis atas kondisi ini (seperti kondisi Indonesia tahun 1998 dan tragedi penembakan mahasiswa di Cina), generasi muda juga dirusak masa depannya dengan liberalisasi sosial misalnya dengan penolakan pembatasan pornografi dan pornoaksi (penolakan RUU APP). Pada saat yang sama, gerakan-gerakan kritis, terutama yang berbasis pada Islam, akan ditekan dengan UU antiterorisme (desas-desus pembubaran organisasi massa yang dianggap anarkis). Dengan demikian, semakin optimallah usaha asing menjajah kembali bangsa ini.


Contoh jelas Blok Cepu yang sekarang telah dikuasai oleh ExxonMobil. Pemerintah memberikan pernyataan bahwa keputusan di Blok Cepu adalah B to B atau business to business agreement. Disini terlihat ketidakkonsistenan pemerintah. Jika keputusan tersebut adalah B to B, yaitu antara Pertamina dan pihak ExxonMobil, maka seharusnya Pertamina tidak mendapatkan intervensi lebih jauh dari pemerintah. Namun kenyataannya adalah direktur Pertamina sebelumnya yang tidak setuju terhadap penyerahan operasional Blok Cepu ke tangan ExxonMobil, malah diganti oleh pemerintah dengan direktur baru beberapa saat sebelum terealisasinya kesepakatan yang ada sekarang.


Contoh lain melalui UU Migas, misalnya, Pertamina, yang notabene perusahaan milik rakyat, saat ini bukan pemain tunggal. Pertamina kini harus bersaing dengan perusahaan asing seperti Shell, ExxonMobil, BP atau Petronas yang bermodal raksasa. Dengan UU ini pula kemudian Blok Cepu diberikan oleh Pemerintah pada ExxonMobil.


Melalui UU SD Air, kini beberapa daerah kesulitan pasokan air, baik di pedesaan maupun di perkotaan, karena penggunaan air kini diatur oleh mekanisme harga, artinya yang dialiri hanyalah yang mampu memberikan nilai ekonomis tertinggi, yaitu pabrik-pabrik air kemasan yang juga banyak mulai dimiliki asing (Contoh Dadone). Contoh lebih parah adalah pemberian hak konsesi eksploitasi SDA di Papua kepada PT. Freeport sejak tahun 1970an.


Noam Chomsky (2005) dalam bukunya Imperial Ambition menjelaskan tentang adanya a new norm, semacam taktik ideologis yang dipropagandakan oleh pemerintah Amerika kepada negara lain guna mendukung langkah imperialistisnya. Seperti dalam kasus invasi ke Irak dan Afghanistan, pemerintah Amerika mendoktrin publik dunia dengan norma yang mereka buat sendiri yang disebut preemventive war. Melalui propaganda yang gencar dan massal, Amerika mengarahkan publik dunia untuk bersama-sama berpikir bahwa Amerika benar dan Irak salah. Pada akhirnya publik dunia mendukung langkah Amerika. Propaganda inilah senjata favorit Amerika. Berita hangat dengan motif hampir sama adalah tekanan Amerika terhadap Iran untuk tidak melakukan pengembangan uranium. Dengan dalih ini kemungkinan besar dapat dijadikan kambing hitam untuk menduduki negara tersebut yang secara nyata memiliki kandungan minyak cukup besar di Timur Tengah. Propaganda adalah salah satu cara yang efektif untuk mengarahkan pikiran manusia, menjadikan mereka seperti robot yang mudah diperintah berbuat apa saja.


Peran dan tindakan yang harus dilakukan oleh seorang calon ilmuan untuk menegakkan etika kehidupan.


Globalisasi ekonomi perupakan kata kunci yang selalu didengar dan disosialisasikan ke seluruh dunia oleh negara-negara maju.  Setidaknya efek realnya baru akan terasa pada jangka panjang. Namun, jika kepentingan asing lebih dominan maka dapat ditebak, bahwa dalam waktu singkat globalisasi sudah pasti akan menimbulkan malapetaka luas bagi masyarakat yang masih memiliki kelemahan ekonomi. Suatu malapetaka yang barangkali sulit diperbaiki (irreversible) dinama barang-barang dalam negeri yang kalah efisien akan sulit bersaing dengan derasnya barang impor. Indikasi ini sudah mulai terlihat tanpa kita dapat kuasa untuk membendungnya.


Sebagai seorang calon ilmuan tanda-tanda globalisasi hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana. Yang terpenting adalah memanfaatkan kondisi tersebut menjadi sebuah peluang untuk mencari “samudera-samudera biru” (blue ocean strategy) dan bukan malah menganggap sebagai sebuah ancaman (W. Chang Kim & Renee Maugorgne, 2006). Meminimalkan persaingan terbuka (red ocean strategy) dengan memperbanyak inovasi melalui kerja keras, cerdas dan ikhlas. Kemampuan seorang ilmuan dalam memegang tangung jawab sosial harus dapat menerjemahkan ilmu yang dimiliki kedalam peran kemasyarakatan. Ilmu pengetahuan merupakan berkah dan memiliki nilai bagi kehidupan manusia tentunya dengan tidak meninggalkan tata nilai, etika, moral dan filosofi. Manusia wajib hukumnya mencari ilmu dan mengamalkannya dalam arti positif kepada sesama manusia. Jika dalam perkembangannya jika pemahaman ini telah menyimpang atau bahkan hilang, sudah pasti hal itu merupakan tanda-tanda kiamat seperti dikatakan dalam Hadits riwayat Anas bin Malik sebagai berikut:


Rasulullah pernah berkata: “Diantara tanda-tanda kiamat adalah hilangnya ilmu, maraknya kebodohan, merajalelanya perzinahan, banyaknya orang minum minuman keras…..” (Shahih Muslim, 2005).


Bidang keilmuan harus ditelaah secara konsisten. Ilmuan harus bertindak secara persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, bukan malah menyesatkan seperti yang dilakukan oleh para EHM. Ilmuan memiliki kemampuan menganalisis kegiatan-kegiatan yang bersifat non produktif menjadi kegiatan yang berdaya guna bagi kehidupan manusia. Kalaupun memang pinjaman yang akan diberikan bagi negara-negara dunia ke tiga sebagai bagian dari corporate social responsibility (CSR), maka seharusnya dilakukan secara benar dan ikhlas sebagai sebuah bentuk tanggung jawab moral terhadap sesama. Inilah yang disebut sebagai konsep “terima – kasih”, yaitu menerima sebagai bagian dari sebuah kegiatan kerja keras dan menyalurkan sebagian harta kepada yang berhak sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Tuhan. Allah SWT di dalam Al Qur’an menyebutkan secara jelas konsep ini dalam Surat At-Taubah, ayat 122 sebagai berikut:


“Mengapa sebagian orang-orang beriman tidak pergi untuk memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama dan kemudian setelah itu memberikan peringatan kepada orang lain agar mereka itu dapat saling menjaga dirinya”.


Dari ayat tersebut dikatakan bahwa sebagian orang-orang yang memiliki pemahaman lebih (ilmuan) sebaiknya memperdalam ilmunya untuk kemudian dipakai di jalan kebaikan dan membimbing yang lain untuk menuju pada arah yang sama. Sehingga benang merah yang dapat diambil dari jalan hidup yang telah digariskan Allah sebagai bagian dari fitrah manusia dalam tanggung jawabnya di bidang keilmuan (E. Gumbira Sai’d, 2006) dan sekaligus pesan yang dapat ditanggap dari buku John Perkins adalah :


a)     Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara:

  • Berpikir untuk menemukan kebenaran,
  • Melakukan penelitian dan pengembangan,
  • Selalu menumbuhkan sikap positif dan konstruktif,
  • Meningkatkan nilai tambah dan produktivitas,
  • Konsisten dengan proses penelaahan keilmuan,
  • Menguasai bagian kajian keilmuannya secara mendalam,
  • Mengkaji dan mengikuti perkembangan teknologi secara rinci,
  • Bersifat terbuka dan profesional,
  • Dan yang paling penting mempublikasikan hasil temuannya untuk kehidupan manusia. (Bagian dari pesan yang disampaikan Allah dalam QS At Tahubah ayat 122 di atas).

b)     Meningkatkan kesejahteraan msayarakat dengan cara :

  • Menemukan dan memecahkan masalah yang sedang atau akan dihadapi masyarakat dan mengkomunikasikannya,
  • Membantu meningkatkan taraf hidup kesejahteraan masyarakat,
  • Memanfaatkan hasil-hasil temuannya untuk kepentingan kemanusiaan,
  • Mengungkapkan kebenaran dengan segala konsekuensinya.

Ilmuan memiliki kewajiban moral yang bersifat mutlak dalam menegakkan etika sesuai dengan hati nurani.  Kewajiban tersebut bersifat objektif, rasional dan komprehensif. Dikaitkan dengan kondisi yang diciptakan para EHM dalam buku John Perkins, maka tindakan yang dapat dilakukan oleh seorang calon ilmuan dalam melihat kondisi di atas adalah antara lain:

  1. Waspada terhadap masuknya pengaruh-pengaruh asing yang dapat melemahkan kemampuan negara untuk berkembang,
  2. Melakukan koreksi pandangan jika terdapat kemungkinan terjadinya penguasaan asing terhadap aset negara,
  3. Memberikan kritisi terhadap kemungkinan masuknya pengaruh asing dalam sendi-sendir kehidupan masyarakat,
  4. Meningkatkan kekuatan negara dalam mengembangkan SDM dalam mengelola SDA agar dapat bersaing secara global,
  5. Tindakan preventif yang dapat dilakukan dalam menegakkan etika dalam kehidupan menurut adalah meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia-akherat dan melakukan sinergi kesinambungan antara Keyakinan, Aksi dan Pekerti (fikr, mikr dan dzikr) melalui kolaborasi kesatuan ruh dari Sang Pencipta (Abu Sangkan, 2005). Hal ini diharapkan menghasilkan pola kepemimpinan Kubik atau  disebut sebagai kepemimpinan profetik (Farid Poniman dkk, 2006) yang menjadikan keutuhan dan kelengkapan manusia dihadapan Tuhan-nya.

Jakarta, 12 Oktober 2006

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More