Tadi siang saya berbicara dengan teman, yang juga pengurus KADIN. Ada yang menarik dari pembicaraan tadi. Bahwa Jokowi itu tahu menempatkan posisi dengan tepat dan membaca situasi dengan smart. Makanya setiap masalah datang, tidak disikapinya dengan rasa takut dan kawatir. Kalau orang lain meliat setiap persoalan adalah ancaman namun bagi Jokowi itu adalah peluang. Coba kamu perhatikan. Ada UU Ormas yang tidak pernah bisa direvisi sehingga pemerintah menjadi lemah dihadapan Ormas. Ada juga UU antiteror yang membuat aparat lemah dihadapan teroris. Tetapi ketika terjadi Aksi 411 dan 212, yang hampir membuat kekuasaanya berderak, justru tidak membuat dia kawatir. Keadaan itu dijadikan momentum baginya untuk menagih janji moral politik kepada elite politik untuk mengubah UU Ormas lewat Perpu dan mengubah UU anti teror. Dan berhasil tanpa ada restriksi apapun dari DPR. Bayangkan UU tersebut tidak pernah berhasil di ubah oleh SBY dan di era Jokowi selesai perubahannya dengan negara semakin kuat.
Kemudian, ketika rupiah melemah, semua panik. Para oposan menjadikan ini sebagai amunisi menyerang Jokowi. Keadaan dibiarkan begitu sajak bulan agustus. Ketika sudah memanas, maka Jokowi tampil mengambil sikap. Apa sikapnya. ? Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di era sebelumnya. Yaitu menaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) 22 untuk barang impor. Bukan untuk satu dua komoditi tapi 1.147 komoditi. Ini bukan lagi deregulasi tapi revormasi perdagangan. Benar benar market regulated. Dampaknya barang impor akan mahal dan mendorong lahirnya peluang investasi industri substitusi impor di Indonesia.
Cukup ? belum. Masih ada lagi kebijakan keras. Semua pengusaha tambang baik mineral maupun migas tidak boleh lagi melakukan ekspor tanpa LC. Semua harus menggunakan LC agar mudah dimonitor. Jadi kalau dokumen PEB ( Pemberitahaun Barang untuk ekspor ) tanpa code LC maka beacukai akan mem banned barang itu dikapalkan keluar negeri. Semua devisa yang dihasilkan harus kembali ke Indonesia. Kalau tidak bisa maka harus ditempatkan di bank perwakilan BI di luar negeri. Sangsinya bagi yang ngeyel adalah pengurangan quota ekspor. Masih ngeyel lagi maka pemerintah akan tingkatkan Domestic Market Obligation. Engga bisa lagi ekspor. Mau marah ? ini UUD sesuai pasal 33.
Cukup ? belum. DPR dipaksa harus mendukung kebijakan fasilitas SWAP dua mata uang. Bukan hanya untuk nasabah besar tetapi juga untuk nasabah kecil. Sehingga semua eksportir yang menukar devisanya ke rupiah dijamin oleh asuransi resiko ( hedging) atau kemungkinan terjadi pelemahan rupiah. Jadi tidak perlu lagi ada rekening dollar yang menumpuk di bank. Semua dikuasai negara. Andaikan tidak terjadi pelemahan rupiah sampai batas psikologi tidak mungkin kebijakan keras ini dapat dilaksanakan. Maklum para spekulan pemain hedge fund engga bisa lagi seenakna menikmati bisnis rente dari pluktuasi rupiah. Andaikan tidak ada perang dagang yang dicetuskan oleh AS, engga mungkin Jokowi bisa membuat kebijakan tarif pajak impor yang revolusioner itu. Andaikan tidak ada pengurasan devisa tidak mungkin Jokowi punya alasan kuat memaksa devisa ekspor kembali ke Indonesia. Selalu ada peluang dibalik setiap masalah.
Teman saya dengan pandangan kosong berkata kepada saya “ Oposan tidak pernah mengenal Jokowi secara pribadi. Sehingga mudah terprovokasi oleh keadaan yang dikira merugikan politik bagi Jokwi. Namun nyatanya itu menjadi senjata Jokowi untuk memaksa terjadinya perubahan, tanpa ada yang bisa menolak. “ Saya hanya tersenyum. Orang baik itu selalu ikhlas. Buah ikhlas itu adalah hikmah disetiap masalah yang datang. Dan orang baik tahu membaca hikmah. Apa itu ? Hikmah itu adalah pesan cinta dari Tuhan agar kita berubah lebih baik karena masalah. Bukannya mengutuki masalah.
0 comments:
Posting Komentar