Senin, 01 Mei 2023

Kurban Sebagai Bentuk Penghambaan Yang Kembali ke Pribadinya



 Kurban merupakan tradisi dari Nabi Ibrahim yang kemudian kita (umat Islam) ikuti. 

Sebenarnya tradisi berkurban ini bisa dilacak sampai ke belakang jauh sebelum Nabi Ibrahim, yaitu tepatnya pada kisah Habil-Qabil, putra Nabi Adam.

Al-Qur’an mengisahkan: Ceritakanlah kepada mereka kisah dua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mem­persembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). 

Ia (Qabil) berkata, “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil, Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Al-Maidah: 27).

Dikisahkan bahwa Habil seorang peternak dan mengurbankan domba gemuk yang sehat. 

Sedangkan Qabil seorang petani yang menyerahkan gandumnya tapi hanya memberi yang jelek saja, bukan gandum terbaik. Maka Itu domba Habil diterima, dan gandum Qabil ditolak.

Itulah sebabnya ajaran Islam menganjurkan agar hewan-hewan kurban merupakan hewan pilihan. Hewan yang sehat dan gemuk yang disukai orang. 

Anjuran demikian bukan berarti Allah memerlukan yang baik-baik untuk diriNya, Sama sekali Allah tidak memerlukannya. 

Tetapi semua itu demi kepentingan manusia sendiri, terutama kaum fakir miskin sebagai pihak yang berhak menerimanya.

Pada masa jahiliah orang Arab mempersembahkan  darah hewan kurban mereka ke Baitullah, dan mempersembahkan juga daging hewan kurban mereka di Baitullah. Para sahabat yang merasa lebih berhak atas Baitullah menganggap mereka juga lebih berhak melakukan tradisi itu di Baitullah (Ka’bah). 

Lantas, turunlah firman Allah yang memutuskan benang merah tradisi persembahan darah berabad-abad Allah tidak membutuhkan darah dan juga daging hewan kurban kalian!

Daging qurban tidak dipersembahkan sebagai “sesajen”, melainkan dibagikan kepada fakir miskin. Muatan teologis yang tegas, dibalut dengan kandungan sosial yang bernas. 

Kurban itu adalah simbol ujian ketakwaan kita. Untuk mencapai keridhaan Allah 

Inti nya Semua ritual ibadah pada hakekatnya kembali manfaatnya untuk diri kita. Kitalah yang lemah. Kitalah yang membutuhkan asupan ibadah.

Allah sama sekali tidak akan berkurang sedikit pun keagunganNya kalau tak ada manusia yang menyembahNya, dan tak bertambah sedikitpun kalau semua penduduk bumi menyembahNya. Maka, tidak mungkin kita bisa menukarkan amal ibadah kita dengan keridhaanNya. Mustahil!

Begitulah contoh bagaimana Islam menganjurkan kita untuk melanjutkan tradisi baik yang dilakukan orang-orang saleh sebelum kita. 

Pada saat yang sama, dalam tradisi yang baik itu sepanjang sejarah peradaban telah terjadi berbagai penyimpangan ritual maupun pengaburan makna, maka syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad memilah mana tradisi yang harus kita lanjutkan dan mana yang harus kita benahi....

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More