Minggu, 30 April 2023

Memaknai Kehilangan Dari Seorang Ayah



Memaknai Kehilangan

Siapapun ayah kita.

Jati diri ayah tetap mutlak milik anaknya.

Walaupun di akhir yang hilang terlewat.

Tetapi berbicara darah anak dan ayah.

Muncul disaat yang hampir terlambat.

Tapi tetap sangat menyentuh dan dikenang, bukan?

Kekuatan kasih tetap muncul di sini.

Kasih tak mengenal waktu yang terlambat.

Kasih selalu mengerti dan memaafkan.

Abadi sampai mati.

Tinggal terserah kita memaknai hidup ini.


Cuplikan Bang Andi Noya berkisah.


Sebenarnya saya malu punya ayah tukang betulin mesik tik. Karena itu aku paling benci kalau ada yang bertanya apa pekerjaan orang tua saya. Kalau bisa, aku mencoba menghindar untuk menjawab. Jika terdesak aku bilang ayah saya polisi.


Kadang saya menyesal lahir sebagai anak seorang tukang servis mesin tik. Apalagi kalau kawan-kawan sekolah saya mulai saling membanggakan profesi ayah mereka.


Apa yang dibanggakan dari seorang montir mesin tik? Pekerjaan yang membutuhkan kecakapan istimewa. Modalnya juga cuma obeng, tang, solder, dan cat semprot. Tubuhnya yang kurus dan ringkih, berbalut kemeja sederhana lengan pendek, dengan tas kulit kumal di bahunya, sungguh jauh dari sosok yang ideal.


Tapi, diluar profesinya, ayah sangat humoris. Tiada hari tanpa tawa. Bahkan kepahitan hidup pun ditertawakannya. Di mana ayah berada, suasana selalu ceria. Dia suka betul bercerita. Kebanyakan cerita-cerita lucu. Entah dari mana dia mendapatkan bahan lelucon yang tak habis-habisnya.


Saya hidup dalam kontradiksi itu. Dari cerita ayah, dulu dia teknisi di perusahaan perikanan. Hidup layak, gaji cukup. Tetapi sifatnya yang terbuka, riang dan pandai berdansa membuat ibu cemburu. Ibu berasal dari keluarga yang berpendidikan baik. Ketika mereka menikah. Ibu harus rela mengorbankan kehidupannya dan masuk dalam kehidupan ayah yang pendidikannya kurang tinggi.


Maka, terjadi benturan-benturan. Ibu yang merasa sudah berkorban meninggalkan kehidupannya yang lebih baik, sangat cemburu melihat ayah selalu dikerumuni wanita. Sifatnya yang periang, terbuka, dan pandai berdansa waktu itu membuat ayah sangat popular. Akibat cemburu, ibu mulai membatasi ruang gerak ayah. Bahkan sampai pada pekerjaan.


Akhirnya, karir ayah berantakan. Dihari tua ibu menyesali sifatnya. Tapi, ayah tidak terlalu mempersoalkan. Dia tetap menikmati hidup. Bekerja sebagai montir mesin tik tidak membuat martabatnya jatuh dan keceriaannya pupus.


Sampai suatu ketika, penyakit mulai menggerogoti tubuhnya. Fisiknya tak mampu lagi menopang semangatnya. Dia lebih banyak tiduran ketimbang bekerja. Sesekali, dengan sisa-sisa tenaga, dia memaksa bekerja.


Suatu hari ayah mengalami kesulitan memperbaiki mesin tik yang mulai menumpuk di rumah. Saya berniat membantu, tapi dihardik. Dia meminta saya tidak menyentuh satu pun mesin tik yang ada. “Tugasmu sekolah. Konsentrasi pada pelajaran.” ujarnya. Dengan mata sedikit melotot. Sungguh saya tidak mengerti. Harusnya dia berterima kasih atas uluran tangan saya.


Ayah akhirnya meninggal. Dia kalah oleh penyakit dan juga teknologi. Menjelang akhir hayatnya, ada beberapa mesin tik elektrik yang tak dia sentuh. Masa transisi kehancuran ayah (saya tidak bisa membayangkan bagaimana gundahnya ayah jika dia melihat mesin tik saat ini sudah berkembang menjadi teknologi komputer yang super canggih).


Kini, 30 tahun setelah ayah tiada, saya baru menyadari banyak sekali nilai yang dia tanamkan. Nilai yang paling kuat adalah nikmati hidupmu. Hampir dalam setiap kesusahan, ayah selalu melihat dari sisi positifnya,”Hidup ini indah. Jangan sia-siakan!” begitu nasihatnya berkali-kali.


Pantang mengeluh. Itu nilai lain yang dia tekankan. Apapun pekerjaanmu, kerjakan dengan hati. Jangan mengeluh dan mencerca perusahaan tempatmu bekerja, sementara kamu tetap menerima gaji setiap bulan.


Setelah dewasa, saya semakin menyadari bahwa pelajaran hidup dan nilai-nilai yang baik bisa lahir dari siapa saja. Kisah Buyung yang buta, dan ibunya yang papa, yang pernah diangkat di Kick Andy, ternyata mampu menyadarkan kita tentang arti perjuangan pantang menyerah.


Suster apung di Sulawesi menebar nilai dedikasi tanpa pamrih sementara Pak Sariban di Bandung, orang tua yang diejek gila, mengajarkan kecintaan dan penghargaan pada lingkungan. Mereka hanya tiga dari sekian banyak “orang kecil” yang pernah tampil di Kick Andy, yang mampu membuka mata dan hati kita.


Saya merasa kehilangan sahabat ketika ayah menghembuskan nafas terakhir tepat di pangkuan saya. Banyak ajaran yang dia tanamkan yang baru saya sadari nilainya setelah kepergiannya. Agar ayah tahu saya bangga padanya. Agar aku bisa menghargai dia bukan dari profesinya. Tapi dari nilai-nilai hidup yang dia ajarkan.


Saya bangga pada ayah saya. Walau dia hanya montir mesin tik. Siapapun ayah kita. Cintai dan banggalah terhadapnya. Tetaplah hidup tak usah lari dari kenyataan.


*Seperti yang dikisahkan Andi Noya.

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More