Pada beberapa seri pembahasan sebelumnya, banyak tulisan memuat seputar perampasan serta invasi yang dilakukan oleh Kerajaan Saudi. Tentunya, dalam kasus tersebut Kerajaan Saudi mendapat amunisi dari fatwa yang dikeluarkan oleh kalangan ulama Wahabi.
Berbagai fatwa serta pernyataan inilah yang kemudian menjadi legitimasi bagi pengikut Wahabi sehingga mereka melakukan invasi serta perusakan ke berbagai tempat yang diyakini agung serta mulia oleh kalangan umat Islam.
Fatwa yang dimaksud adalah pelabelan syirik terhadap sebagian amalan yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam. Kemudian melaui pelabelan ini dikeluarkanlah fatwa atau pernyataan kekafiran untuk para pengamalnya.
Amalan yang kemudian dianggap sebagai representasi kesyirikan tersebut adalah ziarah kubur, tawassul kepada para nabi, aulia dan orang salih.
Sulaiman bin Sahman al-Najdi di dalam kitabnya al-Hadiyah al-Saniyah mendokumentasikan pemaparan Muhammad bin Abdul Wahab yang ia sebut dengan “rahimahullah” seputar kekafiran kaum muslimin yang melakukan ziarah kubur, bertawassul, meminta syafaat kepada para nabi As, auliya dan orang-orang saleh. Demikian catatannya:
Rahimahullah (Muhammad bin Abdul Wahab) berkata: dan syirik yang dimaksud di dalam ayat-ayat ini dan ayat sejenisnya masuk di dalamnya syirik para penyembah kubur serta para penyembah nabi, malaikat dan orang saleh. Sesungguhnya inilah syirik Arab jahiliyah yang oleh karenanya rasul-Nya Muhammad Saw diutus. Karena sesungguhnya mereka berdoa dan meminta tolong kepada mereka. Mereka meminta kepada sosok-sosok tersebut dengan cara bertawassul dengan kedudukan dan syafaat mereka berdasarkan kedekatan yang mereka miliki di sisi Allah Swt. Hal ini sebagaimana Allah Swt beritakan di banyak tempat dalam kitab-Nya. Seperti: (Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah[1]) (Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat menolong mereka? Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka. Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan[2])[3]
Dengan tegas Muhammad bin Abdul Wahab dalam catatan ini menyamakan amalan-amalan yang dilakukan oleh kaum muslimin dengan kesyirikan yang diperbuat oleh kaum musyrikin di zaman Nabi Saw.
Padahal, jika dilihat dengan kacamata yang lebih objektif, kedua perbutan ini sangat berbeda. Kaum muslimin tidak pernah melakukan penyembahan terhadap sosok-sosok tersebut, sementara kaum musyrikin melakukan penyembahan terhadap patung- patung yang mereka agungkan tersebut.
Lagi, kembali Sulaiman bin Sahman al-Najdi memuat pernyataan Muhammad bin Abdul Wahab seputar kesyirikan kaum muslimin yang dia anggap sebagai legitimasi untuk memasukkan mereka dalam golongan orang kafir:
“Berkata “semoga Allah Swt merahmatinya” (Muhammad bin Abdul Wahab): jenis orang musyrik seperti ini dan yang menyerupai mereka dari golongan penyembah para auliya dan orang-orang saleh kami hukumi sebagai orang kafir. Dan kami memandangnya sebagai orang kafir jika hujjah dan argumentasi telah tersampaikan. Adapun dosa-dosa yang lebih ringan dari itu dari sisi tingkatan serta kerusakan, maka tidak kami anggap kafir. Dan hanya dengan dosa yang mereka lakukan, kami tidak menghukumi kafir seorangpun dari ahlul qiblah (orang Islam) yang berbeda dengan para penyembah berhala, patung dan kuburan.[4]”.
Jadi dengan jelas terlihat dalam literatur di atas bahwa Muhammad bin Abdul Wahab meyakini kekafiran orang-orang yang memuliakan serta mengagungkan sosok auliya Allah atau orang-orang saleh yang kemudian ia labeli dengan “penyembah auliya, dan orang saleh”.
Padahal kaum muslimin yang ia adili tersebut tidak pernah menyembah nabi, auliya maupun orang saleh. Yang mereka lakukan baik dalam ziarah kubur maupun dalam twassul adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui kedudukan yang dimiliki oleh manusia-manusia agung tersebut di sisi Allah.
[1] Yunus/ 18
[2] Al-Ahqaf/ 28
[3] Al-Najdi, Sulaiman bin Sahman, al-Hadiyah al-Saniyah wa al-Tuhfah al-Wahhabiayah al-Najdiyah, hal: 30, cet: Mthbaah al-Manar, Mesir, pertama, 1342 H.
[4] Al-Najdi, Sulaiman bin Sahman, al-Hadiyah al-Saniyah wa al-Tuhfah al-Wahhabiayah al-Najdiyah, hal: 32, cet: Mthbaah al-Manar, Mesir, pertama, 1342 H.
0 comments:
Posting Komentar