Sabtu, 25 Maret 2023

Agama sebagai Problem Solver


Oleh: Firman Situmeang

https://analisadaily.com/

KATA "agama" berasal dari ba­ha­sa San­ksekerta, agama yang ber­arti "tra­­­disi" atau "A" berarti tidak; "GA­MA" berarti kacau. Sehingga aga­­ma ber­­­arti tidak kacau. Dengan kata lain aga­ma me­rupakan suatu ke­percayaan yang mendatangkan ke­hi­du­p­an yang ter­atur dan tidak kacau ser­ta menda­tang­­kan kesejahteraan dan keselamat­an hidup manusia. Ber­pijak dari de­fe­nisi terse­but dapat di­simpulkan bah­wa agama merupa­kan sebuah ins­titusi yang diciptakan un­tuk mewujudkan ke­­teraturan da­lam masya­ra­kat yang se­­belumnya ka­cau ataupun kocar-ka­cir.


Namun dewasa ini fungsi agama mulai mengalami penyimpangan (de­viasi). Dalam banyak kasus agama ba­nyak digunakan sebagai alat untuk me­wujudkan kepentingan kelompok ma­sya­rakat tertentu. Hal ini bahkan sudah ter­jadi sejak lama. Kondisi ini­lah yang mem­buat banyak filsuf me­la­hirkan pemikirannya terkait feno­me­na agama di tengah kehidupan ber­ma­syarakat.


Salah satu tokoh yang sangat dike­nal dengan pemikirannya tentang aga­ma adalah Karl Marx. Menurut Marx dewasa ini agama digunakan oleh kaum penguasa untuk melanggeng­kan kekuasaannya. Marx menyebut ”aga­ma adalah candu rakyat.” Agama de­ngan menjanjikan kebahagiaan di alam sesudah kematian, di dunia lain dari kehidupan manusia, membuat orang miskin dengan senang hati menerima kemiskinan dan peninda­san yang dialaminya.


Marx juga menyebut agama seba­gai alienasi. Agama yang seyogyanya mem­buat manusia bersemangat untuk memper­baiki kehidupannya malah digunakan sebagai alat untuk pelam­pia­s­an akan nasib buruknya. Manusia yang diciptakan sebagai makhluk krea­tif oleh Sang Pencipta sering meng­­guna­kan kata “takdir” untuk mem­benarkan ketidakberdayaan dan kemalasannya. Manusia pun pada akhirnya terasing dari dirinya sendiri.


Kondisi kekinian


Situasi kehidupan beragama di Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Dalam beberapa waktu terakhir agama yang harusnya menciptakan keteraturan dan persatuan malah berbalik menjadi pe­micu konflik diantara umat ber­aga­ma. Lewat ujaran kebencian baik di du­nia nyata maupun di dunia maya. Ber­­bagai gerakan massa yang me­mun­­culkan gesekan antar umat ber­agama terjadi di berbagai lokasi di In­do­­nesia. Mulai dari pembakaran ru­mah ibadah, pelarangan pembangun­an rumah ibadah, hingga pembubaran acara ibadah agama tertentu.


Konflik agama terkini yang masih te­rus berlangsung terjadi akibat kasus pe­nistaan agama yang melibatkan Ahok sebagai tersangka. Kasus pe­nistaan agama yang dilakukan Ahok yang seyogyanya terjadi di Jakarta dengan seketika berubah menjadi kasus nasional. Berbagai demonstrasi menuntut Ahok untuk dipenjarakan pun terjadi dimana-mana. Celakanya lagi kasus ini merembet menjadi ka­sus gesekan antara umat beragama. Ada pihak yang membela Ahok, ada pula pihak yang kontra pada Ahok. Akibat­nya terjadi berbagai perdebat­an dan per­seteruan di antara kedua be­lah pihak yang membuat ujaran ke­bencian men­jalar kemana-mana la­yak­nya bola es.


Problem solver


Tak terkendalinya konflik dan uja­ran kebencian antar umat ber­agama akhir-akhir ini menimbulkan tanda ta­nya besar dalam benak penu­lis. Ins­titusi agama yang seyogyanya me­ngam­bil peranan besar guna mere­dam kon­flik yang terjadi tak juga me­nun­juk­kan eksistensinya. Bahkan bu­kan­nya men­coba mendamaikan, ins­titusi agama malah tak jarang mem­buat kon­flik yang ada semakin me­mun­­cak. Dalam banyak kasus yang pe­­nulis temukan banyak pemuka agama baik itu ustadz maupun pen­deta malah mengajak umatnya untuk me­nebar kebencian terhadap umat ber­agama lainnya lewat khotbahnya. De­ngan doktrin bahwa agamanya yang paling benar dan agama lain se­bagai agama sesat (kafir). Para pe­mu­ka agama mengajak umatnya untuk me­merangi umat beragama yang di­anggap tidak sesuai dengan ajaran agamanya.


Kondisi ini jelas memprihatinkan. Ha­rusnya di tengah ke­kacauan ini ins­ti­tusi agama mengambil peranan se­­bagai problem solver (pemecah ma­­sa­lah). Institusi agama harus ber­ini­siatif un­tuk mengakhiri ketega­ngan yang kini tengah terjadi. Institusi agama seharusnya menekankan pada uma­t­nya bahwa tidak ada satu pun aga­ma di dunia ini yang ajarannya me­nga­­jar­kan kepada umatnya untuk me­­lak­sanakan sikap belah bambu, yang satu diangkat yang lainnya di­in­jak. Semua agama mengajarkan hal yang sama untuk saling memberi­kan per­­lindu­ngan terhadap sesama ken­da­tipun ber­beda agama, suku, bang­sa, ras, dan se­ba­gainya. Dalam hal ini, ber­arti aga­ma mencintai ma­nu­sia un­tuk hidup dalam keadaan aman, sejah­tera tanpa ada kekerasan dan peninda­san. Sebab, kekerasan se­lain bertenta­ngan dengan agama, juga menyalahi nurani secara pribadi mau­pun sosial.


Dalam sudut pandang sosiologis aga­ma dan integrasi memiliki keter­kai­­tan yang sangat erat. Agama bisa mem­persatukan atau sebaliknya. Aga­ma itu ibarat api yang bisa membakar apa saja bila tidak dikendalikan, na­mun sebaliknya akan meng­ha­ngat­kan bila dapat dikontrol dengan baik. Oleh ka­rena itu penulis berharap mulai saat ini seluruh institusi beragama harus menjadi problem solver dalam men­jawab prahara kehidupan beragama yang kini sedang mendera bangsa Indonesia. Agama harus tampil sebagai penyejuk dari ketegangan yang ter­jadi. Agama harus menjadi air di tengah api yang sedang membara.


Misalnya terkait dengan konflik yang sedang terjadi maka para pemuka harus tampil sebagai suatu  kekuatan untuk memformulasikan etika global yang diharapkan dapat men­cipta­kan perdamaian. Dengan kata lain spirit agama digunakan untuk mewujudnyatakan perdamaian. Untuk itu maka institusi agama harus mampu melakukan mitigasi konflik.


Misalnya dengan melakukan dialog-dialog antara umat beragama secara berkala, atau  kegiatan-kegiatan lain yang dianggap penting se­bagai kontribusi agama da­lam menanamkan nilai-nilai pluralisme dan persatuan, misalnya dengan menggandeng Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) bentukan pemerintah.


Terakhir institusi agama juga dituntut untuk mencari akar masalah dari konflik agama supaya konflik serupa tidak terjadi lagi. Salah dua faktor penyebab utama dari konflik beragama dewasa ini adalah kemiskinan dan kesenjangan.


Untuk itu maka institusi agama mau tidak mau ha­rus ikut serta dalam penanggulangan kemiskinan dan kesen­jangan. Misalnya dengan memberdayakan masyarakat miskin dengan pelatihan keterampilan tertentu atau bisa juga institusi agama membentuk UMKM sendiri agar umatnya bisa lepas dari kemiskinan. ***


Penulis adalah mahasiswa Sosiologi USU Stambuk 2013, Aktif di Toba Writers Forum (TWF),dan Perintis Komunitas Sosiologi Menulis.


 

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More