Oleh: Firman Situmeang
https://analisadaily.com/
KATA "agama" berasal dari bahasa Sanksekerta, agama yang berarti "tradisi" atau "A" berarti tidak; "GAMA" berarti kacau. Sehingga agama berarti tidak kacau. Dengan kata lain agama merupakan suatu kepercayaan yang mendatangkan kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan hidup manusia. Berpijak dari defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa agama merupakan sebuah institusi yang diciptakan untuk mewujudkan keteraturan dalam masyarakat yang sebelumnya kacau ataupun kocar-kacir.
Namun dewasa ini fungsi agama mulai mengalami penyimpangan (deviasi). Dalam banyak kasus agama banyak digunakan sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan kelompok masyarakat tertentu. Hal ini bahkan sudah terjadi sejak lama. Kondisi inilah yang membuat banyak filsuf melahirkan pemikirannya terkait fenomena agama di tengah kehidupan bermasyarakat.
Salah satu tokoh yang sangat dikenal dengan pemikirannya tentang agama adalah Karl Marx. Menurut Marx dewasa ini agama digunakan oleh kaum penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Marx menyebut ”agama adalah candu rakyat.” Agama dengan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kematian, di dunia lain dari kehidupan manusia, membuat orang miskin dengan senang hati menerima kemiskinan dan penindasan yang dialaminya.
Marx juga menyebut agama sebagai alienasi. Agama yang seyogyanya membuat manusia bersemangat untuk memperbaiki kehidupannya malah digunakan sebagai alat untuk pelampiasan akan nasib buruknya. Manusia yang diciptakan sebagai makhluk kreatif oleh Sang Pencipta sering menggunakan kata “takdir” untuk membenarkan ketidakberdayaan dan kemalasannya. Manusia pun pada akhirnya terasing dari dirinya sendiri.
Kondisi kekinian
Situasi kehidupan beragama di Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Dalam beberapa waktu terakhir agama yang harusnya menciptakan keteraturan dan persatuan malah berbalik menjadi pemicu konflik diantara umat beragama. Lewat ujaran kebencian baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Berbagai gerakan massa yang memunculkan gesekan antar umat beragama terjadi di berbagai lokasi di Indonesia. Mulai dari pembakaran rumah ibadah, pelarangan pembangunan rumah ibadah, hingga pembubaran acara ibadah agama tertentu.
Konflik agama terkini yang masih terus berlangsung terjadi akibat kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok sebagai tersangka. Kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok yang seyogyanya terjadi di Jakarta dengan seketika berubah menjadi kasus nasional. Berbagai demonstrasi menuntut Ahok untuk dipenjarakan pun terjadi dimana-mana. Celakanya lagi kasus ini merembet menjadi kasus gesekan antara umat beragama. Ada pihak yang membela Ahok, ada pula pihak yang kontra pada Ahok. Akibatnya terjadi berbagai perdebatan dan perseteruan di antara kedua belah pihak yang membuat ujaran kebencian menjalar kemana-mana layaknya bola es.
Problem solver
Tak terkendalinya konflik dan ujaran kebencian antar umat beragama akhir-akhir ini menimbulkan tanda tanya besar dalam benak penulis. Institusi agama yang seyogyanya mengambil peranan besar guna meredam konflik yang terjadi tak juga menunjukkan eksistensinya. Bahkan bukannya mencoba mendamaikan, institusi agama malah tak jarang membuat konflik yang ada semakin memuncak. Dalam banyak kasus yang penulis temukan banyak pemuka agama baik itu ustadz maupun pendeta malah mengajak umatnya untuk menebar kebencian terhadap umat beragama lainnya lewat khotbahnya. Dengan doktrin bahwa agamanya yang paling benar dan agama lain sebagai agama sesat (kafir). Para pemuka agama mengajak umatnya untuk memerangi umat beragama yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agamanya.
Kondisi ini jelas memprihatinkan. Harusnya di tengah kekacauan ini institusi agama mengambil peranan sebagai problem solver (pemecah masalah). Institusi agama harus berinisiatif untuk mengakhiri ketegangan yang kini tengah terjadi. Institusi agama seharusnya menekankan pada umatnya bahwa tidak ada satu pun agama di dunia ini yang ajarannya mengajarkan kepada umatnya untuk melaksanakan sikap belah bambu, yang satu diangkat yang lainnya diinjak. Semua agama mengajarkan hal yang sama untuk saling memberikan perlindungan terhadap sesama kendatipun berbeda agama, suku, bangsa, ras, dan sebagainya. Dalam hal ini, berarti agama mencintai manusia untuk hidup dalam keadaan aman, sejahtera tanpa ada kekerasan dan penindasan. Sebab, kekerasan selain bertentangan dengan agama, juga menyalahi nurani secara pribadi maupun sosial.
Dalam sudut pandang sosiologis agama dan integrasi memiliki keterkaitan yang sangat erat. Agama bisa mempersatukan atau sebaliknya. Agama itu ibarat api yang bisa membakar apa saja bila tidak dikendalikan, namun sebaliknya akan menghangatkan bila dapat dikontrol dengan baik. Oleh karena itu penulis berharap mulai saat ini seluruh institusi beragama harus menjadi problem solver dalam menjawab prahara kehidupan beragama yang kini sedang mendera bangsa Indonesia. Agama harus tampil sebagai penyejuk dari ketegangan yang terjadi. Agama harus menjadi air di tengah api yang sedang membara.
Misalnya terkait dengan konflik yang sedang terjadi maka para pemuka harus tampil sebagai suatu kekuatan untuk memformulasikan etika global yang diharapkan dapat menciptakan perdamaian. Dengan kata lain spirit agama digunakan untuk mewujudnyatakan perdamaian. Untuk itu maka institusi agama harus mampu melakukan mitigasi konflik.
Misalnya dengan melakukan dialog-dialog antara umat beragama secara berkala, atau kegiatan-kegiatan lain yang dianggap penting sebagai kontribusi agama dalam menanamkan nilai-nilai pluralisme dan persatuan, misalnya dengan menggandeng Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) bentukan pemerintah.
Terakhir institusi agama juga dituntut untuk mencari akar masalah dari konflik agama supaya konflik serupa tidak terjadi lagi. Salah dua faktor penyebab utama dari konflik beragama dewasa ini adalah kemiskinan dan kesenjangan.
Untuk itu maka institusi agama mau tidak mau harus ikut serta dalam penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan. Misalnya dengan memberdayakan masyarakat miskin dengan pelatihan keterampilan tertentu atau bisa juga institusi agama membentuk UMKM sendiri agar umatnya bisa lepas dari kemiskinan. ***
Penulis adalah mahasiswa Sosiologi USU Stambuk 2013, Aktif di Toba Writers Forum (TWF),dan Perintis Komunitas Sosiologi Menulis.
0 comments:
Posting Komentar