Pada tahun 1980an, ada pengusaha (konglomerat) terkenal di wilayah Indonesia bagian Timur.
Namanya Gong Tjong Kien. Biasa dipanggil Tony Gozal.
Pengusaha yang dipandang “kebal hukum”. Dekat dengan pusat kekuasaan pada masa itu.
Suatu ketika, Tony Gozal melakukan pelanggaran hukum. Memanipulasi akta/sertifikat tanah.
Membuat negara rugi hingga milyaran rupiah (jumlah yang teramat besar untuk ukuran
waktu itu).
Seperti biasa, awalnya tak ada yang berani “menyentuh” Tony Gozal.
Tapi tidak buat seorang Jaksa. Seorang Jaksa yang ketika dilantik menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di salah satu propinsi di pulau Sulawesi membuat iklan di beberapa surat kabar di Sulawesi Selatan, agar masyarakat tidak memberikan sesuatu pada anak buahnya.
Jaksa itu bernama … Baharuddin Lopa.
Tony Gozal diprosesnya. Kemudian di hukum sekian tahun penjara. Indonesia geger. Di tangan Baharuddin Lopa, Tony Gozal bukan siapa-siapa.
Hingga akhir hayatnya, kisah hidup Baharuddin Lopa adalah kisah yang inspiratif. Kisah seekor ayam jantan yang mampu berdiri kokoh menjaga lumbung padi, walau perutnya keroncongan. Namanya, hingga kini, sering jadi buah bibir.
Banyak orang-orang besar pada masa dulu, berkesempatan untuk bergelimang harta,
memiliki kewenangan besar, dan dengan kewenangan itu, mereka bisa untuk hidup mewah. Tapi tak mereka lakukan.
Banyak contoh. Katakanlah hal ini bisa kita menoleh pandangan pada Hatta, Natsir, Agus Salim dan pada pendiri bangsa Indonesia lainnya. Tapi mungkin mereka telah "berjarak" waktu. Ada di generasi silam.
Maka, pada Baharudin Lopa (almarhum) yang "pernah" hidup pada generasi kini, cerita hidupnya nan inspiratif, kita bisa bercermin, bagaimana seharusnya yang dilakukan seseorang itu ketika ia memilki jabatan dan kewenangan yang besar. .
Tokoh sufi/ilmuan besar Islam, Al Ghazali,
sekitar seribu tahun yang lalu pernah menulis, “saya ingin dikenang karena kitab (karya) saya, bukan dimana letak kuburan saya”.
***************************
Mengutip buku "Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa", Lopa menabung receh demi receh dari gajinya di celengan untuk merenovasi rumahnya yang sederhana di kampung halamannya, Makassar. Padahal sebagai pejabat negara, bisa saja Lopa menggunakan jabatannya untuk menangguk rupiah. Nyatanya, Lopa harus menabung di celengan untuk sekadar merenovasi rumahnya, itu pun masih kurang banyak.
Untuk menambah penghasilannya, Lopa tidak menjadi konsultan atau komisaris konglomerat, melainkan buka wartel dengan lima bilik telepon dan penyewaan Playstation di samping rumahnya di Pondok Bambu, Jakarta. Lopa juga kerap mendapatkan honor ratusan ribu dari menulis kolom di surat kabar. Dari sinilah akhirnya Lopa mendapatkan tambahan dana untuk merenovasi rumahnya.
Walau hanya sebulan menjabat Jaksa Agung, Lopa sudah membuat para koruptor ketar-ketir lantaran sifatnya yang tak kenal takut. Dia segera memerintahkan pulang Sjamsul Nursalim dan Prajogo Pangestu yang sedang dirawat di Jepang dan Singapura untuk diselidiki atas kasus korupsi. Dia juga turut menghadapi kasus yang melibatkan "orang-orang kuat", seperti Akbar Tanjung, Arifin Panigoro, dan Ginanjar Kartasasmita. Lopa juga berani mengusut kasus yang melibatkan mantan Presiden Soeharto.
0 comments:
Posting Komentar