Sabtu, 25 Maret 2023

Sendang Ayu: Pergulatan Muhammadiyah di Kaki Bukit Barisan

 


Oleh: Abdul Munir Mulkhan


http://www.suara-muhammadiyah.or.id/


Seolah melawan teori gejala kota, 20 tahun lalu Muhammadiyah menjejakkan

kaki di desa Sendang Ayu yang baru beberapa tahun lalu diterangi

listrik. Di daerah yang tidak tergolong makmur yang sebagian besar

penduduknya tidak lulus SD ini Muhammadiyah seolah menjadi juru penerang

dan matahari kegelapan dunia petani. Bisa jadi sulit ditemukan

padanannya ketika Islam Murni mampu hdiup secara dinamis di pedesaan di

tengah isu tentang kematian ranting dan cabang dari gerakan ini.


Penggerak utama Ranting Sendang Ayu adalah seorang transmigran spontan

dari Jember didukung beberapa tokoh dari daerah Sunda. Sejak itu

Muhammadiyah terus meluas hingga memperoleh status ranting. Menurut

penuturan seorang pengurusnya anggota Muhammdiyah di desa ini sudah

lebih dari 200 orang.


Tanda kehidupan Ranting Sendang Ayu antara lain bisa dilihat dari

kegiatan rutin warga Muhammadiyah setempat. Secara periodik ranting ini

menyelenggarakan kegiatan pengajian selain kegiatan sosial-ekonomi dan

pendidikan. Ranting ini juga mengembangkan amal-usaha produktif berupa

wakaf pohon kelapa dan tanam-tumbuh lainnya, selain kegiatan Masjid

(satu-satunya milik ranting). Dari ritual produktif inilah warga

membiayai berbagai kegiatan organisasi, ekonomi dan pendidikan anak-anak

desa setempat.


Ranting Sendang Ayu kemudian tumbuh sehingga konon menjadi basis utama

Muhammadiyah Cabang Purwodadi yang terletak di sisi selatan berbatas

dengan desa ini. Secara administrtatif Cabang Purwodadi terletak di desa

Purwodadi sebagai salah satu desa dari Kecamatan Bangunrejo. Sementara

Sendang Ayu merupakan desa yang termasuk ke dalam wilayah adminstrasi

Kecamatan Padang Ratu.


Berbagai amal usaha Cabang Purwodadi, terutama SD dan SMP yang walaupun

kurang berkembang dengan baik, tetapi bisa bertahan hingga saat ini.

Murid-murid sekolah tersebut umumnya adalah anak-anak penduduk yang

tinggal di desa Sendang Ayu. Di antara muridnya kini ada yang bergelar

magister lulusan IPB dan memegang jabatan penting di sebuah kabupaten di

Provinsi Lampung.


Belakangan ketenangan warga Muhammadiyah ranting ini mulai terganggu

oleh masuknya muballigh yang membawa pesan partai tertentu. Tradisi

pengajian seringkali membuat Muhammadiyah tidak begitu selektif dalam

menerima kunjungan muballigh dari luar daerah. Apalagi jika muballigh

tersebut mengantongi rekomendasi dari pimpinan Muhammadiyah yang lebih

tinggi.


Semula mubablligh tamu ini mengaji sebagaimana biasanya. Setelah

berlangsung beberapa kali, muballigh tersebut mulai menyerang

tokoh-tokoh lama yang sudah tiada dan mempertanyakan beberapa tradisi

ritual Muhammadiyah. Ketika tidak ada tokoh yang mampu mempertahankan

dari serangan muballigh tamu itu keyakinan atas paham Muhammadiyah

setempat mulai goyah. Lebih resah lagi ketika muballigh tamu itu mulai

menusuk jantung kesatuan kolektif berdasar dalil-dalil kesatuan umat

yang biasa diusung sebuah partai Islam yang sejak pemilu 2004 lalu

sedang naik daun.


Keterbukaan Muhammadiyah terhadap mubaligh tamu bukanlah persoalan

karena memang demikian sebaiknya bagi gerakan modernis ini. Pemanfaatan

jaringan organisasi dan tradisi pengajian bagi kepentingan politik suatu

partai Islam merupakan tindakan tidak sehat. Apalagi jika itu dilakukan

dengan mendiskreditkan tokoh yang telah tiada dan pernyataan

ketidakabsahan beberapa amalan warga setempat. Tentu cara ini baik-baik

saja sepanjang tidak diboncengi kepentingan politik penggiringan warga

agar mendukung partai tertentu. Lebih-lebih lagi ketika mubabligh tamu

itu tidak memberi kesempatan warga setempat untuk banding karena tokoh

yang diserang telah tiada.


Kita khawatir cara mubabligh tamu itu merupakan gejala umum yang

menjadikan Muhammadiyah sasaran penyebaran idealogi partai. Jika Ranting

Sendang Ayu yang terletak di daerah pelosok saja dilakukan trik-trik

yang sebut saja menebar racun menangkap mangsa, apalagi di kawasan yang

terbuka dan mudah dijangkau. Jaringan organisasi dan tradisi pengajan

dari warga Muhammadiyah memang menarik dan sasaan empuk bagi perluasan

jaringan politik. Namun perlu dipertimbangkan keresahan warga akibat

cara-cara tidak sehat yang dilakukan mubablligh tamu seperti kasus

Sendang Ayu tersebut.


Sendang Ayu adalah sebuah desa yang terletak di kaki Bukit Barisan

sekitar 60 Km dari ibukota Provinsi Lampung atau sekitar 30 Km ke arah

utara dari jalan Tanjungkarang-Kota Agung. Untuk mencapai desa ini bisa

ditempuh dengan bus dari Terminal Rajabasa ke arah Kota Agung. Di

Pringsewu lalu berganti angkutan pedesaan ke arah Padang Ratu untuk

kemudian dilanjutkan naik ojek menyusuri jalan tanah sekitar 25 menit

dari Pasar Poncowarno.


Seluruh penduduk bekerja sebagai petani tadah hujan kecuali beberapa

orang guru SD negeri dan petugas kesehatan. Belum diketahui mengapa desa

ini diberi nama Sendang Ayu, tapi desa ini cukup menarik karena

berkembangnya Muhammadiyah yang membawa pengaruh cukup penting terhadap

dinamika tradisi keberagamaan warga desa tersebut.


Sejarah Muhammadiyah Sendang Ayu dimulai ketika akkhir 1960-an, tepatnya

tahun 1966, seorang muballigh Muhammadiyah dari Jember masuk ke desa ini

sebagai transmigran spontan. Kehadiran Kiai ini ke Sendang Ayu disertai

sekitar 10 santrinya yang semula beguru kepadanya sebelum kiai ini

bertransmigrasi spontan ke Lampung. Di tempat asalnya, di Kecamatan

Wuluhan Kabupaten Jember, kiai ini memang sudah dikenal sebagai salah

seorang tokoh mubablligh Muhammadiyah.


Bersama beberapa tokoh yang lebih dahulu menetap di Sendang Ayu, Kiai

Abdul Qasim menggerakkan dakwah dari satu kampung ke kampung lain.

Dakwah Kiai Qasim dan teman-temannya itu terus berkembang melebar ke

Kecamatan Kalirejo, Bangunrejo dan beberapa kecamatan sekitar Padangratu.


Perkembangan Muhammadiyah Sendang Ayu, mungkin di tempat lain, di

masa-masa yang akan segera tiba tampaknya akan ditentukan oleh hasil

pergulatan warga Muhammadiyah setempat dengan muballigh-muballigh tamu

dengan banyak pesan politik tersebut. Sementara tidak cukup tersedia

muballigh setempat yang menguasai kitab klasik ketika tokoh lama

meninggal dunia, mereka mudah goyah oleh kefasihan lafal kitab sang

muballigh tamu yang mengobral dalil membungkus kepentingan politiknya.

Ketiadaan tuntunan politik yang jelas dan aplikabel dari Muhammadiyah

akan mudah menyeret warga di pelosok desa itu pada konflik yang

melibatkan tradisi ritual tanpa hasil sepadan, bagaikan berebut tulang

tanpa daging.


Tampaknya Ranting Sendang Ayu dan Sendangayu-Sendangayu lainnya sedang

bergulat dengan politik berbungkus kitab. Pertentangan tiada akhir bisa

membuat desa miskin itu tidak memiliki waktu untuk membenahi nasib

sosial dan ekonominya yang semakin sulit oleh kebijakan pemerintah yang

tidak memihak petani. Alih-alih pengukuhan “ideologi” dan penegasan

pemberdayaan warga petani, tradisi pengajian bisa berubah menjadi ajang

penggalangan ambisi kekuasaan penuh konflik dan sarat kepentingan elite

lokal.


Inovasi kreatif tokoh lama yang berhasil menggerakkan berbagai aksi

ritual produktif (wakaf kelapa, tanam-tumbuh dan ritual produktif

lainya) bisa berhenti bahkan berbalik penghujatan sang tokoh yang tidur

damai di alam kubur. Tradisi pengajian yang semula dilakukan untuk

memperkaya ilmu dan kearifan bisa berubah fungsi menjadi ajang debat

tentang sesuatu yang tak jelas yang jauh dari keseharian hidup petani.

Akankah rezim PP Muhammadiyah yang konon lebih memiliki komitmen pada

tradisi Islam salafi ini tinggal diam?

POSTED BY NAJIB BURHANI AT 10:57 PM  

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More