Minggu, 26 Maret 2023

Kembalinya Sang Revolusioner Islam


 TELEGRAFNESIA.COM - Sejarah adalah peristiwa yang berulang, 1 Feruari 1979 adalah hari dimana sang revolusioner Islam Imam Khomeini kembali ke Iran setelah 14 berada dalam pengasingan.


Sejak meletusnya revolusi Iran, Imam Khomeini sebagai tokoh sentral diasing pemerintahan Syah Reza Pahlevi dari satu negara ke negara lainnya hingga 14 tahun lamanya.


Namun, kembalinya Imam Khomeini ke Iran, rupanya tidak lepas dari niat Syah Reza Pahlevi melalui Perdana Menteri Iran dengan maksud bisa meredam api revolusioner.


Akan tetap rencana busuk Syah Rezah dan Perdana Menterinya diketahui Imam Khomeini. bahkan skenarion melakukan pertemuan dengan sang Imam guna membahas 'Vatikan'di Qom tak berjalan.


Setelah menginjakan kaki di Iran, Imam Khomeini meminta melakukan ziarah ke Pemakaman Behesht e Zahra,tempat banyak orang yang terbunuh selama revolusi dimakamkan.


Selanjutnya, sepengal bagian dari sejarah jatuhnya kekuasan Syah Reza Phalevi serta berbaiatnya ratusan petinggi militer Iran tanpa syarat, ini di tulis oleh Ismail Amin Pasannai, seorang mahasiswa asal Indonesia d Iran dengna judul tulis 'Kesetiaan Yang Butuh Penjelasan'.


1 Februari 1979 kembalinya Imam Khomeini dari perasingan. Setelah 14 tahun tinggal di perasingan di Turki, kemudian ke Irak dan selanjutnya ke Paris, Imam Khomeini akhirnya kembali ke Iran.


Sesuatu yang tidak pernah diprediksi oleh pengamat dan analils politik manapun. Kedatangan Imam Khomeini difasilitasi Shapour Bakhtiar, Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Syah.


Sebuah komite penyambutan dibentuk pada 21 Januari 1979, untuk mengatur dan memastikan kembalinya Imam Khomeini.


Bakhtiar ingin mengajak imam berunding. Dia hendak menawarkan Imam Khomeini untuk membuat ‘Vatikan’ di Qom.


Semestinya begitu tiba di bandara, komite penyambutan akan mengarahkan Imam untuk bertemu dengan Bakhtiar yang terpaksa tiba di bandara dengan helikopter karena jutaan rakyat Iran yang hendak menyambut Imam Khomeini telah memenuhi bandara.


Tapi kehadiran Bakhtiar tidak digubris oleh Imam. Imam malah minta dibawa ke Pemakaman Behesht-e Zahra, tempat banyak orang yang terbunuh selama revolusi dimakamkan.


Jutaan pendukung berbaris di jalan menyoraki namanya, dan ratusan ribu orang berkumpul di pemakaman untuk mendengarkan pidatonya.


Dalam pidatonya, Imam Khomeini menyatakan bahwa kabinet Shapour Bakhtiar adalah ilegal dan dia mengatakan akan mendirikan pemerintahan revolusioner sementara.


Pidato itu membuat marah Bakhtiar. Dia ngotot bahwa pemerintahannyalah yang sah sebagai amanah dari Syah dan satu-satunya di Iran, siapapun yang membentuk pemerintahan tandingan akan ditindak keras dan akan diperangi dengan kekuatan penuh.


“Para mullah harus pergi ke Qom dan membangun tembok di sekitar mereka dan membuat Vatikan mereka sendiri.” Kata Bakhtiar.


Imam tidak bergidik. Dia menunjukkan keseriusannya membentuk pemerintahan revolusioner. Pada 5 Februari di markasnya di Madrasah Refah di Teheran selatan, Imam Khomeini mendeklarasikan pemerintahan revolusioner sementara.


Ia mengangkat Mehdi Bazargan sebagai perdana menterinya sendiri dan memerintahkan rakyat Iran mematuhi Bazargan sebagai kewajiban agama.


Sejak itu terjadilah dualisme kekuasaan. Bakhtiar memerintahkan militer mengerahkan kekuatan penuh untuk menghabisi pemberontak (pendukung Khomeini) sementara Imam Khomeini juga menyerukan para pendukungnya untuk menduduki jalan-jalan di seluruh negeri.


Situasi kritis yang membuat Dewan Militer berada dalam kegamangan. Jenderal Mehdi Rahimi panglima militer dan komandan pengawal kekaisaran menolak menggerakkan pasukannya untuk memerangi pemberontak karena tidak ingin terjadi pembantaian massal pada rakyat sipil.


Hampir di semua negara yang mengalami kekacauan politik, militer akan segera mengambil alih kekuasaan dengan kekuatan senjata mereka.


Baik itu sementara ataupun membuat sistem yang menguntungkan petinggi militer untuk berkuasa sepenuhnya.


Tapi beda dengan yang saat itu terjadi di Iran. Perwira-perwira tinggi militer bukan hanya tidak ada dari mereka yang berinisiatif mengambil alih kendali kekuasaan, mereka malah mengambil keputusan gila yang tidak pernah disangka oleh siapapun.


Disaat Bakhtiar sebagai penguasa tertinggi mewakili Syah memerintahkan militer menghabisi demonstran, Perwira-perwira tinggi militer tanpa diminta siapapun menemui Imam Khomeini.


Mereka datang dengan memberi hormat militer, menyerahkan tongkat komando dan menyatakan baiat kesetiaan pada Imam dan revolusi Islam. Dunia seketika berguncang dasyhat dengan momen bersejarah tersebut.

Penyerahan tongkat komando yang menandai kemenangan revolusi Islam Iran dan runtuhnya rezim despotik Pahlevi.

8 Februari 1979, Angkatan Udara lebih dulu menyatakan kesetiaan pada Imam Khomeini. Menyusul angkatan militer lainnya termasuk Kepolisian pada tanggal 11 Februari 1979.

Siang itu juga dengan semua kekuatan militer telah berada di tangannya, ditanggal 11 Februari 1979, Imam Khomeini menyatakan kemenangan revolusi Islam Iran dan berakhirnya kekuasaan Syah Pahlevi atas Iran.


Bakhtiar melarikan diri dari istana di bawah hujan peluru, dan berhasil keluar dari Iran dengan menyamar.


Prof. Bernard Lewis, pakar kajian timur tengah dari Inggris berkata, "Ini jelas sebuah kejadian yang harus dijelaskan.”

Sampai detik ini, kedigdayaan kekuasaan para Mullah di Iran berdiri di atas kesetiaan para tentara.


Kaum mullah dan cendekiawan boleh memiliki peran besar dalam kemenangan Revolusi Islam Iran dengan agitasi dan propaganda mereka namun tentaralah yang memuluskan jalannya revolusi Iran sehingga mencapai kemenangannya.

Para perwira yang hidup dengan gemilang kemewahan, gaya hidup sekuler dan permisif di zaman Syah dengan sumpah setia untuk menjaga kekuasaan Syah sampai mati tapi seketika berbalik arah dan mendukung Imam Khomeini dengan kesetiaan dan dukungan yang tidak terperikan bahkan sampai sekarang. Ada yang bisa menjelaskan?. (**)


Editor: Abdi Firmansyah Sutomo

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More